JANAKI I

Dengan susah payah, aku akhirnya tiba di kerajaan Alengka. Kerajaan Para raksasa. Penjagaan di pintu masuk sangat ketat. Beberapa raksasa mencegat kedatanganku. Dengan garang mereka bertanya maksud kedatanganku. Siang yang terik membuat wajah para raksasa itu sedikit berminyak. Kilatan mata mereka tampak sangar. Gigi mereka kuning. Dengan suara yang sedikit paruh,salah seorang  menanyakan,  aku utusan dari mana. Dengan tenang aku menjawab, aku dari dunia manusia. Datang untuk menemui Rahwana. Sang Raja Raksasa yang begitu terkenal sakti mandraguna. Yang satu menimpali, apa tujuan pertemuanku. Dengan enteng aku menjawab lagi, aku membawa kabar dari negeri manusia yang sangat penting. Dan memperingatan mereka; jika aku tidak segera bertemu dengan Raja , maka Alengka dalam ancaman. 

Mereka saling berbisik. Tak berapa lama, aku pun langsung dipersilahkan masuk. Begitu mudahnya membodohi mereka. Aku dikawal melewati jalan masuk istana seplepas gerbang.  Beberapa pohon palem melingkar seperti membuat barisan parade marcing band tahun 80 an. Begitu tegas berdiri di pinggir-pinggir jalan, seakan mengucapkan selamat datang padaku. Alengka seperti istana para raja India yang megah. Halamannya luas terbentang. Banyak tumbuhan aneh yang tidak pernah kulihat di alam manusia. Rerumputan hijau melingkari seputaran istana. Ada beberapa burung raksasa mengintari menara-menara istana. Dari kejauhan mereka terlihat biasa, namun semakin dekat lebih seperti Tirex terbang.

Aku digiring dengan sopan oleh dua penjaga pintu menuju ruang utama. Layaknya raksasa, mereka lebih tinggi 2 meter dari ukuran manusia normal. Pintu masuk pada ruang utama menyesuaikan besarnya tubuh para raksasa itu. Setelah benar-benar masuk ruangan, aku merasa sangat kecil. Di langit-langit istana, terlihat beberapa permata yang tertanam diantara gantungan emas yang membungkus rapih di setiap sudut. Disela-selanya ada semacam lilin raksasa. Mungkin itu penerang utama jika malam. 

Tampak Rahwana sang raja raksasa, duduk santai namun gagah di singasanahnya. Dengan wajah yang sedikit ditekuk, Rahwana memperhatikan setiap langkahku. Dia seakan melumat habis, setiap gerakku menuju altar para tamu dengan matanya yang terlihat tegas.

Entah kenapa, tidak sedikit pun, aku merasa takut. Padahal Rahwana adalah simbol kekejaman para raksasa. Justru rasa penasaran yang menyelimuti pikiran. Ingin segera aku menghampirnya dan segera menanyakan banyak hal. Setibanya aku di altar para tamu, aku pun dipersilahkan duduk. Jarak altar dengan singasana tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 7 meter dibanding ribuan meter persegi luas istana. 

Biar suasana bisa lebih santai, aku memulai percakapan. Aku bertanya dengan sopan, apa bisa  membakar sebatang rokok ?

rokok yang sengaja aku siapkan saat tadi menuju Alengka. Sang raja mengangguk pelan. Aku pun membakar sebatang Marlboro lights. Menarik asapnya dalam dan menghamburkannya. Sang raja masih diam. Aku memulai lagi percakapan.
“Aku pencinta Janaki”  

Sontak Rahwana menyibak selendangnya dan terkekeh sinis. Kesan seram yang digambarkan soal Rahwana pun meniada. Sebagai seorang raksasa dia sangat berbeda, disiang menjelang sore itu. Beberapa pengawal seakan tidak peduli dengan tawa Raja mereka. Wajah mereka yang kemerahan itu tetap tegang. Seakan itu sudah menjadi prosedur tetap para raksasa agar tetap kelihatan 'seram dan sangar' 

