JANAKI I

Dengan susah payah, aku akhirnya tiba di kerajaan Alengka. Kerajaan Para raksasa. Penjagaan di pintu masuk sangat ketat. Beberapa raksasa mencegat kedatanganku. Dengan garang mereka bertanya maksud kedatanganku. Siang yang terik membuat wajah para raksasa itu sedikit berminyak. Kilatan mata mereka tampak sangar. Gigi mereka kuning. Dengan suara yang sedikit paruh,salah seorang  menanyakan,  aku utusan dari mana. Dengan tenang aku menjawab, aku dari dunia manusia. Datang untuk menemui Rahwana. Sang Raja Raksasa yang begitu terkenal sakti mandraguna. Yang satu menimpali, apa tujuan pertemuanku. Dengan enteng aku menjawab lagi, aku membawa kabar dari negeri manusia yang sangat penting. Dan memperingatan mereka; jika aku tidak segera bertemu dengan Raja , maka Alengka dalam ancaman. 

Mereka saling berbisik. Tak berapa lama, aku pun langsung dipersilahkan masuk. Begitu mudahnya membodohi mereka. Aku dikawal melewati jalan masuk istana seplepas gerbang.  Beberapa pohon palem melingkar seperti membuat barisan parade marcing band tahun 80 an. Begitu tegas berdiri di pinggir-pinggir jalan, seakan mengucapkan selamat datang padaku. Alengka seperti istana para raja India yang megah. Halamannya luas terbentang. Banyak tumbuhan aneh yang tidak pernah kulihat di alam manusia. Rerumputan hijau melingkari seputaran istana. Ada beberapa burung raksasa mengintari menara-menara istana. Dari kejauhan mereka terlihat biasa, namun semakin dekat lebih seperti Tirex terbang.

Aku digiring dengan sopan oleh dua penjaga pintu menuju ruang utama. Layaknya raksasa, mereka lebih tinggi 2 meter dari ukuran manusia normal. Pintu masuk pada ruang utama menyesuaikan besarnya tubuh para raksasa itu. Setelah benar-benar masuk ruangan, aku merasa sangat kecil. Di langit-langit istana, terlihat beberapa permata yang tertanam diantara gantungan emas yang membungkus rapih di setiap sudut. Disela-selanya ada semacam lilin raksasa. Mungkin itu penerang utama jika malam. 

Tampak Rahwana sang raja raksasa, duduk santai namun gagah di singasanahnya. Dengan wajah yang sedikit ditekuk, Rahwana memperhatikan setiap langkahku. Dia seakan melumat habis, setiap gerakku menuju altar para tamu dengan matanya yang terlihat tegas.

Entah kenapa, tidak sedikit pun, aku merasa takut. Padahal Rahwana adalah simbol kekejaman para raksasa. Justru rasa penasaran yang menyelimuti pikiran. Ingin segera aku menghampirnya dan segera menanyakan banyak hal. Setibanya aku di altar para tamu, aku pun dipersilahkan duduk. Jarak altar dengan singasana tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 7 meter dibanding ribuan meter persegi luas istana. 

Biar suasana bisa lebih santai, aku memulai percakapan. Aku bertanya dengan sopan, apa bisa  membakar sebatang rokok ?

rokok yang sengaja aku siapkan saat tadi menuju Alengka. Sang raja mengangguk pelan. Aku pun membakar sebatang Marlboro lights. Menarik asapnya dalam dan menghamburkannya. Sang raja masih diam. Aku memulai lagi percakapan.
“Aku pencinta Janaki”  

Sontak Rahwana menyibak selendangnya dan terkekeh sinis. Kesan seram yang digambarkan soal Rahwana pun meniada. Sebagai seorang raksasa dia sangat berbeda, disiang menjelang sore itu. Beberapa pengawal seakan tidak peduli dengan tawa Raja mereka. Wajah mereka yang kemerahan itu tetap tegang. Seakan itu sudah menjadi prosedur tetap para raksasa agar tetap kelihatan 'seram dan sangar' 

"Apa kau utusan Sri Rama ? atau Hanoman dengan wujud manusia" Rahwana akhirnya mengeluarkan suara. Terdengar paruh. Dia lalu menambahkan, pertanyaannya dengan sedikit pernyataan  "sebagai seorang khasatria, kau tampak lucu" wajah tegangnya berubah. Sekarang lebih seperti mengejek.
Tarikan rokok yang kedua aku hembuskan, asap mengepul lebih tebal dari sebelumnya. Memang sih jika seandainya aku salah seorang khasatria dalam pewayang, aku tampak sangat keren. Siang itu aku mengenakan oblong hitam dengan tulisan putih “the betles” diantara wajah Lenon dan kawan-kawan se-bandnya. Jeans Lea kusut yang sedikit ngepres terkolaborasi dengan sepatu airwalk coklat bergaris putih. Lebih cocok disebut anak nongrong dibanding khasatria.

"Kenapa kau begitu bernafsu dengan Janaki atau Dewi Shinta ? sementara kau membiarkan dirimu kalah diterjang amukan Anoman yang berkolaborasi dengan adikmu sendiri Wibisana" Kini berbalik aku yang menekuk wajah dan bertanya serius. 
Rahwana menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan dan menjawab pertanyaanku dengan tenang. 

"Dewi Shinta adalah titipan Dewi Laksmi, sang bunda paripurna. Pusat kebaikan dan simbol kesetiaan.  Tidak sekedar kesetiaan pada cinta, tapi pada prinsip dan sikap. Aku menggilainya" Mata Rahwana berkaca. Pupil matanya dibesarkan untuk menahan agar kaca dimatanya tidak pecah menjadi air. "Dan Anoman juga Wibisana tidak pernah mengalahkanku. Cintanyalah yang mengalahkanku" Rahwana menjelaskan tenang. 

"Cintanya ?" aku semakin tidak mengerti. "Cintanya Janaki?" Aku turun dari altar dan mendekat ke singasanah agar bisa lebih leluarsa berbicara. Sebatang rokok aku bakar kembali. Rahwana lalu menundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku sedekat mungkin lalu berbisik dengan suara yang lirih. "Ya, cintanya Janaki untukku"

What ? tidak mungkin. Ini sebuah kebohongan. Bukankah Dewi Shinta sudah memiliki suami, dan bukankah dia symbol kesetiaan. Pusat kebaikan. Aku tidak akan mempercayainya hingga kau bisa menjelaskannya secara rational. Sekali pun siang ini kau memutuskan memakanku. Rasa cintaku pada Janaki harus ku tahan dengan hebatnya, sebab dia milik Sri Rama, eh ..kau raksasa bengis, ngaku-ngaku dicintai Dewi Shinta. Gumanku dihati, terlampau sinis. 
"coba kau jelaskan maksud kongritmu rahwana?"  Perlahan namun tegas aku bertanya lagi. 

Akhirnya Rahwana berdiri dari singahsananya. Tubuhnya tegap, tinggi, dadanya berbidang, macho. Kesannya, Rahwana ini lebih terlihat cuek dibanding kejam. Dengan langkah yang tegas, Rahwana menghampiriku lebih dekat. Dia lalu meminta rokokku. Dibakarnya rokok itu dengan santai, lalu dihembuskan asapnya. Rahwana ternyata terlihat lebih keren dibanding yang digambarkan dalam cerita-cerita pewayangan. Dia lalu merangkulku dan menggiring aku ke sebelah utara ruangan menuju  pintu keluar.

Tibalah kami disebuah tempat bernama Kapitren Alengkadireja. Pemandangannya syahdu. Ada hamparan rumput hijau yang terbentang, ada juga beberapa pendopo yang terletak di tengah-tengahnya. Pendopo yang dihiasi bunga berbagai warna. Rahwana membentangkan tangannya sambil berkata, disinilah Dewi Shinta selama tiga tahun bersamaku.  Waktu yang berlalu sebelum mereka datang untuk menjemputnya.

"Setiap waktu sangat berarti bagi kami. Tiga tahun yang singkat meski padat. Sedikit pun aku tidak menyentuhnya dan bibirku selalu kaku ketika kesempurnanya menyibakkan setiap tutur. Dia hanya menginginkan aku berada pada titik takdir yang berbeda. Tapi tak pernah menyalahkan garis takdir yang sudah membawa kami pada titik yang sulit ini" Rahwana berkisah.

Suaranya meninggi. Dengan kata-kata yang bernada, Rahwana melanjutkan berkisah  "Selama tiga tahun aku seperti ditemani dewa laksmi yang berkolaborasi dengan Sang Eros dari Yunani. Dia menuntunku dalam kebaikan, membongkar keangkuhan demi keangkuhanku. Entah apa maksud Walkimi sang resi penulis takdir, menoreh takdir kita secara bertentangan, namun mempertemukan kami dalam cinta. Setiap asah cinta yang kita rasakan berada pada titik sulit. Setiap etape buruk yang kami hadapi adalah pelajaran dari Sang Whidi. Kami mempelajari banyak hal. Kami seakan hanya untuk dipertemukan semantara waktu. Agar kami bisa saling belajar tentang sisi masing-masing. Dia mempelajari keburukan dariku, dan aku menyelami kebaikan dari setiap gerak dan tuturnya. Tak ada yang sia-sia dari waktu yang “sementara” itu. Cukup Tiga tahun. Singkat namun padat. Karena Setiap detik adalah kisah bagi kami"

Mata Rahwana meneteskan air. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam setiap cerita. Aku masih tetap diam. Berbatang-batang rokok aku habiskan. Rahwana yang gagah perkasa, lunglai dalam roman yang tak pernah tertulis. 

Aku memutuskan untuk bertanya lagi. "Apa yang membuatmu yakin bahwa yang dirasakan dewi Shinta atau Janaki adalah cinta ? bukankah dia punya cinta yang lain ? mungkin saja dia hanya berpura-pura agar kau membiarkannya lepas ?"

Rahwana membalik badannya. Melepaskan pandangan pada hamparan hijau. Dengan suara yang lirih raja Raksasa yang terkenal jahat ini berucap lirih;
"Tak ada penculikan, pemaksanaan, kekerasan, atau apa pun yang sering kau dengar dalam setiap roman. Walkimi (penulis takdir) menulis perjumpaan kami secara sengaja di waktu yang sudah terlambat. Maka aku harus menjadi sisi jahat kehidupan, agar kesempurnaan Dewi Shinta tetap terjaga. Terlambat karena Sri Rama sudah menjadi cinta setia nya. Namun Walkemi memberi kesempatan baginya untuk merasakan cinta sejatinya. Akulah keterlambatan itu. Akulah sisi sejatinya dalam cinta"
Meski kami diberi kesempatan merasakan sejatinya cinta dalam berbagai keterlambatan dan waktu yang singkat. Takdir harus tetap berjalan dalam garisnya. Dewi Shinta harus tetap menjadi symbol kebaikan dan kesempurnaan. Maka sisi burukku harus menjadi sebab mutlak dalam perpisahan kami"

Aku pun menimpali, "kenapa ?"

" Harus ada yang menjadi symbol kesetiaan dalam cinta" jawab Rahwana. Walkimi menjadikan Sri Rama sebagai sosok baik yang menjadi sisi setia Janaki.

"Lalu Anoman datang untuk mengambil janaki secara paksa ?" aku bertanya lagi. 

