Berdamai Dengan Tekanan



Untuk menemukan harta karun, kita harus cerdas membaca peta-nya. Dan kebanyakan peta harta karun itu selalu abstrak. Dalam menemukannya, kita harus melewati terjalnya gunung, luas samudera dengan gelombang yang mengaung, dinginnya udara dan teriknya mentari. Yang kesemua itu bukan sekedar kebetulan tentang  ‘kesialan’ atau tantangan semata.  Bisa jadi itu petunjuk. Sebuah keharusan yang mesti dilalui sebagai jalan. Dan lagi-lagi waktulah hakim nya. Memutuskan seberapa kuat dan cerdas kita bertahan untuk meraih harta karun itu. 


Ini sebab, belakangan, tekanan terasa semakin berhikmah. Jika harus flash back pada pengalaman pribadi saya sebagai sample, misalnya saat masa awal-awal berhadapan dengan dunia nyata selepas Ortu ogah-ogahan memberi santunan, tekanan adalah sekedar kesialan. Sebuah kegagalan sementara yang menunda kesuksesan. Kala itu, masih mampu berpikir bahwa tekanan sekedar “sukses tertunda”. Tertunda karena kurang rajin, malas disiplin atau sebab kenakalan-kenakalan kecil saja. Nanti juga akan sukses lagi, jika ada perubahan-perubahan kecil pada diri.

Ternyata tekanan yang sering menyapa secara tiba-tiba itu, tidak sekedar “sukses tertunda” yang hampa nilai. Ada tuntunan sekaligus keharusan yang tidak bisa dihindari. Seperti Peta menuju lumbung “harta karun”. Dan hanya orang-orang yang bisa menafsirnya menjadi sebuah petunjuk, yang bisa melewatinya.

Tak heran jika para bijak bestari selalu menggunakan kata “ambil hikmahnya” sebagai nasehat yang paling tepat saat dikonsultasikan tentang kegagalan, tekanan bahkan tantangan.  Dan belakangan secara pribadi, saya baru mahfum bahwa hikmah yang dimaksud bukan ludah yang dengan mudah kita telan dan sudah itu selesai.

Ada proses pembelajaran yang harus kita jajaki. Bisa jadi itu baru Bab awal pelajaran panjang tentang apa yang disebut hikmah. Hikmah yang bukan sekedar ilmu “menghindari kesialan” tapi ilmu tentang bagaimana berdamai dengan tekanan. Tekanan yang lahir dari kegagalan atau kesialan atau bahkan kebahagiaan. Sebab secara religius yang namanya cobaan itu milik semua mahkluk. Mau makhluk yang gemar bersujud dan khusuk bermunajah, atau makhluk bejat yang cuek Tuhan sekali pun.

Benar memang, setiap kita bukan Nabi yang sengaja  dihadirkan sebagai teladan. Namun, buat apa nabi dihadirkan jika pengikutnya sulit mencontoh. Trus kendalanya apa ? Sebagai makhluk yang gemar disapa kegagalan, mungkin saya bisa sedikit berbagi kesimpulan yang dipetik dari risalah-risalah para bijak; sebagai pengikut para Nabi, kita hanya butuh terbiasa. Atau membiasakan diri, lebih tepatnya. Tidak harus menjadi Nabi, tapi setidaknya mengikuti petunjuk-pentunjuknya sebagai peta.    

Tekanan tidak melulu soal istri yang kecewa suaminya selingkuh, suami yang gagal membelikan mainan si bungsu, orang tua yang menyesali sikap bejat anaknya. Tekanan bisa hadir dalam rupa yang  sangat membahagiakan. Menang lotre mungkin, sukses berniaga, beristri cantik, bersuami setia atau sekedar lulus tes PNS. Sebab rupa yang membahagiakan itu selalu memikul beban. Dan sebuah kondisi yang ‘butuh’ kiat-kiat untuk mempertahankan, adalah tekanan yang terselubung halus.

Ini bukan tentang “harus memilih” sebab memilih itu, selalu saja soal dua atau lebih pilihan. Ini tentang “harus mengambil” sehingga hikmah yang dimaksud tidak berada pada ruang kosong yang hampa. Dan jika diharuskan untuk mengambil, maka proses ‘mengambil itu yang harus dimaknai. 

Secara sederhana; Ada dua unsur  yang perlu kita dorong sebagai sebuah sikap. Ikhtiar (usaha) untuk mengambil hikmah dan kepasrahan (penyerahan) pada tekanan. 

