Alkisah Nasi Bebek

Sebagai aktivis HMI level pusat, saya termasuk yang tidak beruntung. Meski posisi saya masuk presidium, tetap saja tidak pandai menjual potensi untuk menjadi duit. Berbeda dengan teman-teman yang kecerdasannya melebihi rata-rata. Mereka mampu mengais rezeki melebihi gaji PNS golongan IV/a sekali pun dalam sebulan. 

Karena keterbatasan itu, saya lebih sering nyungsep di kosan. Menunggu keajaiban yang datang dari sms atau bbm, kali’ ada hari ini ada yang berbaik hati untuk sekedar mentraktir ngopi-ngopi sekalian makan malam. Beberapa teman selain cerdas mengais rezeki juga cerdas mengumbar kehebatannya. Usai menggolontorkan kocek senior, politisi, orang penting,penguasa atau siapa pun, mereka suka mengajak teman-teman yang kurang beruntung seperti saya untuk ngopi-ngopi dan menceritakan strategi demi strategi mereka dalam upaya meningkatkan nominal rekening di ATM mereka. Di satu sisi, ini peluangku. Saya bersedia menjadi pendengar yang loyal dan disayang para pejuang-pejuang ini.

Jadilah saya seorang pendengar setia. Selain mendengar, saya juga pemuji yang ulung. Dan para pejuang ini doyan sama kawan-kawan yang gemar memuji. Saya pikir mereka patut diapresiasi. Selain mereka pintar menaklukan Jakarta, mereka sungguh baik hati. Sekali ngopi, saya diservis makan malam, rokok sebungkus plus hot coklat di café berlevel International dan dana tambahan untuk makan siang besok.

Setiap pemberian dana tambahan itu, saya simpan.Buat jaga-jaga, karena tidak setiap sore keberuntungan itu datang. Terkadang hingga lepas isya, sms atau BBM tak kunjung datang. Nah, simpanan itulah penolongnya. Selain sebagai penolong, dana tambahan dari para pejuang juga berfungsi untuk menghilangkan hambarnya malam minggu di studio XXI Megaria atau 21 TIM.
Memang ajakan ngopi disore hari itu tidak selamanya gratis. Saya termasuk yang mahfum soal teori-teori social, strategi politik, atau konsep-konsep yang layak dijual, begitu menurut sebagian besar teman-teman pejuang itu. Jadi ketika mereka dapat orderan, saya-lah kawan yang tepat untuk diajak diskusi, barang apa yang harus dijual pada user yang meng-order.

Saya sangat menikmati situasi ini. Bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk kawan-kawan, meski saya lebih sering nyungsep di kosan atau secretariat.  Pikirku, setiap kita punya fungsi. Jika fungsi-fungsi itu disinergiskan akan sulit ada celah konflik untuk perebutan lahan.
Namun, Ttk selamanya situasi yang membahagiakan ini berjalan seperti harapan. Kadang para pejuang pun sepi order. Meski mereka tidak segera miskin di Jakarta, setidaknya mereka tidak bisa membagi pundi-pundi ghonima dengan teman-teman yang kurang beruntung seperti saya, jika orderan lagi sepi. Jika sudah situasi ini yang dihadapi. Maka strategi selanjutnya adalah berpura-pura nongrong di secretariat. Menunggu bibi selesai menyiapkan makanan pengurus, lalu kita menikmati makanan tersebut. Kebanyakan yang mencicipi masakan jatah pengurus adalah kami, orang-orang yang tidak beruntung itu.

Hingga suatu saat, kemiskinan benar-benar menguji saya. Tak ada panggilan para pejuang, bibi tidak masak dan duit dikantong tinggal dua ribu rupiah, sementara perut melilit kelaparan. Matahari sebentar lagi hilang, sementara perut sama sekali belum menyentuh nasi dari malam kemarin. Untunglah saya diberi kepercayaan memegang sebuah motor dinas organisasi yang kami beli dari duit sisa hasil pelaksanaan program.