Tidak, jawab Rahwana. "Aku meningkalkan Janaki dalam kekecewaan. Janaki harus membenciku. Agar sisi baiknya terjaga. Sebab ada Sri Rama sebagai sisi baik yang akan menjaganya dan menjadikannya sempurna" 

Dadaku mulai sesak dengan hembusan demi hembusan rokok yang ku hisap. Dada ini bertambah sesak mendengar pengakuan Rahwana. Sulit dipercaya.

Waktu berlalu cepat, langit Alengka mulai menghitam dan dihiasi titik-titik bintang yang mengantung. Tak lama kemudian, Rahwana lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Sangat dekat. Dengan suara yang pelan Rahwana berbisik. Siapa kamu ? kenapa kau datang begitu saja ? …

Halmahera 2013, 
Rully
★******************

Alkisah Nasi Bebek

Sebagai aktivis HMI level pusat, saya termasuk yang tidak beruntung. Meski posisi saya masuk presidium, tetap saja tidak pandai menjual potensi untuk menjadi duit. Berbeda dengan teman-teman yang kecerdasannya melebihi rata-rata. Mereka mampu mengais rezeki melebihi gaji PNS golongan IV/a sekali pun dalam sebulan. 

Karena keterbatasan itu, saya lebih sering nyungsep di kosan. Menunggu keajaiban yang datang dari sms atau bbm, kali’ ada hari ini ada yang berbaik hati untuk sekedar mentraktir ngopi-ngopi sekalian makan malam. Beberapa teman selain cerdas mengais rezeki juga cerdas mengumbar kehebatannya. Usai menggolontorkan kocek senior, politisi, orang penting,penguasa atau siapa pun, mereka suka mengajak teman-teman yang kurang beruntung seperti saya untuk ngopi-ngopi dan menceritakan strategi demi strategi mereka dalam upaya meningkatkan nominal rekening di ATM mereka. Di satu sisi, ini peluangku. Saya bersedia menjadi pendengar yang loyal dan disayang para pejuang-pejuang ini.

Jadilah saya seorang pendengar setia. Selain mendengar, saya juga pemuji yang ulung. Dan para pejuang ini doyan sama kawan-kawan yang gemar memuji. Saya pikir mereka patut diapresiasi. Selain mereka pintar menaklukan Jakarta, mereka sungguh baik hati. Sekali ngopi, saya diservis makan malam, rokok sebungkus plus hot coklat di café berlevel International dan dana tambahan untuk makan siang besok.

Setiap pemberian dana tambahan itu, saya simpan.Buat jaga-jaga, karena tidak setiap sore keberuntungan itu datang. Terkadang hingga lepas isya, sms atau BBM tak kunjung datang. Nah, simpanan itulah penolongnya. Selain sebagai penolong, dana tambahan dari para pejuang juga berfungsi untuk menghilangkan hambarnya malam minggu di studio XXI Megaria atau 21 TIM.
Memang ajakan ngopi disore hari itu tidak selamanya gratis. Saya termasuk yang mahfum soal teori-teori social, strategi politik, atau konsep-konsep yang layak dijual, begitu menurut sebagian besar teman-teman pejuang itu. Jadi ketika mereka dapat orderan, saya-lah kawan yang tepat untuk diajak diskusi, barang apa yang harus dijual pada user yang meng-order.

Saya sangat menikmati situasi ini. Bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk kawan-kawan, meski saya lebih sering nyungsep di kosan atau secretariat.  Pikirku, setiap kita punya fungsi. Jika fungsi-fungsi itu disinergiskan akan sulit ada celah konflik untuk perebutan lahan.
Namun, Ttk selamanya situasi yang membahagiakan ini berjalan seperti harapan. Kadang para pejuang pun sepi order. Meski mereka tidak segera miskin di Jakarta, setidaknya mereka tidak bisa membagi pundi-pundi ghonima dengan teman-teman yang kurang beruntung seperti saya, jika orderan lagi sepi. Jika sudah situasi ini yang dihadapi. Maka strategi selanjutnya adalah berpura-pura nongrong di secretariat. Menunggu bibi selesai menyiapkan makanan pengurus, lalu kita menikmati makanan tersebut. Kebanyakan yang mencicipi masakan jatah pengurus adalah kami, orang-orang yang tidak beruntung itu.

Hingga suatu saat, kemiskinan benar-benar menguji saya. Tak ada panggilan para pejuang, bibi tidak masak dan duit dikantong tinggal dua ribu rupiah, sementara perut melilit kelaparan. Matahari sebentar lagi hilang, sementara perut sama sekali belum menyentuh nasi dari malam kemarin. Untunglah saya diberi kepercayaan memegang sebuah motor dinas organisasi yang kami beli dari duit sisa hasil pelaksanaan program.

Saya memutuskan keluar kosan. Membelah cikini. Maklum saat itu saya kosan disalah satu kampong urban didaerah pusat Jakarta. Gang itu bernama Anyer. Kalau Anyer dalam bahasa kampungku adalah bau busuk ikan. Tapi entah apa arti Anyer di Jakarta. Sebuah kosan sederhana yang dua kali membuat saya masuk rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan.

Matahari semakin condong ke barat. Toa-toa mesjid mulai melantunkan Ar-Rahman, tanda sebentar lagi magrib. Selain belum makan, saya juga lupa mandi. Sejak kemarin malam tubuh tak tersentuh air. Tapi itu bukan soal. Di kota cuek ini, mandi tidak mandi akan sama untuk pengendara motor.
Lampu merah manggarai menyala tanda kereta akan melintas. Dengan hati-hati saya pun menepi menopang motor meski tubuh mulai lunglai karena lapar. Menunggu kereta kota yang melintas seperti cacing buluh yang tubuhnya disesaki manusia dengan berbagai latar. Melaju. Tiba-tiba ada teriakan yang menyita perhatian. Seorang ibu terjatuh tersungkur di aspal jalan.
Keranjang dan beberapa kantong plastiknya berhamburan. Ibu itu baru saja di senggol motor metic dari arah belakang. Keramaian pun berkerumun segera menolong ibu itu. Namun tak ada yang bersegera mengangkut ibu itu menuju rumah sakit. Mungkin kesibukan orang-orang yang berkerumun sore itu amatlah padat. Dengan spontan, saya mengangkut ibu ke motor dinas yang saya kendarai. Segera saja aku tancap gas, mengangkut ibu itu menuju ke rumah Sakit Agung manggarai. Segera saja sesampai di rumah sakit, petugas langsung melayani ibu itu.

Saya menunggu di beranda rumah sakit. Memastikan ibu dalam keadaan baik dan mungkin saja ada keluarga yang bisa dihubungi. Namun belum juga dokter usai memeriksa ibu, seorang laki-laki muda datang menemui ku dan mengatakan bahwa dia adalah anak ibu tersebut. Aku langsung lega. Setidaknya saya tidak perlu lagi mencari keluarga korban di Jakarta yang maha luas ini. Kami bercakap singkat. Saya menceritakan kronologis kejadian.

Magrib pun menjemput senja. Langit Jakarta menghitam dihiasi titik-titik bintang. Ibu dinyatakan sehat dan bisa kembali pulang. Hanya ada sedikit lecet di punggung. Anak ibu tersebut menyalamiku. Dalam salaman tersebut dia menyelipkan beberapa uang kertas. Praktis saya menolaknya dengan keras. Laki-laki itu memaksa sambil memohon agar saya menghargainya. Langsung terbersit dalam benak, mengkin ini rezeki yang sering di bilang ustad-ustad, turun dari langit. Aku langsung menghitung uang tersebut, ada dua ratus ribu rupiah, dengan pecahan lima puluh ribu empat lembar. Saya langsung mengembalikan tiga lembarnya dengan penegasan agar kita bisa impas. Saya menolong tanpa pamrih dan mereka pun iklas memberikan terima kasih. Selesai. Kami pun berpisah.

Meski agak tegang menolong kecelakaan, perut terus bergemuruh. Alhamdulillah ada lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk dua hari bertahan. Saya langsung memacu motor dinas menuju Taman Ismail Marzuki. Di depan TIM ada gerobak-gerobak ketoprak atau sate yang terjangkau dana pemberian ‘terima kasih’ ini. Sayang seribu sayang, entah karena ada penertiban atau apalah. Gerobak-gerobak itu tidak ada. Padahal ingin sekali makan ketoprak. Maksudnya, dengan harga yang segitu, saya bisa memesan dua porsi sekaligus. Tapi malang tak dapat di tolak.

Baru saja saya akan beranjak untuk mencari warteg dekat situ, mata saya tertuju pada gerobak gerbang jalan depan TIM, tepat disampaing Hotel Alia Cikini. Nasi Bebek. Apa salahnya dicoba. Bebek di kampungku biasanya liar dipesisir pantai atau di bibir-bibir sungai. Beberapa warga memang mengambilnya menjadi santapan. Tapi seumur-umur saya belum pernah mencicipi yang namanya bebek. Sekali lagi apa salahnya untuk dicoba.  

Ku pesan seporsi. Segera saja laki-laki dibalik gerobak bertanya,”minumnya mas?” Seperti iklan saya segera menjawab “teh botol”. Penjual itu menyamping dari gerobak agar bisa melihatku secara jelas. “Mas?” aku pun tak bisa berkata-kata. Seluruh tubuh menjadi ringan, perut yang lapar pun semakin keroncongan. Penjual nasi bebek itu ternyata anak ibu yang barusan saya tolong tadi. Kami pun tertawa terkekeh. Segera dia membuat racikan bebeknya. Porsiku dilebihkan. Dan dua porsi nasi bebek yang kusantap pun digratiskan.

Sejak saat itu, Nasi Bebek depan TIM menjadi solusi paling pas untuk setiap momen. Seluruh pejuang yang memerlukan konsepku, ku ajak makan nasi bebek. Jika ada tamu datang dari daerah pun ku ajak makan nasi bebek. Teman paling jauh dan teman paling dekat pun ku ajak makan nasi bebek. Beberapa teman pun akhirnya tervirusi makan nasi bebek, terkadang untuk beromantis ria bersama pacar mereka dengan nasi bebek. Bahkan nasi bebek pun menjadi solusi malam minggu bagi perantau kere seusai begaya nonton bioskop.

Dan Nasi bebek pun punya bejibun makna.

*************************
Keterangan tambahan :
Nasi Bebek : Masakan Khas Madura
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
Bibi : Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di Sekretariat PB HMI
TIM : Taman Ismail Marzuki.
Hotel Alia Cikini : Hotel dibilangan cikini,berada tepat di depan Taman Ismail Marzuki.
    

Menjadi Pemuda di Negeri Wonge? (Refleksi sumpah pemuda 2013)

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Malut Post, 26 Oktober 2013
Dan akhirya Joedy memutuskan untuk tidak kembali ke vietnam saat pacarnya Jane memutuskan pertunangan mereka karena memilih bergabung dengan gerakan anti perang. Joedy merasa tidak akan bisa lagi memimpin pasukan untuk menggempur Vietnam saat motivasi utamanya “jane” tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti.
Sementara kawannya Frans memutuskan untuk tetap kembali ke Vietnam meski dengan susah payah ditahan oleh pacarnya yang seorang aktivis anti perang. Joedy dan Frans adalah tokoh utama dalam flim “Love n Honor” sebuah film berlatar tahun 80 an akhir, peraih oscar kategori cerita terbaik sekitar tahun 1999.
Menceritakan tentang pergolakan dua anak muda Amerika yang mengikuti wajib militer ke vietnam. Dan akhirnya terjebak pada pilihan apakah harus terus kembali ke vietnam untuk berjuang atau memutuskan untuk menjadi pembelot karena pilihan-pilihan soal kepentingan pribadi mereka masing-masing. Mereka berkesempatan beristirahat selama dua minggu setelah mereka berdua nyaris mati karena di kepung pasukan vietnam. Beruntung mereka diselamatkan oleh kawan mereka yang akhirnya mati ditembak pasukan vietnam saat melindungi mereka keluar dari kepungan musuh.
Pergolakan perasaan mereka pada pilihan-pilahan yang dihadapi (apakah balik sebagai pasukan perang atau membelot pada militer) saat beristirahat menjadi sebuah refleksi yang mendalam.