Minggu, 22 Maret 2015

Berdamai Dengan Tekanan



Untuk menemukan harta karun, kita harus cerdas membaca peta-nya. Dan kebanyakan peta harta karun itu selalu abstrak. Dalam menemukannya, kita harus melewati terjalnya gunung, luas samudera dengan gelombang yang mengaung, dinginnya udara dan teriknya mentari. Yang kesemua itu bukan sekedar kebetulan tentang  ‘kesialan’ atau tantangan semata.  Bisa jadi itu petunjuk. Sebuah keharusan yang mesti dilalui sebagai jalan. Dan lagi-lagi waktulah hakim nya. Memutuskan seberapa kuat dan cerdas kita bertahan untuk meraih harta karun itu. 


Ini sebab, belakangan, tekanan terasa semakin berhikmah. Jika harus flash back pada pengalaman pribadi saya sebagai sample, misalnya saat masa awal-awal berhadapan dengan dunia nyata selepas Ortu ogah-ogahan memberi santunan, tekanan adalah sekedar kesialan. Sebuah kegagalan sementara yang menunda kesuksesan. Kala itu, masih mampu berpikir bahwa tekanan sekedar “sukses tertunda”. Tertunda karena kurang rajin, malas disiplin atau sebab kenakalan-kenakalan kecil saja. Nanti juga akan sukses lagi, jika ada perubahan-perubahan kecil pada diri.

Ternyata tekanan yang sering menyapa secara tiba-tiba itu, tidak sekedar “sukses tertunda” yang hampa nilai. Ada tuntunan sekaligus keharusan yang tidak bisa dihindari. Seperti Peta menuju lumbung “harta karun”. Dan hanya orang-orang yang bisa menafsirnya menjadi sebuah petunjuk, yang bisa melewatinya.

Tak heran jika para bijak bestari selalu menggunakan kata “ambil hikmahnya” sebagai nasehat yang paling tepat saat dikonsultasikan tentang kegagalan, tekanan bahkan tantangan.  Dan belakangan secara pribadi, saya baru mahfum bahwa hikmah yang dimaksud bukan ludah yang dengan mudah kita telan dan sudah itu selesai.

Ada proses pembelajaran yang harus kita jajaki. Bisa jadi itu baru Bab awal pelajaran panjang tentang apa yang disebut hikmah. Hikmah yang bukan sekedar ilmu “menghindari kesialan” tapi ilmu tentang bagaimana berdamai dengan tekanan. Tekanan yang lahir dari kegagalan atau kesialan atau bahkan kebahagiaan. Sebab secara religius yang namanya cobaan itu milik semua mahkluk. Mau makhluk yang gemar bersujud dan khusuk bermunajah, atau makhluk bejat yang cuek Tuhan sekali pun.

Benar memang, setiap kita bukan Nabi yang sengaja  dihadirkan sebagai teladan. Namun, buat apa nabi dihadirkan jika pengikutnya sulit mencontoh. Trus kendalanya apa ? Sebagai makhluk yang gemar disapa kegagalan, mungkin saya bisa sedikit berbagi kesimpulan yang dipetik dari risalah-risalah para bijak; sebagai pengikut para Nabi, kita hanya butuh terbiasa. Atau membiasakan diri, lebih tepatnya. Tidak harus menjadi Nabi, tapi setidaknya mengikuti petunjuk-pentunjuknya sebagai peta.    

Tekanan tidak melulu soal istri yang kecewa suaminya selingkuh, suami yang gagal membelikan mainan si bungsu, orang tua yang menyesali sikap bejat anaknya. Tekanan bisa hadir dalam rupa yang  sangat membahagiakan. Menang lotre mungkin, sukses berniaga, beristri cantik, bersuami setia atau sekedar lulus tes PNS. Sebab rupa yang membahagiakan itu selalu memikul beban. Dan sebuah kondisi yang ‘butuh’ kiat-kiat untuk mempertahankan, adalah tekanan yang terselubung halus.

Ini bukan tentang “harus memilih” sebab memilih itu, selalu saja soal dua atau lebih pilihan. Ini tentang “harus mengambil” sehingga hikmah yang dimaksud tidak berada pada ruang kosong yang hampa. Dan jika diharuskan untuk mengambil, maka proses ‘mengambil itu yang harus dimaknai. 

Secara sederhana; Ada dua unsur  yang perlu kita dorong sebagai sebuah sikap. Ikhtiar (usaha) untuk mengambil hikmah dan kepasrahan (penyerahan) pada tekanan.