"Apa kau utusan Sri Rama ? atau Hanoman dengan wujud manusia" Rahwana akhirnya mengeluarkan suara. Terdengar paruh. Dia lalu menambahkan, pertanyaannya dengan sedikit pernyataan  "sebagai seorang khasatria, kau tampak lucu" wajah tegangnya berubah. Sekarang lebih seperti mengejek.
Tarikan rokok yang kedua aku hembuskan, asap mengepul lebih tebal dari sebelumnya. Memang sih jika seandainya aku salah seorang khasatria dalam pewayang, aku tampak sangat keren. Siang itu aku mengenakan oblong hitam dengan tulisan putih “the betles” diantara wajah Lenon dan kawan-kawan se-bandnya. Jeans Lea kusut yang sedikit ngepres terkolaborasi dengan sepatu airwalk coklat bergaris putih. Lebih cocok disebut anak nongrong dibanding khasatria.

"Kenapa kau begitu bernafsu dengan Janaki atau Dewi Shinta ? sementara kau membiarkan dirimu kalah diterjang amukan Anoman yang berkolaborasi dengan adikmu sendiri Wibisana" Kini berbalik aku yang menekuk wajah dan bertanya serius. 
Rahwana menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan dan menjawab pertanyaanku dengan tenang. 

"Dewi Shinta adalah titipan Dewi Laksmi, sang bunda paripurna. Pusat kebaikan dan simbol kesetiaan.  Tidak sekedar kesetiaan pada cinta, tapi pada prinsip dan sikap. Aku menggilainya" Mata Rahwana berkaca. Pupil matanya dibesarkan untuk menahan agar kaca dimatanya tidak pecah menjadi air. "Dan Anoman juga Wibisana tidak pernah mengalahkanku. Cintanyalah yang mengalahkanku" Rahwana menjelaskan tenang. 

"Cintanya ?" aku semakin tidak mengerti. "Cintanya Janaki?" Aku turun dari altar dan mendekat ke singasanah agar bisa lebih leluarsa berbicara. Sebatang rokok aku bakar kembali. Rahwana lalu menundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku sedekat mungkin lalu berbisik dengan suara yang lirih. "Ya, cintanya Janaki untukku"

What ? tidak mungkin. Ini sebuah kebohongan. Bukankah Dewi Shinta sudah memiliki suami, dan bukankah dia symbol kesetiaan. Pusat kebaikan. Aku tidak akan mempercayainya hingga kau bisa menjelaskannya secara rational. Sekali pun siang ini kau memutuskan memakanku. Rasa cintaku pada Janaki harus ku tahan dengan hebatnya, sebab dia milik Sri Rama, eh ..kau raksasa bengis, ngaku-ngaku dicintai Dewi Shinta. Gumanku dihati, terlampau sinis. 
"coba kau jelaskan maksud kongritmu rahwana?"  Perlahan namun tegas aku bertanya lagi. 

Akhirnya Rahwana berdiri dari singahsananya. Tubuhnya tegap, tinggi, dadanya berbidang, macho. Kesannya, Rahwana ini lebih terlihat cuek dibanding kejam. Dengan langkah yang tegas, Rahwana menghampiriku lebih dekat. Dia lalu meminta rokokku. Dibakarnya rokok itu dengan santai, lalu dihembuskan asapnya. Rahwana ternyata terlihat lebih keren dibanding yang digambarkan dalam cerita-cerita pewayangan. Dia lalu merangkulku dan menggiring aku ke sebelah utara ruangan menuju  pintu keluar.

Tibalah kami disebuah tempat bernama Kapitren Alengkadireja. Pemandangannya syahdu. Ada hamparan rumput hijau yang terbentang, ada juga beberapa pendopo yang terletak di tengah-tengahnya. Pendopo yang dihiasi bunga berbagai warna. Rahwana membentangkan tangannya sambil berkata, disinilah Dewi Shinta selama tiga tahun bersamaku.  Waktu yang berlalu sebelum mereka datang untuk menjemputnya.

"Setiap waktu sangat berarti bagi kami. Tiga tahun yang singkat meski padat. Sedikit pun aku tidak menyentuhnya dan bibirku selalu kaku ketika kesempurnanya menyibakkan setiap tutur. Dia hanya menginginkan aku berada pada titik takdir yang berbeda. Tapi tak pernah menyalahkan garis takdir yang sudah membawa kami pada titik yang sulit ini" Rahwana berkisah.