Usia mereka belia. Sekitar 20 tahun. Sama seperti Soekarno saat bergerak membuat Partai Nasional Indonesia. Soekarno berusia 21 tahun saat mendeklarasikan PNI. Dengan usia sebelia itu, Soekarno tidak termotivasi untuk bisa menjadi tokoh politik dengan bergelimpangan fasilitas dan kekayaan. Partai yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang dialami negerinya. Dengan kecerdasan yang luar biasa saat itu, Soekarno bisa dengan mudah menjadi komprador asing dan melanggengkan proses pembodohan terhadap rakyat di negerinya.
Soekarno satu dari bejibun anak muda zaman perjuangan yang memilih untuk menunda kemapanan, menunda kesenangan, menunda kenikmatan pribadi demi untuk bangsa dan negerinya. Mereka juga punya pilihan seperti Joedy dan Frans. Lari dari peperangan sebagai pembelot atau terus maju sebagai pejuang.
Pertanyaannya, apakah pilihan itu masih dihadapi pemuda di zaman ini ?
Anak-anak muda yang tumbuh paska kemerdekaan dicecoki oleh patriotisme pejuang paska kemerdekaan dengan slogan “saatnya mengisi kemerdekaan” setiap pemuda dengan usia 35 kebawah dan 20 an tahun ke atas, pasti terngiang di telinga saat setiap guru PSPB di sekolah dasar menteriakkan heroisme pejuang-pejuang  “pengisi kemerdekaan”
Sayang seribu sayang, bangsa ini juga mengalami fase dimana pemimpin-pemimpin negaranya menafsir keberhasilan “mengisi kemerdekaan” dengan bejibun hutang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan international. Kemerdekaan ditafsir dengan pembangunan fisik yang megah sembari menggadaikan kekayaan negara ini kepada pihak asing dan membuat rakyat menderita dalam kemiskinan.  
Kondisi yang berlangsung hampir tiga dekade itu juga akhirnya mengkondisikan “pengisi kemerdekaan”(pemuda) semakin manja dalam terpaan budaya komersialisasi, karakter yang mekanistik dan miskin inovasi. Pemuda negeri ini berubah menjadi entitas flamboyan yang doyan mempercepat kemapanan dari pada melihat terpaan kemiskinan pada rakyat. Mudah tergoda oleh hal-hal instan yang menjanjikan kenyamanan dari pada bergelut dengan dinamika-kritis demi mewujudkan “sunatullah” pemuda sebagai agen perubahan.
Secara aktual setelah orde baru sudah berlalu sepuluh tahunan lebih, apa para penggeraknya yang pemuda-pemuda itu berubah ? peran dan kesempatan untuk pemuda memang berubah.
Semakin besar ruang bagi para pemuda untuk berekspresi. Di ruang-ruang politik paling terasa perubahan itu. Tak sedikit orang-orang muda mendapat kesempatan yang sama dengan senior-senior mereka, tapi apakah kesempatan tersebut terbarengi oleh spirit “agen perubahan” yang dirasakan Soekarno dan kawan-kawan di zaman pergerakan ? Atau sekedar menempuh jalan pintas yang miskin inovasi dan meniru tradisi para senior yang terkungkung pada anomali-anomali. Mulai dari berdusta kepada rakyat, memperkaya diri secara instan sampai mencitrakan diri dengan miskin gagasan.
Tidak hanya didunia politik. Orang-orang muda yang merambah bilik-bilik birokrasi juga tak kalah opurtunisnya. Lebih memilih meneruskan tradisi menjilat kaki penguasa untuk berebut kekuasaan dari pada bersusah payah merubah tradisi buruk birokrasi yang terus diwarisi.
Tapi sudahlah. Memaki-maki tv yang rusak juga tidak akan mungkin memperbaikinya. Satu-satu nya jalan paling masuk akal adalah segera memperbaikinya secara cepat, sebelum kita mengalami kerugian secara turun temurun hanya karna doyan memaki keadaan tanpa memikirkan solusinya.
Yang paling mungkin dari anak muda adalah keresahan akibat miskinnya pengalaman. Kekuatan maha dahsyat yang tersimpan disetiap diri pemuda (ingin tau,belajar,mencoba) sebenarnya merupakan kecendrungan manusiawi bagi setiap proses yang dialaminya sebagai pemuda. Meski kadang ada kondisi yang melemparnya pada situasi yang mematikan keresahannya tersebut. Menurut amatan saya, ada tiga tipe pemuda di era reforamasi ini. Ada pemuda yang mengerti zamannya, tapi enggan menanggapinya. Tipe yang ini biasa terlahir sebagai kelompok yang mekanik ; sekolah yang rajin, kuliah yang cerdas, setelah lulus cari pekerjaan yang mapan.  Ada pemuda yang paham zamannya tapi enggan merubahnya. Tipe yang ini, biasanya opurtunis. Mengerti kondisi zamannya, tau cara memperbaikinya tapi enggan melawan arus besar dan lebih memilih untuk mengikuti arus besar tersebut.
Dan yang terakhir pemuda yang paham zamannya dan berupaya untuk mencoba melakukan perubahan.
Kelompok yang terakhir yang menarik untuk kita tela’ah sebagai bekal optimisme kita.
Sebagian anda tentu pernah dengar Iphod rigt. Seorang pengusaha muda yang sukses. Menurut Iphod perubahan anak muda indonesia, harus dengan pembangunan ekonomi yang mapan dari kewirausahaan. Dia tidak hanya berkoar tentang konsep Indonesia berdaya yang digagasnya, tapi dia juga membuktikannya pada dirinya sendiri. Iphod kebetulan yang terpublis, meski ada iphod-iphod lain yang melihat kekuatan perubahan ada pada spirit kewirausahaan pemuda. Beberapa tayangan di tv menampilkan profil mereka. Meski yang mereka gagas itu belum merupakan sesuatu yang menarik di kalangan anak muda kebanyakan. Mereka masih golongan kecil yang terus berupaya mempengaruhi yang banyak ini.
Anda juga tentu pernah mendengar Anis Baswedan dengan gagasan Indonesia Mengajar-nya. Anis Baswedan melihat dunia pendidikanlah syarat mutlak pintu perubahan bangsa ini. Kegiatan Indonesia Mengajar sedikit banyak memberi inspirasi bagi anak-anak muda negeri ini. Meski juga belum banyak yang mau bergerak untuk menghadirkan inovasi-inovasi menarik di dunia pendidikan.
Dan secara pribadi saya memilih Budiman Sudjadmiko sebagai politisi muda paling amanah. Pada sepak terjang politiknya di DPR RI sedikit banyak saya ikuti, dia memiliki isu yang fokus, ideologisasi yang kuat dan gagasan yang mencengangkan di dunia politik. Meski belum bisa mempengaruhi kekuatan besar, Budiman di dunia politik cukup fenomenal dan kaya ide. Meski Budiman juga mungkin tidak sendiri, ada sebagian kecil politisi muda di daerah-daerah yang tidak hanya menikmati fasilitas dan haus kekuasaan dalam berpolitik tapi juga berpayah-payah memperbaiki kondisi konstituen yang diwakilkannya.
Tiga contoh kecil ini bisa kita jadikan kayu bakar bagi spirit optimis kepemudaan kita. Para pemuda yang tidak hanya cerdas bagi dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang lain dan yang terpenting dia berupaya untuk mempengaruhi demi sesuatu yang lebih baik. Pemuda-pemuda dengan gagasan briliant dan energi ekstra seperti ini yang kita butuhkan di bangsa ini.
Bagaimana dengan pemuda di Maluku Utara ? pertanyaan ini saya rasa penting untuk kita jawab bersama. Secara aktual kondisi Maluku Utara berada pada posisi yang belia sebagai sebuah daerah administratif. Karena pemekaran provinsi, konsukwensinya terjadi pula pemekaran-pemekaran kabupaten/kota. Yang dalam kondisi ini, pemuda-pemuda Maluku Utara sangat diharapkan berperan massif dalam menuntun daerah ini menuju perkembangannya.
Tak sedikit anak muda yang saat ini berkesempatan memegang amanah di bilik birokrasi dan politik bahkan dunia akademis. Mereka segar-segar, cerdas-cerdas dan enerjig. Namun jika parameternya adalah kesejahtraan rakyat, kestabilan politik dan pemerintahan, kita harus jujur mengatakan anak muda yang banyak berkesempatan pada wilayah-wilayah eksekutor kebijakan belum memaksimalkan tenaganya. Tradisi birokrasi kuno yang doyan korup dan nepotisme masih terpelihara. Dunia politik masih patriarkis bahkan feodalis. Mereka-mereka yang ada diluar sistem pun masih belum bergerak maksimal melakukan kontrol sosial dan politik bagi proses trasisi politik dan pemerintahan daerah baru ini. Bahkan tak sedikit juga pengontrol-pengontrol yang ada diluar sistem ini tergoda untuk bersama-sama dengan kekuatan besar yang anomali. 
Lagi-lagi saya mau, untuk tetap optimis. Tidak ada yang terlambat untuk perubahan. Meski tidak pernah mendengar langsung dari mulutnya, saya yang merupakan titik yang sangat kecil dari entitas kepemudaan Maluku Utara mengkhawatirkan apa yang di risaukan Saiful Bahri Rurai dalam sebuah karyanya, bahwa daerah/negeri ini bisa dianalogi sebagai Negeri Wonge. Pada momentum Sumpah Pemuda tahun ini, mari tepis analogi itu dengan memaksimalkan kekuatan pemuda yang ada. Meski butuh adaptasi sebagai proses perubahan, jangan berlama-lama menikmati trasisi.
Daerah ini sekaligus masyarakatnya menunggu sepak terjang pemuda Maluku Utara. Jangan sampai analogi soal Negeri Wonge menjadi kenyataan, menjadi tradisi bahkan diwarisi kepada setiap generasi yang muncul sebagai tunas harapan di Maluku Utara. 

Ber-Tuhan lah Nak.

Ketika kau membaca lembaran ini, entah seperti apa zaman mu Nak. Namun, ayah yakin. Selama matahari masih enggan terbit di ufuk barat, zaman mu yang antah barantah itu, pasti masih mengenal apa yang di sebut Tuhan.

Ayah ingin sedikit bercerita tentang Tuhan di zaman ayah sekarang.

Dizaman saat,  sebelum aku lahir, menurut cerita-cerita  kakekmu, Tuhan memiliki wujud yang berbeda dengan Tuhan yang dikenal kebanyakan orang pada zaman ku kini nak. Belakangan ayah tau. Sebenarnya bukan Tuhan yang merubah wujudNya menjadi berbeda sesuai zaman. Namun zamanlah yang terus gegabah menafsir dan merubah wujudNya.