Saya memutuskan keluar kosan. Membelah cikini. Maklum saat itu saya kosan disalah satu kampong urban didaerah pusat Jakarta. Gang itu bernama Anyer. Kalau Anyer dalam bahasa kampungku adalah bau busuk ikan. Tapi entah apa arti Anyer di Jakarta. Sebuah kosan sederhana yang dua kali membuat saya masuk rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan.

Matahari semakin condong ke barat. Toa-toa mesjid mulai melantunkan Ar-Rahman, tanda sebentar lagi magrib. Selain belum makan, saya juga lupa mandi. Sejak kemarin malam tubuh tak tersentuh air. Tapi itu bukan soal. Di kota cuek ini, mandi tidak mandi akan sama untuk pengendara motor.
Lampu merah manggarai menyala tanda kereta akan melintas. Dengan hati-hati saya pun menepi menopang motor meski tubuh mulai lunglai karena lapar. Menunggu kereta kota yang melintas seperti cacing buluh yang tubuhnya disesaki manusia dengan berbagai latar. Melaju. Tiba-tiba ada teriakan yang menyita perhatian. Seorang ibu terjatuh tersungkur di aspal jalan.
Keranjang dan beberapa kantong plastiknya berhamburan. Ibu itu baru saja di senggol motor metic dari arah belakang. Keramaian pun berkerumun segera menolong ibu itu. Namun tak ada yang bersegera mengangkut ibu itu menuju rumah sakit. Mungkin kesibukan orang-orang yang berkerumun sore itu amatlah padat. Dengan spontan, saya mengangkut ibu ke motor dinas yang saya kendarai. Segera saja aku tancap gas, mengangkut ibu itu menuju ke rumah Sakit Agung manggarai. Segera saja sesampai di rumah sakit, petugas langsung melayani ibu itu.

Saya menunggu di beranda rumah sakit. Memastikan ibu dalam keadaan baik dan mungkin saja ada keluarga yang bisa dihubungi. Namun belum juga dokter usai memeriksa ibu, seorang laki-laki muda datang menemui ku dan mengatakan bahwa dia adalah anak ibu tersebut. Aku langsung lega. Setidaknya saya tidak perlu lagi mencari keluarga korban di Jakarta yang maha luas ini. Kami bercakap singkat. Saya menceritakan kronologis kejadian.

Magrib pun menjemput senja. Langit Jakarta menghitam dihiasi titik-titik bintang. Ibu dinyatakan sehat dan bisa kembali pulang. Hanya ada sedikit lecet di punggung. Anak ibu tersebut menyalamiku. Dalam salaman tersebut dia menyelipkan beberapa uang kertas. Praktis saya menolaknya dengan keras. Laki-laki itu memaksa sambil memohon agar saya menghargainya. Langsung terbersit dalam benak, mengkin ini rezeki yang sering di bilang ustad-ustad, turun dari langit. Aku langsung menghitung uang tersebut, ada dua ratus ribu rupiah, dengan pecahan lima puluh ribu empat lembar. Saya langsung mengembalikan tiga lembarnya dengan penegasan agar kita bisa impas. Saya menolong tanpa pamrih dan mereka pun iklas memberikan terima kasih. Selesai. Kami pun berpisah.

Meski agak tegang menolong kecelakaan, perut terus bergemuruh. Alhamdulillah ada lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk dua hari bertahan. Saya langsung memacu motor dinas menuju Taman Ismail Marzuki. Di depan TIM ada gerobak-gerobak ketoprak atau sate yang terjangkau dana pemberian ‘terima kasih’ ini. Sayang seribu sayang, entah karena ada penertiban atau apalah. Gerobak-gerobak itu tidak ada. Padahal ingin sekali makan ketoprak. Maksudnya, dengan harga yang segitu, saya bisa memesan dua porsi sekaligus. Tapi malang tak dapat di tolak.