Suaranya meninggi. Dengan kata-kata yang bernada, Rahwana melanjutkan berkisah  "Selama tiga tahun aku seperti ditemani dewa laksmi yang berkolaborasi dengan Sang Eros dari Yunani. Dia menuntunku dalam kebaikan, membongkar keangkuhan demi keangkuhanku. Entah apa maksud Walkimi sang resi penulis takdir, menoreh takdir kita secara bertentangan, namun mempertemukan kami dalam cinta. Setiap asah cinta yang kita rasakan berada pada titik sulit. Setiap etape buruk yang kami hadapi adalah pelajaran dari Sang Whidi. Kami mempelajari banyak hal. Kami seakan hanya untuk dipertemukan semantara waktu. Agar kami bisa saling belajar tentang sisi masing-masing. Dia mempelajari keburukan dariku, dan aku menyelami kebaikan dari setiap gerak dan tuturnya. Tak ada yang sia-sia dari waktu yang “sementara” itu. Cukup Tiga tahun. Singkat namun padat. Karena Setiap detik adalah kisah bagi kami"

Mata Rahwana meneteskan air. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam setiap cerita. Aku masih tetap diam. Berbatang-batang rokok aku habiskan. Rahwana yang gagah perkasa, lunglai dalam roman yang tak pernah tertulis. 

Aku memutuskan untuk bertanya lagi. "Apa yang membuatmu yakin bahwa yang dirasakan dewi Shinta atau Janaki adalah cinta ? bukankah dia punya cinta yang lain ? mungkin saja dia hanya berpura-pura agar kau membiarkannya lepas ?"

Rahwana membalik badannya. Melepaskan pandangan pada hamparan hijau. Dengan suara yang lirih raja Raksasa yang terkenal jahat ini berucap lirih;
"Tak ada penculikan, pemaksanaan, kekerasan, atau apa pun yang sering kau dengar dalam setiap roman. Walkimi (penulis takdir) menulis perjumpaan kami secara sengaja di waktu yang sudah terlambat. Maka aku harus menjadi sisi jahat kehidupan, agar kesempurnaan Dewi Shinta tetap terjaga. Terlambat karena Sri Rama sudah menjadi cinta setia nya. Namun Walkemi memberi kesempatan baginya untuk merasakan cinta sejatinya. Akulah keterlambatan itu. Akulah sisi sejatinya dalam cinta"
Meski kami diberi kesempatan merasakan sejatinya cinta dalam berbagai keterlambatan dan waktu yang singkat. Takdir harus tetap berjalan dalam garisnya. Dewi Shinta harus tetap menjadi symbol kebaikan dan kesempurnaan. Maka sisi burukku harus menjadi sebab mutlak dalam perpisahan kami"

Aku pun menimpali, "kenapa ?"

" Harus ada yang menjadi symbol kesetiaan dalam cinta" jawab Rahwana. Walkimi menjadikan Sri Rama sebagai sosok baik yang menjadi sisi setia Janaki.

"Lalu Anoman datang untuk mengambil janaki secara paksa ?" aku bertanya lagi. 

Tidak, jawab Rahwana. "Aku meningkalkan Janaki dalam kekecewaan. Janaki harus membenciku. Agar sisi baiknya terjaga. Sebab ada Sri Rama sebagai sisi baik yang akan menjaganya dan menjadikannya sempurna" 

Dadaku mulai sesak dengan hembusan demi hembusan rokok yang ku hisap. Dada ini bertambah sesak mendengar pengakuan Rahwana. Sulit dipercaya.

Waktu berlalu cepat, langit Alengka mulai menghitam dan dihiasi titik-titik bintang yang mengantung. Tak lama kemudian, Rahwana lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Sangat dekat. Dengan suara yang pelan Rahwana berbisik. Siapa kamu ? kenapa kau datang begitu saja ? …

Halmahera 2013, 
Rully
★******************

Alkisah Nasi Bebek

Sebagai aktivis HMI level pusat, saya termasuk yang tidak beruntung. Meski posisi saya masuk presidium, tetap saja tidak pandai menjual potensi untuk menjadi duit. Berbeda dengan teman-teman yang kecerdasannya melebihi rata-rata. Mereka mampu mengais rezeki melebihi gaji PNS golongan IV/a sekali pun dalam sebulan. 