Kakek bercerita; mereka memahami Tuhan pada zaman itu, lebih seperti sesuatu yang didekati secara sendiri-sendiri. Meski dalam kondisi berjama’ah sebagai umat, namun Tuhan milik orang per orang.Lebih pribadi dan sendiri. Tuhan dipahami sebagai milik setiap orang di hati mereka. Mereka menyembahnya dalam sepi yang khusuk dan tawadu. Setiap orang secara sendiri-sendiri bebas berbicara denganNya, meski dalam lingkup besar bernama “Islam”.

Di zaman ku kini nak. Tuhan bergeser menjadi “keumatan” dengan berbagai identitas yang mengklaimNya. Tuhan kini harus diperdebatkan sebagai “tata cara”, mazhab, aliran,jargon bahkan ideology. Tuhan berganti nama menjadi “Islam” dengan penegasan yang ketat. Bukan Islam dalam tafsir “rahmat bagi seluruh alam semesta”. Kami didesak untuk berpihak dan tak bebas ber-Tuhan sesuai dengan apa yang kami pahami dalam setiap lembaran Al-quran. Dan akhirnya kami pun khusuk pada prosedur dan tata cara yang membuat Tuhan seperti administrasi birokratis. Untuk menghadapNya harus berseragam dan tunduk pada protokoler.

Puisi-puisi Sufi tentang “tanpa tapal batas” antara manusia dan Tuhan kini sekedar syair saja dan bukan syiar. Padahal sudah jelas perkataanNya bahwa aku lebih dekat dari urat nadi mu, namun kini Tuhan menjadi sangat jauh, tidak hanya di mata, tapi juga hati.
Akhirnya Nak … Tuhan yang islam itu menjadi segerombolan “umat” yang gemar mengklaim kebenaran. Bukan lagi barisan “berjama’ah” yang tuntas pada tataran tauhid dan bertoleran pada sisi sujud. 

Selain disandra dalam sempitnya perdebatan “cara menyembah”, Tuhan juga dihimpit derasnya komersialisasi. Mulai dari Tuhan yang bergelantungan di mal-mal sebagai penarik konsumen dikala lebaran, sampai Tuhan yang menjadi mahal secara ekonomis, karena harus ditemui di ruang-ruang seminar para motivator yang nyambi jadi ustad dan ustad yang sok-sok’an jadi motivator. Tuhan juga menempati reting tertinggi pemberitaan pagi, ketika para kaum bersorban mengacungkan golok, pada umat yang “berbeda” sesama Islam. Tuhan juga merebak menjadi majelis-majelis taq’lim kosong nilai namun kaya gengsi.

Nak, seorang guru sosiologi bernama Ernest Gellner yang ayah temui melalui risalahnya, menyebutkan Tuhan di zaman kita ini sebagai “a celebration of community” dimana dosa, hal-hal baik,tuduhan jahat dan takaran pahala di tentukan melalui kesepakatan kelompok tertentu, yang mengharamkan perbedaan. Meski,,, sama-sama beratas namakan umat dan Islam.

Sehingga anakku….perjalan iman dan manusia di zaman ini, sering disekutukan dengan hal-hal yang sebenarnya mengotori eksistensi Tuhan sendiri. Kalau dulu sekedar jimat yang menjadi syirik, namun kini ada tafsir dan fatwa. Sekarang juga tidak hanya patung yang menawan Tuhan dalam wujud sebenarnya, namun juga aturan dan ritual. Jadilah Tuhan bukan sebuah entitas yang mencerahkan, namun pelarian galau-nya hidup dan  bahkan terkadang mengancam dan otoriter. 

Ada pergesaran makna Tuhan di zaman yang sedang ayah jalani kini Nak. Baginda Rasullulah pernah mengingatkan kita, tentang sebuah kondisi dimana umat seperti buih dilautan yang terombang ambing tanpa arah dan tujuan. Menurut Baginda, itu tanda-tanda akhir zaman. Wallahualam….ayah tidak mau cepat mengambil simpulan terkait itu. ayah tetap optimis bahwa generasi selalu menjadi sesuatu yang baru. Tadak hanya bagi peradaban namun juga bagi Pemilik peradaban (Tuhan).
Dan jika lembaran ini sampai dihadapanmu,berarti zaman yang kuceritakan ini bukan akhir zaman dan masih ada zamanmu. Pastikan kamu dan orang-orang yang hidup dizamanmu sebagai generasi yang kembali. Sujudlah atas nama Tuhanmu yang menciptakan langit dan bumi. Dan pastikan, kalian yang ada di zamanmu bukan “umat” yang dalam Al-Quran sebagai disebut sebagai pilihan penikmat akhir zaman. Semoga !!!!

Tuhan Yang Maha Lucu

Begini ya, gimana ga lucu, seiring diciptakannya manusia yang sempurna itu, diciptakan pula setan yang lebih kuat, meski tidak lebih sempurna. Lucu kan? Tuhan menguji ciptaanNya yang paling sempurna dengan cara yang sangat special. Karena setan lebih kuat,  maka Adam yang lebih sempurna itu pun kalah dalam godaan.

Tuhan mungkin mau bilang, bahwa kesempurnaan itu harus teruji. Sebab kesempurnaan yang hakiki selalu beriringan dengan ketidak sempurnaan yang melengkapinya. Ini kasus pertama yang menggambarkan bahwa setan sangat membantu dalam mencapai kesempurnaan. Karena sempurna itu bukan kuat. Bisa jadi kelemahan adalah sebuah kesempurnaan. Dan justru dengan kelemahan itu manusia mencapai titik tertinggi dalam keagunganNya.

Jika manusia pun sekuat setan yang gaib, dan tiba-tiba bisa ngilang, mungkin akan lupa memohon rezeki, memohon keselamatan, memohon perlindungan, memohon jaminan surge. 
Hal lucu lainnya. Tidak sedikit para mbalelo Tuhan justru mendapat sesuatu yang kelihatannya “lebih” misalnya lebih kaya, lebih berkuasa, lebih sehat, dan lebih-lebih lainnya. Sementara para “penakut Tuhan” justru terperanjab dalam kekurangan. Kurang kaya, kurang kuasa, kurang sehat, bahkan ada yang kurang keren. Apa mauNya ya ? Mungkin Tuhan sedang mengajari kita soal lebih itu ga harus banyak, tidak harus besar, tidak harus ada bahkan.
Lebih bisa jadi sebuah kekurangan. Dari yang kurang-kurang itu para ‘kekasih’ Nya tidak repot mengurusi yang lebih-lebih, dan punya banyak waktu untuk menundukan kepala terus meminta kepadaNya.

Selanjutnya..
 
Tuhan kan bisa segalanya. Kenapa butuh pujian ? memberi penghukuman, menahan rezeki, menciptakan manusia, menciptakan neraka,surga bahkan setan ?

Sssttt jangan berlebihan bertanya soal itu, nanti kualat.
Baiklah, kita urungkan pertanyaan itu. Kita langsung saja menjawabnya.

Karena 'bisa segalanya' itu, maka Dia menghadirkan segalanya. Tidak sekedar sebagai bukti. Mungkin bisa jadi sebagai keterwakilan. Keterwakilan ? Ya, keterwakilan KuasaNya. Maka setiap elemen, entitas dan komponen yang ada disemesta ini adalah keterwakilan kuasaNya.

Maka ? ya selain bisa melakukan segalaNya, Tuhan juga maha baik. Sehingga tak ada keterwakilan kuasaNya yang jahat. Trus, gimana dengan kejahatan, kemungkaran, pendzoliman, pengkhianatan yang terjadi di Dunia ? apa itu juga keterwakilan Tuhan ? Ya Ia-lah.

Itu Keterwakilan Tuhan yang mbalelo. Maka ? harus diluruskan, dikembalikan pada fitrahnya, ditempatkan pada tempatnya, dijalankan sesuai kodrat nya. Jika tidak ? maka….adakah kejahatan dalam arti apa pun tidak menemui kehancurannya ? jawannya TIDAK.
Lucu nggak ? lucu donk. Karena hal-hal ini membuat kita bahagia, tersenyum bahkan terkekeh.
Maka, hal-hal lucu ini harus kita salami dengan hati yang gembira. Jangan bergundah gulana dalam kesedihan, kegalauan apalagi ketakutan. Sebab, Tuhan tidak sedang menakuti kita.

Sejatinya Tuhan selalu mengajak kita untuk bisa bahagia, tertawa dan terkekeh.

Halmahera, medio 2013

Membebaskan Cinta..

"Cinta adalah sesuatu yang kita miliki. Bukan berasal dari luar diri. Berada di dalam diri"  Erik Froom, ilmuan psikologi Frankfrut
Bejibun karya sastra mengambarkan cinta pada etape yang paling nadir. Soal cinta yang terlarang, terinterupsi status, agama,suku,tempat bahkan waktu.
Zaman membingkai cinta menjadi sesuatu yg seakan selalu ada dalam setiap fase. Baik itu lini peradaban mau pun detik demi detik.
Seperti juga ekonomi, politik dan sosial, cinta pun tergerus oleh perkembangan pola hidup manusia.
Hampir satu abad lalu ketika Filusuf Rationalitas Rene Deskartes memproklamirkan kehebatan rasio lewat pernyataannya "aq berpikir, maka aku ada" sluruh interaksi manusia mengalami revolusi besar2an.
Perubahan pola produksi (ekonomi) masyarakat dan manusia secara individu berubah. Hal ini merembes pada interaksi politik, sosial dan tak terhindarkan cinta.
Rationalitas mnyiratkan semua aktivitas dihitung menggunakan nilai tukar secara ekonomis.
Akhirnya spirit ekonomi membajak semua interaksi. Mulai dari politik (jual beli suara), sosial (strata sosial kaya-miskin) hingga peribadatan (nilai sumbangan dan produk berlebel agama)
Pembajakan di bidang ekonomi pun menggerus spirit cinta. Cinta di fase modernisme sekarang mengandalkan ekonomi sebagai sandaran nilai.
Romantisme diukur berdasarkan paket honey mon jasa travel, pernikahan terhambat biaya pesta, sampai pada bertabiran iklan produk berlebel valentine yg kadang ga nyambung sama sekali.
Pada etape ini, kesungguhan cinta dalam romeo n juliet kini mnjadi sekedar perbincangan lepas tanpa makna.
Keikhlasan Cinta dalam Laela n Majnun juga mnjadi bahan ejekan. Bahkan kesederhanaan dan pemurnian cinta pun sulit ditemukan.
Cinta terhempas mnjadi produk, slogan dan nilai nominal. Bukan lagi sebuah rasa yg cukup di hayati sehingga bermakna.
Selain itu, Cinta juga akhirnya menghempas para pelakunya pada keterasingan diri. Saat menjalin kasih, pelaku cinta tercerabut dari eksistensi kediriannya. Berupaya menjadi orang lain yang merupakan objek cinta diluar dirinya.
Padahal secara psikologis, cinta adalah milik diri sendiri. Dan untuk bisa merasakannya, cinta cukuplah mencari objek diluar diri pelaku cinta untuk dijadikan 'sekedar' alat bantu, agar sipelaku cinta bisa merasakan cinta yg ada dalam dirinya sendiri.
Jika qt menyemai cinta menggunakan teori psikologi diatas, maka objek yg qt cintai harusnya mampu lebih membuat qt, menemukan diri qt yang sebenarnya. Bukan malah mengasingkan eksistensi diri kita.
Maka marilah kembalikan cinta pada tempatnya. Bebaskan diri kita dari kungkungan nilai komersil cinta secara ekonomis dan bebaskan cinta dari mengasingkan diri kita.
Halmahera, 14 februari 2014
Rully...