Baru saja saya akan beranjak untuk mencari warteg dekat situ, mata saya tertuju pada gerobak gerbang jalan depan TIM, tepat disampaing Hotel Alia Cikini. Nasi Bebek. Apa salahnya dicoba. Bebek di kampungku biasanya liar dipesisir pantai atau di bibir-bibir sungai. Beberapa warga memang mengambilnya menjadi santapan. Tapi seumur-umur saya belum pernah mencicipi yang namanya bebek. Sekali lagi apa salahnya untuk dicoba.  

Ku pesan seporsi. Segera saja laki-laki dibalik gerobak bertanya,”minumnya mas?” Seperti iklan saya segera menjawab “teh botol”. Penjual itu menyamping dari gerobak agar bisa melihatku secara jelas. “Mas?” aku pun tak bisa berkata-kata. Seluruh tubuh menjadi ringan, perut yang lapar pun semakin keroncongan. Penjual nasi bebek itu ternyata anak ibu yang barusan saya tolong tadi. Kami pun tertawa terkekeh. Segera dia membuat racikan bebeknya. Porsiku dilebihkan. Dan dua porsi nasi bebek yang kusantap pun digratiskan.

Sejak saat itu, Nasi Bebek depan TIM menjadi solusi paling pas untuk setiap momen. Seluruh pejuang yang memerlukan konsepku, ku ajak makan nasi bebek. Jika ada tamu datang dari daerah pun ku ajak makan nasi bebek. Teman paling jauh dan teman paling dekat pun ku ajak makan nasi bebek. Beberapa teman pun akhirnya tervirusi makan nasi bebek, terkadang untuk beromantis ria bersama pacar mereka dengan nasi bebek. Bahkan nasi bebek pun menjadi solusi malam minggu bagi perantau kere seusai begaya nonton bioskop.

Dan Nasi bebek pun punya bejibun makna.

*************************
Keterangan tambahan :
Nasi Bebek : Masakan Khas Madura
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
Bibi : Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di Sekretariat PB HMI
TIM : Taman Ismail Marzuki.
Hotel Alia Cikini : Hotel dibilangan cikini,berada tepat di depan Taman Ismail Marzuki.
    

Rabu, 05 Maret 2014

Alkisah Nasi Bebek

Sebagai aktivis HMI level pusat, saya termasuk yang tidak beruntung. Meski posisi saya masuk presidium, tetap saja tidak pandai menjual potensi untuk menjadi duit. Berbeda dengan teman-teman yang kecerdasannya melebihi rata-rata. Mereka mampu mengais rezeki melebihi gaji PNS golongan IV/a sekali pun dalam sebulan. 

Karena keterbatasan itu, saya lebih sering nyungsep di kosan. Menunggu keajaiban yang datang dari sms atau bbm, kali’ ada hari ini ada yang berbaik hati untuk sekedar mentraktir ngopi-ngopi sekalian makan malam. Beberapa teman selain cerdas mengais rezeki juga cerdas mengumbar kehebatannya. Usai menggolontorkan kocek senior, politisi, orang penting,penguasa atau siapa pun, mereka suka mengajak teman-teman yang kurang beruntung seperti saya untuk ngopi-ngopi dan menceritakan strategi demi strategi mereka dalam upaya meningkatkan nominal rekening di ATM mereka. Di satu sisi, ini peluangku. Saya bersedia menjadi pendengar yang loyal dan disayang para pejuang-pejuang ini.

Jadilah saya seorang pendengar setia. Selain mendengar, saya juga pemuji yang ulung. Dan para pejuang ini doyan sama kawan-kawan yang gemar memuji. Saya pikir mereka patut diapresiasi. Selain mereka pintar menaklukan Jakarta, mereka sungguh baik hati. Sekali ngopi, saya diservis makan malam, rokok sebungkus plus hot coklat di café berlevel International dan dana tambahan untuk makan siang besok.