Karena keterbatasan itu, saya lebih sering nyungsep di kosan. Menunggu keajaiban yang datang dari sms atau bbm, kali’ ada hari ini ada yang berbaik hati untuk sekedar mentraktir ngopi-ngopi sekalian makan malam. Beberapa teman selain cerdas mengais rezeki juga cerdas mengumbar kehebatannya. Usai menggolontorkan kocek senior, politisi, orang penting,penguasa atau siapa pun, mereka suka mengajak teman-teman yang kurang beruntung seperti saya untuk ngopi-ngopi dan menceritakan strategi demi strategi mereka dalam upaya meningkatkan nominal rekening di ATM mereka. Di satu sisi, ini peluangku. Saya bersedia menjadi pendengar yang loyal dan disayang para pejuang-pejuang ini.

Jadilah saya seorang pendengar setia. Selain mendengar, saya juga pemuji yang ulung. Dan para pejuang ini doyan sama kawan-kawan yang gemar memuji. Saya pikir mereka patut diapresiasi. Selain mereka pintar menaklukan Jakarta, mereka sungguh baik hati. Sekali ngopi, saya diservis makan malam, rokok sebungkus plus hot coklat di café berlevel International dan dana tambahan untuk makan siang besok.

Setiap pemberian dana tambahan itu, saya simpan.Buat jaga-jaga, karena tidak setiap sore keberuntungan itu datang. Terkadang hingga lepas isya, sms atau BBM tak kunjung datang. Nah, simpanan itulah penolongnya. Selain sebagai penolong, dana tambahan dari para pejuang juga berfungsi untuk menghilangkan hambarnya malam minggu di studio XXI Megaria atau 21 TIM.
Memang ajakan ngopi disore hari itu tidak selamanya gratis. Saya termasuk yang mahfum soal teori-teori social, strategi politik, atau konsep-konsep yang layak dijual, begitu menurut sebagian besar teman-teman pejuang itu. Jadi ketika mereka dapat orderan, saya-lah kawan yang tepat untuk diajak diskusi, barang apa yang harus dijual pada user yang meng-order.

Saya sangat menikmati situasi ini. Bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk kawan-kawan, meski saya lebih sering nyungsep di kosan atau secretariat.  Pikirku, setiap kita punya fungsi. Jika fungsi-fungsi itu disinergiskan akan sulit ada celah konflik untuk perebutan lahan.
Namun, Ttk selamanya situasi yang membahagiakan ini berjalan seperti harapan. Kadang para pejuang pun sepi order. Meski mereka tidak segera miskin di Jakarta, setidaknya mereka tidak bisa membagi pundi-pundi ghonima dengan teman-teman yang kurang beruntung seperti saya, jika orderan lagi sepi. Jika sudah situasi ini yang dihadapi. Maka strategi selanjutnya adalah berpura-pura nongrong di secretariat. Menunggu bibi selesai menyiapkan makanan pengurus, lalu kita menikmati makanan tersebut. Kebanyakan yang mencicipi masakan jatah pengurus adalah kami, orang-orang yang tidak beruntung itu.

Hingga suatu saat, kemiskinan benar-benar menguji saya. Tak ada panggilan para pejuang, bibi tidak masak dan duit dikantong tinggal dua ribu rupiah, sementara perut melilit kelaparan. Matahari sebentar lagi hilang, sementara perut sama sekali belum menyentuh nasi dari malam kemarin. Untunglah saya diberi kepercayaan memegang sebuah motor dinas organisasi yang kami beli dari duit sisa hasil pelaksanaan program.

Saya memutuskan keluar kosan. Membelah cikini. Maklum saat itu saya kosan disalah satu kampong urban didaerah pusat Jakarta. Gang itu bernama Anyer. Kalau Anyer dalam bahasa kampungku adalah bau busuk ikan. Tapi entah apa arti Anyer di Jakarta. Sebuah kosan sederhana yang dua kali membuat saya masuk rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan.