Rabu, 05 Maret 2014

JANAKI I

Dengan susah payah, aku akhirnya tiba di kerajaan Alengka. Kerajaan Para raksasa. Penjagaan di pintu masuk sangat ketat. Beberapa raksasa mencegat kedatanganku. Dengan garang mereka bertanya maksud kedatanganku. Siang yang terik membuat wajah para raksasa itu sedikit berminyak. Kilatan mata mereka tampak sangar. Gigi mereka kuning. Dengan suara yang sedikit paruh,salah seorang  menanyakan,  aku utusan dari mana. Dengan tenang aku menjawab, aku dari dunia manusia. Datang untuk menemui Rahwana. Sang Raja Raksasa yang begitu terkenal sakti mandraguna. Yang satu menimpali, apa tujuan pertemuanku. Dengan enteng aku menjawab lagi, aku membawa kabar dari negeri manusia yang sangat penting. Dan memperingatan mereka; jika aku tidak segera bertemu dengan Raja , maka Alengka dalam ancaman. 

Mereka saling berbisik. Tak berapa lama, aku pun langsung dipersilahkan masuk. Begitu mudahnya membodohi mereka. Aku dikawal melewati jalan masuk istana seplepas gerbang.  Beberapa pohon palem melingkar seperti membuat barisan parade marcing band tahun 80 an. Begitu tegas berdiri di pinggir-pinggir jalan, seakan mengucapkan selamat datang padaku. Alengka seperti istana para raja India yang megah. Halamannya luas terbentang. Banyak tumbuhan aneh yang tidak pernah kulihat di alam manusia. Rerumputan hijau melingkari seputaran istana. Ada beberapa burung raksasa mengintari menara-menara istana. Dari kejauhan mereka terlihat biasa, namun semakin dekat lebih seperti Tirex terbang.

Aku digiring dengan sopan oleh dua penjaga pintu menuju ruang utama. Layaknya raksasa, mereka lebih tinggi 2 meter dari ukuran manusia normal. Pintu masuk pada ruang utama menyesuaikan besarnya tubuh para raksasa itu. Setelah benar-benar masuk ruangan, aku merasa sangat kecil. Di langit-langit istana, terlihat beberapa permata yang tertanam diantara gantungan emas yang membungkus rapih di setiap sudut. Disela-selanya ada semacam lilin raksasa. Mungkin itu penerang utama jika malam. 

Tampak Rahwana sang raja raksasa, duduk santai namun gagah di singasanahnya. Dengan wajah yang sedikit ditekuk, Rahwana memperhatikan setiap langkahku. Dia seakan melumat habis, setiap gerakku menuju altar para tamu dengan matanya yang terlihat tegas.

Entah kenapa, tidak sedikit pun, aku merasa takut. Padahal Rahwana adalah simbol kekejaman para raksasa. Justru rasa penasaran yang menyelimuti pikiran. Ingin segera aku menghampirnya dan segera menanyakan banyak hal. Setibanya aku di altar para tamu, aku pun dipersilahkan duduk. Jarak altar dengan singasana tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 7 meter dibanding ribuan meter persegi luas istana. 

Biar suasana bisa lebih santai, aku memulai percakapan. Aku bertanya dengan sopan, apa bisa  membakar sebatang rokok ?

rokok yang sengaja aku siapkan saat tadi menuju Alengka. Sang raja mengangguk pelan. Aku pun membakar sebatang Marlboro lights. Menarik asapnya dalam dan menghamburkannya. Sang raja masih diam. Aku memulai lagi percakapan.
“Aku pencinta Janaki”  

Sontak Rahwana menyibak selendangnya dan terkekeh sinis. Kesan seram yang digambarkan soal Rahwana pun meniada. Sebagai seorang raksasa dia sangat berbeda, disiang menjelang sore itu. Beberapa pengawal seakan tidak peduli dengan tawa Raja mereka. Wajah mereka yang kemerahan itu tetap tegang. Seakan itu sudah menjadi prosedur tetap para raksasa agar tetap kelihatan 'seram dan sangar' 

"Apa kau utusan Sri Rama ? atau Hanoman dengan wujud manusia" Rahwana akhirnya mengeluarkan suara. Terdengar paruh. Dia lalu menambahkan, pertanyaannya dengan sedikit pernyataan  "sebagai seorang khasatria, kau tampak lucu" wajah tegangnya berubah. Sekarang lebih seperti mengejek.
Tarikan rokok yang kedua aku hembuskan, asap mengepul lebih tebal dari sebelumnya. Memang sih jika seandainya aku salah seorang khasatria dalam pewayang, aku tampak sangat keren. Siang itu aku mengenakan oblong hitam dengan tulisan putih “the betles” diantara wajah Lenon dan kawan-kawan se-bandnya. Jeans Lea kusut yang sedikit ngepres terkolaborasi dengan sepatu airwalk coklat bergaris putih. Lebih cocok disebut anak nongrong dibanding khasatria.

"Kenapa kau begitu bernafsu dengan Janaki atau Dewi Shinta ? sementara kau membiarkan dirimu kalah diterjang amukan Anoman yang berkolaborasi dengan adikmu sendiri Wibisana" Kini berbalik aku yang menekuk wajah dan bertanya serius. 
Rahwana menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan dan menjawab pertanyaanku dengan tenang. 

"Dewi Shinta adalah titipan Dewi Laksmi, sang bunda paripurna. Pusat kebaikan dan simbol kesetiaan.  Tidak sekedar kesetiaan pada cinta, tapi pada prinsip dan sikap. Aku menggilainya" Mata Rahwana berkaca. Pupil matanya dibesarkan untuk menahan agar kaca dimatanya tidak pecah menjadi air. "Dan Anoman juga Wibisana tidak pernah mengalahkanku. Cintanyalah yang mengalahkanku" Rahwana menjelaskan tenang. 

"Cintanya ?" aku semakin tidak mengerti. "Cintanya Janaki?" Aku turun dari altar dan mendekat ke singasanah agar bisa lebih leluarsa berbicara. Sebatang rokok aku bakar kembali. Rahwana lalu menundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku sedekat mungkin lalu berbisik dengan suara yang lirih. "Ya, cintanya Janaki untukku"

What ? tidak mungkin. Ini sebuah kebohongan. Bukankah Dewi Shinta sudah memiliki suami, dan bukankah dia symbol kesetiaan. Pusat kebaikan. Aku tidak akan mempercayainya hingga kau bisa menjelaskannya secara rational. Sekali pun siang ini kau memutuskan memakanku. Rasa cintaku pada Janaki harus ku tahan dengan hebatnya, sebab dia milik Sri Rama, eh ..kau raksasa bengis, ngaku-ngaku dicintai Dewi Shinta. Gumanku dihati, terlampau sinis. 
"coba kau jelaskan maksud kongritmu rahwana?"  Perlahan namun tegas aku bertanya lagi. 

Akhirnya Rahwana berdiri dari singahsananya. Tubuhnya tegap, tinggi, dadanya berbidang, macho. Kesannya, Rahwana ini lebih terlihat cuek dibanding kejam. Dengan langkah yang tegas, Rahwana menghampiriku lebih dekat. Dia lalu meminta rokokku. Dibakarnya rokok itu dengan santai, lalu dihembuskan asapnya. Rahwana ternyata terlihat lebih keren dibanding yang digambarkan dalam cerita-cerita pewayangan. Dia lalu merangkulku dan menggiring aku ke sebelah utara ruangan menuju  pintu keluar.

Tibalah kami disebuah tempat bernama Kapitren Alengkadireja. Pemandangannya syahdu. Ada hamparan rumput hijau yang terbentang, ada juga beberapa pendopo yang terletak di tengah-tengahnya. Pendopo yang dihiasi bunga berbagai warna. Rahwana membentangkan tangannya sambil berkata, disinilah Dewi Shinta selama tiga tahun bersamaku.  Waktu yang berlalu sebelum mereka datang untuk menjemputnya.

"Setiap waktu sangat berarti bagi kami. Tiga tahun yang singkat meski padat. Sedikit pun aku tidak menyentuhnya dan bibirku selalu kaku ketika kesempurnanya menyibakkan setiap tutur. Dia hanya menginginkan aku berada pada titik takdir yang berbeda. Tapi tak pernah menyalahkan garis takdir yang sudah membawa kami pada titik yang sulit ini" Rahwana berkisah.

Suaranya meninggi. Dengan kata-kata yang bernada, Rahwana melanjutkan berkisah  "Selama tiga tahun aku seperti ditemani dewa laksmi yang berkolaborasi dengan Sang Eros dari Yunani. Dia menuntunku dalam kebaikan, membongkar keangkuhan demi keangkuhanku. Entah apa maksud Walkimi sang resi penulis takdir, menoreh takdir kita secara bertentangan, namun mempertemukan kami dalam cinta. Setiap asah cinta yang kita rasakan berada pada titik sulit. Setiap etape buruk yang kami hadapi adalah pelajaran dari Sang Whidi. Kami mempelajari banyak hal. Kami seakan hanya untuk dipertemukan semantara waktu. Agar kami bisa saling belajar tentang sisi masing-masing. Dia mempelajari keburukan dariku, dan aku menyelami kebaikan dari setiap gerak dan tuturnya. Tak ada yang sia-sia dari waktu yang “sementara” itu. Cukup Tiga tahun. Singkat namun padat. Karena Setiap detik adalah kisah bagi kami"

Mata Rahwana meneteskan air. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam setiap cerita. Aku masih tetap diam. Berbatang-batang rokok aku habiskan. Rahwana yang gagah perkasa, lunglai dalam roman yang tak pernah tertulis. 

Aku memutuskan untuk bertanya lagi. "Apa yang membuatmu yakin bahwa yang dirasakan dewi Shinta atau Janaki adalah cinta ? bukankah dia punya cinta yang lain ? mungkin saja dia hanya berpura-pura agar kau membiarkannya lepas ?"

Rahwana membalik badannya. Melepaskan pandangan pada hamparan hijau. Dengan suara yang lirih raja Raksasa yang terkenal jahat ini berucap lirih;
"Tak ada penculikan, pemaksanaan, kekerasan, atau apa pun yang sering kau dengar dalam setiap roman. Walkimi (penulis takdir) menulis perjumpaan kami secara sengaja di waktu yang sudah terlambat. Maka aku harus menjadi sisi jahat kehidupan, agar kesempurnaan Dewi Shinta tetap terjaga. Terlambat karena Sri Rama sudah menjadi cinta setia nya. Namun Walkemi memberi kesempatan baginya untuk merasakan cinta sejatinya. Akulah keterlambatan itu. Akulah sisi sejatinya dalam cinta"
Meski kami diberi kesempatan merasakan sejatinya cinta dalam berbagai keterlambatan dan waktu yang singkat. Takdir harus tetap berjalan dalam garisnya. Dewi Shinta harus tetap menjadi symbol kebaikan dan kesempurnaan. Maka sisi burukku harus menjadi sebab mutlak dalam perpisahan kami"

Aku pun menimpali, "kenapa ?"

" Harus ada yang menjadi symbol kesetiaan dalam cinta" jawab Rahwana. Walkimi menjadikan Sri Rama sebagai sosok baik yang menjadi sisi setia Janaki.

"Lalu Anoman datang untuk mengambil janaki secara paksa ?" aku bertanya lagi. 

Tidak, jawab Rahwana. "Aku meningkalkan Janaki dalam kekecewaan. Janaki harus membenciku. Agar sisi baiknya terjaga. Sebab ada Sri Rama sebagai sisi baik yang akan menjaganya dan menjadikannya sempurna" 

Dadaku mulai sesak dengan hembusan demi hembusan rokok yang ku hisap. Dada ini bertambah sesak mendengar pengakuan Rahwana. Sulit dipercaya.

