
Ini sebab, belakangan, tekanan terasa
semakin berhikmah. Jika harus flash back pada pengalaman pribadi saya sebagai
sample, misalnya saat masa awal-awal berhadapan dengan dunia nyata selepas Ortu
ogah-ogahan memberi santunan, tekanan
adalah sekedar kesialan. Sebuah kegagalan sementara yang menunda kesuksesan.
Kala itu, masih mampu berpikir bahwa tekanan sekedar “sukses
tertunda”. Tertunda karena kurang rajin, malas disiplin atau sebab
kenakalan-kenakalan kecil saja. Nanti juga akan sukses lagi, jika ada
perubahan-perubahan kecil pada diri.
Ternyata tekanan yang sering
menyapa secara tiba-tiba itu, tidak sekedar “sukses tertunda” yang hampa nilai.
Ada tuntunan sekaligus keharusan yang tidak bisa dihindari. Seperti Peta menuju
lumbung “harta karun”. Dan hanya orang-orang yang bisa menafsirnya menjadi
sebuah petunjuk, yang bisa melewatinya.
Tak heran jika para bijak
bestari selalu menggunakan kata “ambil hikmahnya” sebagai nasehat yang paling
tepat saat dikonsultasikan tentang kegagalan, tekanan bahkan tantangan. Dan belakangan secara pribadi, saya baru
mahfum bahwa hikmah yang dimaksud bukan ludah yang dengan mudah kita telan dan
sudah itu selesai.
Ada proses pembelajaran yang
harus kita jajaki. Bisa jadi itu baru Bab awal pelajaran panjang tentang apa
yang disebut hikmah. Hikmah yang bukan sekedar ilmu “menghindari kesialan” tapi
ilmu tentang bagaimana berdamai dengan tekanan. Tekanan yang lahir dari
kegagalan atau kesialan atau bahkan kebahagiaan. Sebab secara religius yang
namanya cobaan itu milik semua mahkluk. Mau makhluk yang gemar bersujud dan
khusuk bermunajah, atau makhluk bejat yang cuek Tuhan sekali pun.
Benar memang, setiap kita bukan
Nabi yang sengaja dihadirkan sebagai teladan. Namun, buat apa
nabi dihadirkan jika pengikutnya sulit mencontoh. Trus kendalanya apa ? Sebagai
makhluk yang gemar disapa kegagalan, mungkin saya bisa sedikit berbagi
kesimpulan yang dipetik dari risalah-risalah para bijak; sebagai pengikut para
Nabi, kita hanya butuh terbiasa. Atau membiasakan diri, lebih tepatnya. Tidak
harus menjadi Nabi, tapi setidaknya mengikuti petunjuk-pentunjuknya sebagai
peta.
Tekanan tidak melulu soal istri yang kecewa suaminya
selingkuh, suami yang gagal membelikan mainan si bungsu, orang tua yang
menyesali sikap bejat anaknya. Tekanan bisa hadir dalam rupa yang sangat membahagiakan. Menang lotre mungkin,
sukses berniaga, beristri cantik, bersuami setia atau sekedar lulus tes PNS. Sebab
rupa yang membahagiakan itu selalu memikul beban. Dan sebuah kondisi yang ‘butuh’
kiat-kiat untuk mempertahankan, adalah tekanan yang terselubung halus.
Ini bukan tentang “harus memilih” sebab memilih itu, selalu
saja soal dua atau lebih pilihan. Ini tentang “harus mengambil” sehingga hikmah
yang dimaksud tidak berada pada ruang kosong yang hampa. Dan jika diharuskan
untuk mengambil, maka proses ‘mengambil itu yang harus dimaknai.
Secara sederhana; Ada dua unsur yang perlu kita dorong sebagai sebuah sikap. Ikhtiar (usaha) untuk
mengambil hikmah dan kepasrahan (penyerahan) pada tekanan.