Matahari semakin condong ke barat. Toa-toa mesjid mulai melantunkan Ar-Rahman, tanda sebentar lagi magrib. Selain belum makan, saya juga lupa mandi. Sejak kemarin malam tubuh tak tersentuh air. Tapi itu bukan soal. Di kota cuek ini, mandi tidak mandi akan sama untuk pengendara motor.
Lampu merah manggarai menyala tanda kereta akan melintas. Dengan hati-hati saya pun menepi menopang motor meski tubuh mulai lunglai karena lapar. Menunggu kereta kota yang melintas seperti cacing buluh yang tubuhnya disesaki manusia dengan berbagai latar. Melaju. Tiba-tiba ada teriakan yang menyita perhatian. Seorang ibu terjatuh tersungkur di aspal jalan.
Keranjang dan beberapa kantong plastiknya berhamburan. Ibu itu baru saja di senggol motor metic dari arah belakang. Keramaian pun berkerumun segera menolong ibu itu. Namun tak ada yang bersegera mengangkut ibu itu menuju rumah sakit. Mungkin kesibukan orang-orang yang berkerumun sore itu amatlah padat. Dengan spontan, saya mengangkut ibu ke motor dinas yang saya kendarai. Segera saja aku tancap gas, mengangkut ibu itu menuju ke rumah Sakit Agung manggarai. Segera saja sesampai di rumah sakit, petugas langsung melayani ibu itu.

Saya menunggu di beranda rumah sakit. Memastikan ibu dalam keadaan baik dan mungkin saja ada keluarga yang bisa dihubungi. Namun belum juga dokter usai memeriksa ibu, seorang laki-laki muda datang menemui ku dan mengatakan bahwa dia adalah anak ibu tersebut. Aku langsung lega. Setidaknya saya tidak perlu lagi mencari keluarga korban di Jakarta yang maha luas ini. Kami bercakap singkat. Saya menceritakan kronologis kejadian.

Magrib pun menjemput senja. Langit Jakarta menghitam dihiasi titik-titik bintang. Ibu dinyatakan sehat dan bisa kembali pulang. Hanya ada sedikit lecet di punggung. Anak ibu tersebut menyalamiku. Dalam salaman tersebut dia menyelipkan beberapa uang kertas. Praktis saya menolaknya dengan keras. Laki-laki itu memaksa sambil memohon agar saya menghargainya. Langsung terbersit dalam benak, mengkin ini rezeki yang sering di bilang ustad-ustad, turun dari langit. Aku langsung menghitung uang tersebut, ada dua ratus ribu rupiah, dengan pecahan lima puluh ribu empat lembar. Saya langsung mengembalikan tiga lembarnya dengan penegasan agar kita bisa impas. Saya menolong tanpa pamrih dan mereka pun iklas memberikan terima kasih. Selesai. Kami pun berpisah.

Meski agak tegang menolong kecelakaan, perut terus bergemuruh. Alhamdulillah ada lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk dua hari bertahan. Saya langsung memacu motor dinas menuju Taman Ismail Marzuki. Di depan TIM ada gerobak-gerobak ketoprak atau sate yang terjangkau dana pemberian ‘terima kasih’ ini. Sayang seribu sayang, entah karena ada penertiban atau apalah. Gerobak-gerobak itu tidak ada. Padahal ingin sekali makan ketoprak. Maksudnya, dengan harga yang segitu, saya bisa memesan dua porsi sekaligus. Tapi malang tak dapat di tolak.

Baru saja saya akan beranjak untuk mencari warteg dekat situ, mata saya tertuju pada gerobak gerbang jalan depan TIM, tepat disampaing Hotel Alia Cikini. Nasi Bebek. Apa salahnya dicoba. Bebek di kampungku biasanya liar dipesisir pantai atau di bibir-bibir sungai. Beberapa warga memang mengambilnya menjadi santapan. Tapi seumur-umur saya belum pernah mencicipi yang namanya bebek. Sekali lagi apa salahnya untuk dicoba.  

Ku pesan seporsi. Segera saja laki-laki dibalik gerobak bertanya,”minumnya mas?” Seperti iklan saya segera menjawab “teh botol”. Penjual itu menyamping dari gerobak agar bisa melihatku secara jelas. “Mas?” aku pun tak bisa berkata-kata. Seluruh tubuh menjadi ringan, perut yang lapar pun semakin keroncongan. Penjual nasi bebek itu ternyata anak ibu yang barusan saya tolong tadi. Kami pun tertawa terkekeh. Segera dia membuat racikan bebeknya. Porsiku dilebihkan. Dan dua porsi nasi bebek yang kusantap pun digratiskan.