Waktu berlalu cepat, langit Alengka mulai menghitam dan dihiasi titik-titik bintang yang mengantung. Tak lama kemudian, Rahwana lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Sangat dekat. Dengan suara yang pelan Rahwana berbisik. Siapa kamu ? kenapa kau datang begitu saja ? …

Halmahera 2013, 
Rully
★******************

Alkisah Nasi Bebek

Sebagai aktivis HMI level pusat, saya termasuk yang tidak beruntung. Meski posisi saya masuk presidium, tetap saja tidak pandai menjual potensi untuk menjadi duit. Berbeda dengan teman-teman yang kecerdasannya melebihi rata-rata. Mereka mampu mengais rezeki melebihi gaji PNS golongan IV/a sekali pun dalam sebulan. 

Karena keterbatasan itu, saya lebih sering nyungsep di kosan. Menunggu keajaiban yang datang dari sms atau bbm, kali’ ada hari ini ada yang berbaik hati untuk sekedar mentraktir ngopi-ngopi sekalian makan malam. Beberapa teman selain cerdas mengais rezeki juga cerdas mengumbar kehebatannya. Usai menggolontorkan kocek senior, politisi, orang penting,penguasa atau siapa pun, mereka suka mengajak teman-teman yang kurang beruntung seperti saya untuk ngopi-ngopi dan menceritakan strategi demi strategi mereka dalam upaya meningkatkan nominal rekening di ATM mereka. Di satu sisi, ini peluangku. Saya bersedia menjadi pendengar yang loyal dan disayang para pejuang-pejuang ini.

Jadilah saya seorang pendengar setia. Selain mendengar, saya juga pemuji yang ulung. Dan para pejuang ini doyan sama kawan-kawan yang gemar memuji. Saya pikir mereka patut diapresiasi. Selain mereka pintar menaklukan Jakarta, mereka sungguh baik hati. Sekali ngopi, saya diservis makan malam, rokok sebungkus plus hot coklat di café berlevel International dan dana tambahan untuk makan siang besok.

Setiap pemberian dana tambahan itu, saya simpan.Buat jaga-jaga, karena tidak setiap sore keberuntungan itu datang. Terkadang hingga lepas isya, sms atau BBM tak kunjung datang. Nah, simpanan itulah penolongnya. Selain sebagai penolong, dana tambahan dari para pejuang juga berfungsi untuk menghilangkan hambarnya malam minggu di studio XXI Megaria atau 21 TIM.
Memang ajakan ngopi disore hari itu tidak selamanya gratis. Saya termasuk yang mahfum soal teori-teori social, strategi politik, atau konsep-konsep yang layak dijual, begitu menurut sebagian besar teman-teman pejuang itu. Jadi ketika mereka dapat orderan, saya-lah kawan yang tepat untuk diajak diskusi, barang apa yang harus dijual pada user yang meng-order.

Saya sangat menikmati situasi ini. Bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk kawan-kawan, meski saya lebih sering nyungsep di kosan atau secretariat.  Pikirku, setiap kita punya fungsi. Jika fungsi-fungsi itu disinergiskan akan sulit ada celah konflik untuk perebutan lahan.
Namun, Ttk selamanya situasi yang membahagiakan ini berjalan seperti harapan. Kadang para pejuang pun sepi order. Meski mereka tidak segera miskin di Jakarta, setidaknya mereka tidak bisa membagi pundi-pundi ghonima dengan teman-teman yang kurang beruntung seperti saya, jika orderan lagi sepi. Jika sudah situasi ini yang dihadapi. Maka strategi selanjutnya adalah berpura-pura nongrong di secretariat. Menunggu bibi selesai menyiapkan makanan pengurus, lalu kita menikmati makanan tersebut. Kebanyakan yang mencicipi masakan jatah pengurus adalah kami, orang-orang yang tidak beruntung itu.

Hingga suatu saat, kemiskinan benar-benar menguji saya. Tak ada panggilan para pejuang, bibi tidak masak dan duit dikantong tinggal dua ribu rupiah, sementara perut melilit kelaparan. Matahari sebentar lagi hilang, sementara perut sama sekali belum menyentuh nasi dari malam kemarin. Untunglah saya diberi kepercayaan memegang sebuah motor dinas organisasi yang kami beli dari duit sisa hasil pelaksanaan program.

Saya memutuskan keluar kosan. Membelah cikini. Maklum saat itu saya kosan disalah satu kampong urban didaerah pusat Jakarta. Gang itu bernama Anyer. Kalau Anyer dalam bahasa kampungku adalah bau busuk ikan. Tapi entah apa arti Anyer di Jakarta. Sebuah kosan sederhana yang dua kali membuat saya masuk rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan.

Matahari semakin condong ke barat. Toa-toa mesjid mulai melantunkan Ar-Rahman, tanda sebentar lagi magrib. Selain belum makan, saya juga lupa mandi. Sejak kemarin malam tubuh tak tersentuh air. Tapi itu bukan soal. Di kota cuek ini, mandi tidak mandi akan sama untuk pengendara motor.
Lampu merah manggarai menyala tanda kereta akan melintas. Dengan hati-hati saya pun menepi menopang motor meski tubuh mulai lunglai karena lapar. Menunggu kereta kota yang melintas seperti cacing buluh yang tubuhnya disesaki manusia dengan berbagai latar. Melaju. Tiba-tiba ada teriakan yang menyita perhatian. Seorang ibu terjatuh tersungkur di aspal jalan.
Keranjang dan beberapa kantong plastiknya berhamburan. Ibu itu baru saja di senggol motor metic dari arah belakang. Keramaian pun berkerumun segera menolong ibu itu. Namun tak ada yang bersegera mengangkut ibu itu menuju rumah sakit. Mungkin kesibukan orang-orang yang berkerumun sore itu amatlah padat. Dengan spontan, saya mengangkut ibu ke motor dinas yang saya kendarai. Segera saja aku tancap gas, mengangkut ibu itu menuju ke rumah Sakit Agung manggarai. Segera saja sesampai di rumah sakit, petugas langsung melayani ibu itu.

Saya menunggu di beranda rumah sakit. Memastikan ibu dalam keadaan baik dan mungkin saja ada keluarga yang bisa dihubungi. Namun belum juga dokter usai memeriksa ibu, seorang laki-laki muda datang menemui ku dan mengatakan bahwa dia adalah anak ibu tersebut. Aku langsung lega. Setidaknya saya tidak perlu lagi mencari keluarga korban di Jakarta yang maha luas ini. Kami bercakap singkat. Saya menceritakan kronologis kejadian.

Magrib pun menjemput senja. Langit Jakarta menghitam dihiasi titik-titik bintang. Ibu dinyatakan sehat dan bisa kembali pulang. Hanya ada sedikit lecet di punggung. Anak ibu tersebut menyalamiku. Dalam salaman tersebut dia menyelipkan beberapa uang kertas. Praktis saya menolaknya dengan keras. Laki-laki itu memaksa sambil memohon agar saya menghargainya. Langsung terbersit dalam benak, mengkin ini rezeki yang sering di bilang ustad-ustad, turun dari langit. Aku langsung menghitung uang tersebut, ada dua ratus ribu rupiah, dengan pecahan lima puluh ribu empat lembar. Saya langsung mengembalikan tiga lembarnya dengan penegasan agar kita bisa impas. Saya menolong tanpa pamrih dan mereka pun iklas memberikan terima kasih. Selesai. Kami pun berpisah.

Meski agak tegang menolong kecelakaan, perut terus bergemuruh. Alhamdulillah ada lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk dua hari bertahan. Saya langsung memacu motor dinas menuju Taman Ismail Marzuki. Di depan TIM ada gerobak-gerobak ketoprak atau sate yang terjangkau dana pemberian ‘terima kasih’ ini. Sayang seribu sayang, entah karena ada penertiban atau apalah. Gerobak-gerobak itu tidak ada. Padahal ingin sekali makan ketoprak. Maksudnya, dengan harga yang segitu, saya bisa memesan dua porsi sekaligus. Tapi malang tak dapat di tolak.

Baru saja saya akan beranjak untuk mencari warteg dekat situ, mata saya tertuju pada gerobak gerbang jalan depan TIM, tepat disampaing Hotel Alia Cikini. Nasi Bebek. Apa salahnya dicoba. Bebek di kampungku biasanya liar dipesisir pantai atau di bibir-bibir sungai. Beberapa warga memang mengambilnya menjadi santapan. Tapi seumur-umur saya belum pernah mencicipi yang namanya bebek. Sekali lagi apa salahnya untuk dicoba.  

Ku pesan seporsi. Segera saja laki-laki dibalik gerobak bertanya,”minumnya mas?” Seperti iklan saya segera menjawab “teh botol”. Penjual itu menyamping dari gerobak agar bisa melihatku secara jelas. “Mas?” aku pun tak bisa berkata-kata. Seluruh tubuh menjadi ringan, perut yang lapar pun semakin keroncongan. Penjual nasi bebek itu ternyata anak ibu yang barusan saya tolong tadi. Kami pun tertawa terkekeh. Segera dia membuat racikan bebeknya. Porsiku dilebihkan. Dan dua porsi nasi bebek yang kusantap pun digratiskan.

Sejak saat itu, Nasi Bebek depan TIM menjadi solusi paling pas untuk setiap momen. Seluruh pejuang yang memerlukan konsepku, ku ajak makan nasi bebek. Jika ada tamu datang dari daerah pun ku ajak makan nasi bebek. Teman paling jauh dan teman paling dekat pun ku ajak makan nasi bebek. Beberapa teman pun akhirnya tervirusi makan nasi bebek, terkadang untuk beromantis ria bersama pacar mereka dengan nasi bebek. Bahkan nasi bebek pun menjadi solusi malam minggu bagi perantau kere seusai begaya nonton bioskop.

Dan Nasi bebek pun punya bejibun makna.

*************************
Keterangan tambahan :
Nasi Bebek : Masakan Khas Madura
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
Bibi : Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di Sekretariat PB HMI
TIM : Taman Ismail Marzuki.
Hotel Alia Cikini : Hotel dibilangan cikini,berada tepat di depan Taman Ismail Marzuki.
    

Kamis, 27 Februari 2014

Menjadi Pemuda di Negeri Wonge? (Refleksi sumpah pemuda 2013)

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Malut Post, 26 Oktober 2013
Dan akhirya Joedy memutuskan untuk tidak kembali ke vietnam saat pacarnya Jane memutuskan pertunangan mereka karena memilih bergabung dengan gerakan anti perang. Joedy merasa tidak akan bisa lagi memimpin pasukan untuk menggempur Vietnam saat motivasi utamanya “jane” tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti.
Sementara kawannya Frans memutuskan untuk tetap kembali ke Vietnam meski dengan susah payah ditahan oleh pacarnya yang seorang aktivis anti perang. Joedy dan Frans adalah tokoh utama dalam flim “Love n Honor” sebuah film berlatar tahun 80 an akhir, peraih oscar kategori cerita terbaik sekitar tahun 1999.
Menceritakan tentang pergolakan dua anak muda Amerika yang mengikuti wajib militer ke vietnam. Dan akhirnya terjebak pada pilihan apakah harus terus kembali ke vietnam untuk berjuang atau memutuskan untuk menjadi pembelot karena pilihan-pilihan soal kepentingan pribadi mereka masing-masing. Mereka berkesempatan beristirahat selama dua minggu setelah mereka berdua nyaris mati karena di kepung pasukan vietnam. Beruntung mereka diselamatkan oleh kawan mereka yang akhirnya mati ditembak pasukan vietnam saat melindungi mereka keluar dari kepungan musuh.
Pergolakan perasaan mereka pada pilihan-pilahan yang dihadapi (apakah balik sebagai pasukan perang atau membelot pada militer) saat beristirahat menjadi sebuah refleksi yang mendalam.