Setiap pemberian dana tambahan itu, saya simpan.Buat jaga-jaga, karena tidak setiap sore keberuntungan itu datang. Terkadang hingga lepas isya, sms atau BBM tak kunjung datang. Nah, simpanan itulah penolongnya. Selain sebagai penolong, dana tambahan dari para pejuang juga berfungsi untuk menghilangkan hambarnya malam minggu di studio XXI Megaria atau 21 TIM.
Memang ajakan ngopi disore hari itu tidak selamanya gratis. Saya termasuk yang mahfum soal teori-teori social, strategi politik, atau konsep-konsep yang layak dijual, begitu menurut sebagian besar teman-teman pejuang itu. Jadi ketika mereka dapat orderan, saya-lah kawan yang tepat untuk diajak diskusi, barang apa yang harus dijual pada user yang meng-order.

Saya sangat menikmati situasi ini. Bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk kawan-kawan, meski saya lebih sering nyungsep di kosan atau secretariat.  Pikirku, setiap kita punya fungsi. Jika fungsi-fungsi itu disinergiskan akan sulit ada celah konflik untuk perebutan lahan.
Namun, Ttk selamanya situasi yang membahagiakan ini berjalan seperti harapan. Kadang para pejuang pun sepi order. Meski mereka tidak segera miskin di Jakarta, setidaknya mereka tidak bisa membagi pundi-pundi ghonima dengan teman-teman yang kurang beruntung seperti saya, jika orderan lagi sepi. Jika sudah situasi ini yang dihadapi. Maka strategi selanjutnya adalah berpura-pura nongrong di secretariat. Menunggu bibi selesai menyiapkan makanan pengurus, lalu kita menikmati makanan tersebut. Kebanyakan yang mencicipi masakan jatah pengurus adalah kami, orang-orang yang tidak beruntung itu.

Hingga suatu saat, kemiskinan benar-benar menguji saya. Tak ada panggilan para pejuang, bibi tidak masak dan duit dikantong tinggal dua ribu rupiah, sementara perut melilit kelaparan. Matahari sebentar lagi hilang, sementara perut sama sekali belum menyentuh nasi dari malam kemarin. Untunglah saya diberi kepercayaan memegang sebuah motor dinas organisasi yang kami beli dari duit sisa hasil pelaksanaan program.

Saya memutuskan keluar kosan. Membelah cikini. Maklum saat itu saya kosan disalah satu kampong urban didaerah pusat Jakarta. Gang itu bernama Anyer. Kalau Anyer dalam bahasa kampungku adalah bau busuk ikan. Tapi entah apa arti Anyer di Jakarta. Sebuah kosan sederhana yang dua kali membuat saya masuk rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan.

Matahari semakin condong ke barat. Toa-toa mesjid mulai melantunkan Ar-Rahman, tanda sebentar lagi magrib. Selain belum makan, saya juga lupa mandi. Sejak kemarin malam tubuh tak tersentuh air. Tapi itu bukan soal. Di kota cuek ini, mandi tidak mandi akan sama untuk pengendara motor.
Lampu merah manggarai menyala tanda kereta akan melintas. Dengan hati-hati saya pun menepi menopang motor meski tubuh mulai lunglai karena lapar. Menunggu kereta kota yang melintas seperti cacing buluh yang tubuhnya disesaki manusia dengan berbagai latar. Melaju. Tiba-tiba ada teriakan yang menyita perhatian. Seorang ibu terjatuh tersungkur di aspal jalan.
Keranjang dan beberapa kantong plastiknya berhamburan. Ibu itu baru saja di senggol motor metic dari arah belakang. Keramaian pun berkerumun segera menolong ibu itu. Namun tak ada yang bersegera mengangkut ibu itu menuju rumah sakit. Mungkin kesibukan orang-orang yang berkerumun sore itu amatlah padat. Dengan spontan, saya mengangkut ibu ke motor dinas yang saya kendarai. Segera saja aku tancap gas, mengangkut ibu itu menuju ke rumah Sakit Agung manggarai. Segera saja sesampai di rumah sakit, petugas langsung melayani ibu itu.