Usia mereka belia. Sekitar 20 tahun. Sama seperti Soekarno saat bergerak membuat Partai Nasional Indonesia. Soekarno berusia 21 tahun saat mendeklarasikan PNI. Dengan usia sebelia itu, Soekarno tidak termotivasi untuk bisa menjadi tokoh politik dengan bergelimpangan fasilitas dan kekayaan. Partai yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang dialami negerinya. Dengan kecerdasan yang luar biasa saat itu, Soekarno bisa dengan mudah menjadi komprador asing dan melanggengkan proses pembodohan terhadap rakyat di negerinya.
Soekarno satu dari bejibun anak muda zaman perjuangan yang memilih untuk menunda kemapanan, menunda kesenangan, menunda kenikmatan pribadi demi untuk bangsa dan negerinya. Mereka juga punya pilihan seperti Joedy dan Frans. Lari dari peperangan sebagai pembelot atau terus maju sebagai pejuang.
Pertanyaannya, apakah pilihan itu masih dihadapi pemuda di zaman ini ?
Anak-anak muda yang tumbuh paska kemerdekaan dicecoki oleh patriotisme pejuang paska kemerdekaan dengan slogan “saatnya mengisi kemerdekaan” setiap pemuda dengan usia 35 kebawah dan 20 an tahun ke atas, pasti terngiang di telinga saat setiap guru PSPB di sekolah dasar menteriakkan heroisme pejuang-pejuang  “pengisi kemerdekaan”
Sayang seribu sayang, bangsa ini juga mengalami fase dimana pemimpin-pemimpin negaranya menafsir keberhasilan “mengisi kemerdekaan” dengan bejibun hutang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan international. Kemerdekaan ditafsir dengan pembangunan fisik yang megah sembari menggadaikan kekayaan negara ini kepada pihak asing dan membuat rakyat menderita dalam kemiskinan.  
Kondisi yang berlangsung hampir tiga dekade itu juga akhirnya mengkondisikan “pengisi kemerdekaan”(pemuda) semakin manja dalam terpaan budaya komersialisasi, karakter yang mekanistik dan miskin inovasi. Pemuda negeri ini berubah menjadi entitas flamboyan yang doyan mempercepat kemapanan dari pada melihat terpaan kemiskinan pada rakyat. Mudah tergoda oleh hal-hal instan yang menjanjikan kenyamanan dari pada bergelut dengan dinamika-kritis demi mewujudkan “sunatullah” pemuda sebagai agen perubahan.
Secara aktual setelah orde baru sudah berlalu sepuluh tahunan lebih, apa para penggeraknya yang pemuda-pemuda itu berubah ? peran dan kesempatan untuk pemuda memang berubah.
Semakin besar ruang bagi para pemuda untuk berekspresi. Di ruang-ruang politik paling terasa perubahan itu. Tak sedikit orang-orang muda mendapat kesempatan yang sama dengan senior-senior mereka, tapi apakah kesempatan tersebut terbarengi oleh spirit “agen perubahan” yang dirasakan Soekarno dan kawan-kawan di zaman pergerakan ? Atau sekedar menempuh jalan pintas yang miskin inovasi dan meniru tradisi para senior yang terkungkung pada anomali-anomali. Mulai dari berdusta kepada rakyat, memperkaya diri secara instan sampai mencitrakan diri dengan miskin gagasan.
Tidak hanya didunia politik. Orang-orang muda yang merambah bilik-bilik birokrasi juga tak kalah opurtunisnya. Lebih memilih meneruskan tradisi menjilat kaki penguasa untuk berebut kekuasaan dari pada bersusah payah merubah tradisi buruk birokrasi yang terus diwarisi.
Tapi sudahlah. Memaki-maki tv yang rusak juga tidak akan mungkin memperbaikinya. Satu-satu nya jalan paling masuk akal adalah segera memperbaikinya secara cepat, sebelum kita mengalami kerugian secara turun temurun hanya karna doyan memaki keadaan tanpa memikirkan solusinya.
Yang paling mungkin dari anak muda adalah keresahan akibat miskinnya pengalaman. Kekuatan maha dahsyat yang tersimpan disetiap diri pemuda (ingin tau,belajar,mencoba) sebenarnya merupakan kecendrungan manusiawi bagi setiap proses yang dialaminya sebagai pemuda. Meski kadang ada kondisi yang melemparnya pada situasi yang mematikan keresahannya tersebut. Menurut amatan saya, ada tiga tipe pemuda di era reforamasi ini. Ada pemuda yang mengerti zamannya, tapi enggan menanggapinya. Tipe yang ini biasa terlahir sebagai kelompok yang mekanik ; sekolah yang rajin, kuliah yang cerdas, setelah lulus cari pekerjaan yang mapan.  Ada pemuda yang paham zamannya tapi enggan merubahnya. Tipe yang ini, biasanya opurtunis. Mengerti kondisi zamannya, tau cara memperbaikinya tapi enggan melawan arus besar dan lebih memilih untuk mengikuti arus besar tersebut.
Dan yang terakhir pemuda yang paham zamannya dan berupaya untuk mencoba melakukan perubahan.
Kelompok yang terakhir yang menarik untuk kita tela’ah sebagai bekal optimisme kita.
Sebagian anda tentu pernah dengar Iphod rigt. Seorang pengusaha muda yang sukses. Menurut Iphod perubahan anak muda indonesia, harus dengan pembangunan ekonomi yang mapan dari kewirausahaan. Dia tidak hanya berkoar tentang konsep Indonesia berdaya yang digagasnya, tapi dia juga membuktikannya pada dirinya sendiri. Iphod kebetulan yang terpublis, meski ada iphod-iphod lain yang melihat kekuatan perubahan ada pada spirit kewirausahaan pemuda. Beberapa tayangan di tv menampilkan profil mereka. Meski yang mereka gagas itu belum merupakan sesuatu yang menarik di kalangan anak muda kebanyakan. Mereka masih golongan kecil yang terus berupaya mempengaruhi yang banyak ini.
Anda juga tentu pernah mendengar Anis Baswedan dengan gagasan Indonesia Mengajar-nya. Anis Baswedan melihat dunia pendidikanlah syarat mutlak pintu perubahan bangsa ini. Kegiatan Indonesia Mengajar sedikit banyak memberi inspirasi bagi anak-anak muda negeri ini. Meski juga belum banyak yang mau bergerak untuk menghadirkan inovasi-inovasi menarik di dunia pendidikan.
Dan secara pribadi saya memilih Budiman Sudjadmiko sebagai politisi muda paling amanah. Pada sepak terjang politiknya di DPR RI sedikit banyak saya ikuti, dia memiliki isu yang fokus, ideologisasi yang kuat dan gagasan yang mencengangkan di dunia politik. Meski belum bisa mempengaruhi kekuatan besar, Budiman di dunia politik cukup fenomenal dan kaya ide. Meski Budiman juga mungkin tidak sendiri, ada sebagian kecil politisi muda di daerah-daerah yang tidak hanya menikmati fasilitas dan haus kekuasaan dalam berpolitik tapi juga berpayah-payah memperbaiki kondisi konstituen yang diwakilkannya.
Tiga contoh kecil ini bisa kita jadikan kayu bakar bagi spirit optimis kepemudaan kita. Para pemuda yang tidak hanya cerdas bagi dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang lain dan yang terpenting dia berupaya untuk mempengaruhi demi sesuatu yang lebih baik. Pemuda-pemuda dengan gagasan briliant dan energi ekstra seperti ini yang kita butuhkan di bangsa ini.
Bagaimana dengan pemuda di Maluku Utara ? pertanyaan ini saya rasa penting untuk kita jawab bersama. Secara aktual kondisi Maluku Utara berada pada posisi yang belia sebagai sebuah daerah administratif. Karena pemekaran provinsi, konsukwensinya terjadi pula pemekaran-pemekaran kabupaten/kota. Yang dalam kondisi ini, pemuda-pemuda Maluku Utara sangat diharapkan berperan massif dalam menuntun daerah ini menuju perkembangannya.
Tak sedikit anak muda yang saat ini berkesempatan memegang amanah di bilik birokrasi dan politik bahkan dunia akademis. Mereka segar-segar, cerdas-cerdas dan enerjig. Namun jika parameternya adalah kesejahtraan rakyat, kestabilan politik dan pemerintahan, kita harus jujur mengatakan anak muda yang banyak berkesempatan pada wilayah-wilayah eksekutor kebijakan belum memaksimalkan tenaganya. Tradisi birokrasi kuno yang doyan korup dan nepotisme masih terpelihara. Dunia politik masih patriarkis bahkan feodalis. Mereka-mereka yang ada diluar sistem pun masih belum bergerak maksimal melakukan kontrol sosial dan politik bagi proses trasisi politik dan pemerintahan daerah baru ini. Bahkan tak sedikit juga pengontrol-pengontrol yang ada diluar sistem ini tergoda untuk bersama-sama dengan kekuatan besar yang anomali. 
Lagi-lagi saya mau, untuk tetap optimis. Tidak ada yang terlambat untuk perubahan. Meski tidak pernah mendengar langsung dari mulutnya, saya yang merupakan titik yang sangat kecil dari entitas kepemudaan Maluku Utara mengkhawatirkan apa yang di risaukan Saiful Bahri Rurai dalam sebuah karyanya, bahwa daerah/negeri ini bisa dianalogi sebagai Negeri Wonge. Pada momentum Sumpah Pemuda tahun ini, mari tepis analogi itu dengan memaksimalkan kekuatan pemuda yang ada. Meski butuh adaptasi sebagai proses perubahan, jangan berlama-lama menikmati trasisi.
Daerah ini sekaligus masyarakatnya menunggu sepak terjang pemuda Maluku Utara. Jangan sampai analogi soal Negeri Wonge menjadi kenyataan, menjadi tradisi bahkan diwarisi kepada setiap generasi yang muncul sebagai tunas harapan di Maluku Utara. 

Ber-Tuhan lah Nak.

Ketika kau membaca lembaran ini, entah seperti apa zaman mu Nak. Namun, ayah yakin. Selama matahari masih enggan terbit di ufuk barat, zaman mu yang antah barantah itu, pasti masih mengenal apa yang di sebut Tuhan.

Ayah ingin sedikit bercerita tentang Tuhan di zaman ayah sekarang.

Dizaman saat,  sebelum aku lahir, menurut cerita-cerita  kakekmu, Tuhan memiliki wujud yang berbeda dengan Tuhan yang dikenal kebanyakan orang pada zaman ku kini nak. Belakangan ayah tau. Sebenarnya bukan Tuhan yang merubah wujudNya menjadi berbeda sesuai zaman. Namun zamanlah yang terus gegabah menafsir dan merubah wujudNya.