Saya menunggu di beranda rumah sakit. Memastikan ibu dalam keadaan baik dan mungkin saja ada keluarga yang bisa dihubungi. Namun belum juga dokter usai memeriksa ibu, seorang laki-laki muda datang menemui ku dan mengatakan bahwa dia adalah anak ibu tersebut. Aku langsung lega. Setidaknya saya tidak perlu lagi mencari keluarga korban di Jakarta yang maha luas ini. Kami bercakap singkat. Saya menceritakan kronologis kejadian.

Magrib pun menjemput senja. Langit Jakarta menghitam dihiasi titik-titik bintang. Ibu dinyatakan sehat dan bisa kembali pulang. Hanya ada sedikit lecet di punggung. Anak ibu tersebut menyalamiku. Dalam salaman tersebut dia menyelipkan beberapa uang kertas. Praktis saya menolaknya dengan keras. Laki-laki itu memaksa sambil memohon agar saya menghargainya. Langsung terbersit dalam benak, mengkin ini rezeki yang sering di bilang ustad-ustad, turun dari langit. Aku langsung menghitung uang tersebut, ada dua ratus ribu rupiah, dengan pecahan lima puluh ribu empat lembar. Saya langsung mengembalikan tiga lembarnya dengan penegasan agar kita bisa impas. Saya menolong tanpa pamrih dan mereka pun iklas memberikan terima kasih. Selesai. Kami pun berpisah.

Meski agak tegang menolong kecelakaan, perut terus bergemuruh. Alhamdulillah ada lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk dua hari bertahan. Saya langsung memacu motor dinas menuju Taman Ismail Marzuki. Di depan TIM ada gerobak-gerobak ketoprak atau sate yang terjangkau dana pemberian ‘terima kasih’ ini. Sayang seribu sayang, entah karena ada penertiban atau apalah. Gerobak-gerobak itu tidak ada. Padahal ingin sekali makan ketoprak. Maksudnya, dengan harga yang segitu, saya bisa memesan dua porsi sekaligus. Tapi malang tak dapat di tolak.

Baru saja saya akan beranjak untuk mencari warteg dekat situ, mata saya tertuju pada gerobak gerbang jalan depan TIM, tepat disampaing Hotel Alia Cikini. Nasi Bebek. Apa salahnya dicoba. Bebek di kampungku biasanya liar dipesisir pantai atau di bibir-bibir sungai. Beberapa warga memang mengambilnya menjadi santapan. Tapi seumur-umur saya belum pernah mencicipi yang namanya bebek. Sekali lagi apa salahnya untuk dicoba.  

Ku pesan seporsi. Segera saja laki-laki dibalik gerobak bertanya,”minumnya mas?” Seperti iklan saya segera menjawab “teh botol”. Penjual itu menyamping dari gerobak agar bisa melihatku secara jelas. “Mas?” aku pun tak bisa berkata-kata. Seluruh tubuh menjadi ringan, perut yang lapar pun semakin keroncongan. Penjual nasi bebek itu ternyata anak ibu yang barusan saya tolong tadi. Kami pun tertawa terkekeh. Segera dia membuat racikan bebeknya. Porsiku dilebihkan. Dan dua porsi nasi bebek yang kusantap pun digratiskan.

Sejak saat itu, Nasi Bebek depan TIM menjadi solusi paling pas untuk setiap momen. Seluruh pejuang yang memerlukan konsepku, ku ajak makan nasi bebek. Jika ada tamu datang dari daerah pun ku ajak makan nasi bebek. Teman paling jauh dan teman paling dekat pun ku ajak makan nasi bebek. Beberapa teman pun akhirnya tervirusi makan nasi bebek, terkadang untuk beromantis ria bersama pacar mereka dengan nasi bebek. Bahkan nasi bebek pun menjadi solusi malam minggu bagi perantau kere seusai begaya nonton bioskop.

Dan Nasi bebek pun punya bejibun makna.

*************************
Keterangan tambahan :
Nasi Bebek : Masakan Khas Madura
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
Bibi : Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di Sekretariat PB HMI
TIM : Taman Ismail Marzuki.
Hotel Alia Cikini : Hotel dibilangan cikini,berada tepat di depan Taman Ismail Marzuki.