Kakek bercerita; mereka memahami Tuhan pada zaman itu, lebih seperti sesuatu yang didekati secara sendiri-sendiri. Meski dalam kondisi berjama’ah sebagai umat, namun Tuhan milik orang per orang.Lebih pribadi dan sendiri. Tuhan dipahami sebagai milik setiap orang di hati mereka. Mereka menyembahnya dalam sepi yang khusuk dan tawadu. Setiap orang secara sendiri-sendiri bebas berbicara denganNya, meski dalam lingkup besar bernama “Islam”.

Di zaman ku kini nak. Tuhan bergeser menjadi “keumatan” dengan berbagai identitas yang mengklaimNya. Tuhan kini harus diperdebatkan sebagai “tata cara”, mazhab, aliran,jargon bahkan ideology. Tuhan berganti nama menjadi “Islam” dengan penegasan yang ketat. Bukan Islam dalam tafsir “rahmat bagi seluruh alam semesta”. Kami didesak untuk berpihak dan tak bebas ber-Tuhan sesuai dengan apa yang kami pahami dalam setiap lembaran Al-quran. Dan akhirnya kami pun khusuk pada prosedur dan tata cara yang membuat Tuhan seperti administrasi birokratis. Untuk menghadapNya harus berseragam dan tunduk pada protokoler.

Puisi-puisi Sufi tentang “tanpa tapal batas” antara manusia dan Tuhan kini sekedar syair saja dan bukan syiar. Padahal sudah jelas perkataanNya bahwa aku lebih dekat dari urat nadi mu, namun kini Tuhan menjadi sangat jauh, tidak hanya di mata, tapi juga hati.
Akhirnya Nak … Tuhan yang islam itu menjadi segerombolan “umat” yang gemar mengklaim kebenaran. Bukan lagi barisan “berjama’ah” yang tuntas pada tataran tauhid dan bertoleran pada sisi sujud. 

Selain disandra dalam sempitnya perdebatan “cara menyembah”, Tuhan juga dihimpit derasnya komersialisasi. Mulai dari Tuhan yang bergelantungan di mal-mal sebagai penarik konsumen dikala lebaran, sampai Tuhan yang menjadi mahal secara ekonomis, karena harus ditemui di ruang-ruang seminar para motivator yang nyambi jadi ustad dan ustad yang sok-sok’an jadi motivator. Tuhan juga menempati reting tertinggi pemberitaan pagi, ketika para kaum bersorban mengacungkan golok, pada umat yang “berbeda” sesama Islam. Tuhan juga merebak menjadi majelis-majelis taq’lim kosong nilai namun kaya gengsi.

Nak, seorang guru sosiologi bernama Ernest Gellner yang ayah temui melalui risalahnya, menyebutkan Tuhan di zaman kita ini sebagai “a celebration of community” dimana dosa, hal-hal baik,tuduhan jahat dan takaran pahala di tentukan melalui kesepakatan kelompok tertentu, yang mengharamkan perbedaan. Meski,,, sama-sama beratas namakan umat dan Islam.

Sehingga anakku….perjalan iman dan manusia di zaman ini, sering disekutukan dengan hal-hal yang sebenarnya mengotori eksistensi Tuhan sendiri. Kalau dulu sekedar jimat yang menjadi syirik, namun kini ada tafsir dan fatwa. Sekarang juga tidak hanya patung yang menawan Tuhan dalam wujud sebenarnya, namun juga aturan dan ritual. Jadilah Tuhan bukan sebuah entitas yang mencerahkan, namun pelarian galau-nya hidup dan  bahkan terkadang mengancam dan otoriter. 

Ada pergesaran makna Tuhan di zaman yang sedang ayah jalani kini Nak. Baginda Rasullulah pernah mengingatkan kita, tentang sebuah kondisi dimana umat seperti buih dilautan yang terombang ambing tanpa arah dan tujuan. Menurut Baginda, itu tanda-tanda akhir zaman. Wallahualam….ayah tidak mau cepat mengambil simpulan terkait itu. ayah tetap optimis bahwa generasi selalu menjadi sesuatu yang baru. Tadak hanya bagi peradaban namun juga bagi Pemilik peradaban (Tuhan).
Dan jika lembaran ini sampai dihadapanmu,berarti zaman yang kuceritakan ini bukan akhir zaman dan masih ada zamanmu. Pastikan kamu dan orang-orang yang hidup dizamanmu sebagai generasi yang kembali. Sujudlah atas nama Tuhanmu yang menciptakan langit dan bumi. Dan pastikan, kalian yang ada di zamanmu bukan “umat” yang dalam Al-Quran sebagai disebut sebagai pilihan penikmat akhir zaman. Semoga !!!!

Selasa, 25 Februari 2014

Tuhan Yang Maha Lucu

Begini ya, gimana ga lucu, seiring diciptakannya manusia yang sempurna itu, diciptakan pula setan yang lebih kuat, meski tidak lebih sempurna. Lucu kan? Tuhan menguji ciptaanNya yang paling sempurna dengan cara yang sangat special. Karena setan lebih kuat,  maka Adam yang lebih sempurna itu pun kalah dalam godaan.

Tuhan mungkin mau bilang, bahwa kesempurnaan itu harus teruji. Sebab kesempurnaan yang hakiki selalu beriringan dengan ketidak sempurnaan yang melengkapinya. Ini kasus pertama yang menggambarkan bahwa setan sangat membantu dalam mencapai kesempurnaan. Karena sempurna itu bukan kuat. Bisa jadi kelemahan adalah sebuah kesempurnaan. Dan justru dengan kelemahan itu manusia mencapai titik tertinggi dalam keagunganNya.

Jika manusia pun sekuat setan yang gaib, dan tiba-tiba bisa ngilang, mungkin akan lupa memohon rezeki, memohon keselamatan, memohon perlindungan, memohon jaminan surge. 
Hal lucu lainnya. Tidak sedikit para mbalelo Tuhan justru mendapat sesuatu yang kelihatannya “lebih” misalnya lebih kaya, lebih berkuasa, lebih sehat, dan lebih-lebih lainnya. Sementara para “penakut Tuhan” justru terperanjab dalam kekurangan. Kurang kaya, kurang kuasa, kurang sehat, bahkan ada yang kurang keren. Apa mauNya ya ? Mungkin Tuhan sedang mengajari kita soal lebih itu ga harus banyak, tidak harus besar, tidak harus ada bahkan.
Lebih bisa jadi sebuah kekurangan. Dari yang kurang-kurang itu para ‘kekasih’ Nya tidak repot mengurusi yang lebih-lebih, dan punya banyak waktu untuk menundukan kepala terus meminta kepadaNya.

Selanjutnya..
 
Tuhan kan bisa segalanya. Kenapa butuh pujian ? memberi penghukuman, menahan rezeki, menciptakan manusia, menciptakan neraka,surga bahkan setan ?

Sssttt jangan berlebihan bertanya soal itu, nanti kualat.
Baiklah, kita urungkan pertanyaan itu. Kita langsung saja menjawabnya.

Karena 'bisa segalanya' itu, maka Dia menghadirkan segalanya. Tidak sekedar sebagai bukti. Mungkin bisa jadi sebagai keterwakilan. Keterwakilan ? Ya, keterwakilan KuasaNya. Maka setiap elemen, entitas dan komponen yang ada disemesta ini adalah keterwakilan kuasaNya.

Maka ? ya selain bisa melakukan segalaNya, Tuhan juga maha baik. Sehingga tak ada keterwakilan kuasaNya yang jahat. Trus, gimana dengan kejahatan, kemungkaran, pendzoliman, pengkhianatan yang terjadi di Dunia ? apa itu juga keterwakilan Tuhan ? Ya Ia-lah.

Itu Keterwakilan Tuhan yang mbalelo. Maka ? harus diluruskan, dikembalikan pada fitrahnya, ditempatkan pada tempatnya, dijalankan sesuai kodrat nya. Jika tidak ? maka….adakah kejahatan dalam arti apa pun tidak menemui kehancurannya ? jawannya TIDAK.
Lucu nggak ? lucu donk. Karena hal-hal ini membuat kita bahagia, tersenyum bahkan terkekeh.
Maka, hal-hal lucu ini harus kita salami dengan hati yang gembira. Jangan bergundah gulana dalam kesedihan, kegalauan apalagi ketakutan. Sebab, Tuhan tidak sedang menakuti kita.

Sejatinya Tuhan selalu mengajak kita untuk bisa bahagia, tertawa dan terkekeh.

Halmahera, medio 2013

Minggu, 16 Februari 2014

Membebaskan Cinta..

"Cinta adalah sesuatu yang kita miliki. Bukan berasal dari luar diri. Berada di dalam diri"  Erik Froom, ilmuan psikologi Frankfrut
Bejibun karya sastra mengambarkan cinta pada etape yang paling nadir. Soal cinta yang terlarang, terinterupsi status, agama,suku,tempat bahkan waktu.
Zaman membingkai cinta menjadi sesuatu yg seakan selalu ada dalam setiap fase. Baik itu lini peradaban mau pun detik demi detik.
Seperti juga ekonomi, politik dan sosial, cinta pun tergerus oleh perkembangan pola hidup manusia.
Hampir satu abad lalu ketika Filusuf Rationalitas Rene Deskartes memproklamirkan kehebatan rasio lewat pernyataannya "aq berpikir, maka aku ada" sluruh interaksi manusia mengalami revolusi besar2an.
Perubahan pola produksi (ekonomi) masyarakat dan manusia secara individu berubah. Hal ini merembes pada interaksi politik, sosial dan tak terhindarkan cinta.
Rationalitas mnyiratkan semua aktivitas dihitung menggunakan nilai tukar secara ekonomis.
Akhirnya spirit ekonomi membajak semua interaksi. Mulai dari politik (jual beli suara), sosial (strata sosial kaya-miskin) hingga peribadatan (nilai sumbangan dan produk berlebel agama)
Pembajakan di bidang ekonomi pun menggerus spirit cinta. Cinta di fase modernisme sekarang mengandalkan ekonomi sebagai sandaran nilai.
Romantisme diukur berdasarkan paket honey mon jasa travel, pernikahan terhambat biaya pesta, sampai pada bertabiran iklan produk berlebel valentine yg kadang ga nyambung sama sekali.
Pada etape ini, kesungguhan cinta dalam romeo n juliet kini mnjadi sekedar perbincangan lepas tanpa makna.
Keikhlasan Cinta dalam Laela n Majnun juga mnjadi bahan ejekan. Bahkan kesederhanaan dan pemurnian cinta pun sulit ditemukan.
Cinta terhempas mnjadi produk, slogan dan nilai nominal. Bukan lagi sebuah rasa yg cukup di hayati sehingga bermakna.
Selain itu, Cinta juga akhirnya menghempas para pelakunya pada keterasingan diri. Saat menjalin kasih, pelaku cinta tercerabut dari eksistensi kediriannya. Berupaya menjadi orang lain yang merupakan objek cinta diluar dirinya.
Padahal secara psikologis, cinta adalah milik diri sendiri. Dan untuk bisa merasakannya, cinta cukuplah mencari objek diluar diri pelaku cinta untuk dijadikan 'sekedar' alat bantu, agar sipelaku cinta bisa merasakan cinta yg ada dalam dirinya sendiri.
Jika qt menyemai cinta menggunakan teori psikologi diatas, maka objek yg qt cintai harusnya mampu lebih membuat qt, menemukan diri qt yang sebenarnya. Bukan malah mengasingkan eksistensi diri kita.
Maka marilah kembalikan cinta pada tempatnya. Bebaskan diri kita dari kungkungan nilai komersil cinta secara ekonomis dan bebaskan cinta dari mengasingkan diri kita.
Halmahera, 14 februari 2014
Rully...