Sejak saat itu, Nasi Bebek depan TIM menjadi solusi paling pas untuk setiap momen. Seluruh pejuang yang memerlukan konsepku, ku ajak makan nasi bebek. Jika ada tamu datang dari daerah pun ku ajak makan nasi bebek. Teman paling jauh dan teman paling dekat pun ku ajak makan nasi bebek. Beberapa teman pun akhirnya tervirusi makan nasi bebek, terkadang untuk beromantis ria bersama pacar mereka dengan nasi bebek. Bahkan nasi bebek pun menjadi solusi malam minggu bagi perantau kere seusai begaya nonton bioskop.

Dan Nasi bebek pun punya bejibun makna.

*************************
Keterangan tambahan :
Nasi Bebek : Masakan Khas Madura
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
Bibi : Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di Sekretariat PB HMI
TIM : Taman Ismail Marzuki.
Hotel Alia Cikini : Hotel dibilangan cikini,berada tepat di depan Taman Ismail Marzuki.
    

Rabu, 05 Maret 2014

JANAKI I

Dengan susah payah, aku akhirnya tiba di kerajaan Alengka. Kerajaan Para raksasa. Penjagaan di pintu masuk sangat ketat. Beberapa raksasa mencegat kedatanganku. Dengan garang mereka bertanya maksud kedatanganku. Siang yang terik membuat wajah para raksasa itu sedikit berminyak. Kilatan mata mereka tampak sangar. Gigi mereka kuning. Dengan suara yang sedikit paruh,salah seorang  menanyakan,  aku utusan dari mana. Dengan tenang aku menjawab, aku dari dunia manusia. Datang untuk menemui Rahwana. Sang Raja Raksasa yang begitu terkenal sakti mandraguna. Yang satu menimpali, apa tujuan pertemuanku. Dengan enteng aku menjawab lagi, aku membawa kabar dari negeri manusia yang sangat penting. Dan memperingatan mereka; jika aku tidak segera bertemu dengan Raja , maka Alengka dalam ancaman. 

Mereka saling berbisik. Tak berapa lama, aku pun langsung dipersilahkan masuk. Begitu mudahnya membodohi mereka. Aku dikawal melewati jalan masuk istana seplepas gerbang.  Beberapa pohon palem melingkar seperti membuat barisan parade marcing band tahun 80 an. Begitu tegas berdiri di pinggir-pinggir jalan, seakan mengucapkan selamat datang padaku. Alengka seperti istana para raja India yang megah. Halamannya luas terbentang. Banyak tumbuhan aneh yang tidak pernah kulihat di alam manusia. Rerumputan hijau melingkari seputaran istana. Ada beberapa burung raksasa mengintari menara-menara istana. Dari kejauhan mereka terlihat biasa, namun semakin dekat lebih seperti Tirex terbang.

Aku digiring dengan sopan oleh dua penjaga pintu menuju ruang utama. Layaknya raksasa, mereka lebih tinggi 2 meter dari ukuran manusia normal. Pintu masuk pada ruang utama menyesuaikan besarnya tubuh para raksasa itu. Setelah benar-benar masuk ruangan, aku merasa sangat kecil. Di langit-langit istana, terlihat beberapa permata yang tertanam diantara gantungan emas yang membungkus rapih di setiap sudut. Disela-selanya ada semacam lilin raksasa. Mungkin itu penerang utama jika malam. 

Tampak Rahwana sang raja raksasa, duduk santai namun gagah di singasanahnya. Dengan wajah yang sedikit ditekuk, Rahwana memperhatikan setiap langkahku. Dia seakan melumat habis, setiap gerakku menuju altar para tamu dengan matanya yang terlihat tegas.

Entah kenapa, tidak sedikit pun, aku merasa takut. Padahal Rahwana adalah simbol kekejaman para raksasa. Justru rasa penasaran yang menyelimuti pikiran. Ingin segera aku menghampirnya dan segera menanyakan banyak hal. Setibanya aku di altar para tamu, aku pun dipersilahkan duduk. Jarak altar dengan singasana tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 7 meter dibanding ribuan meter persegi luas istana. 

Biar suasana bisa lebih santai, aku memulai percakapan. Aku bertanya dengan sopan, apa bisa  membakar sebatang rokok ?

rokok yang sengaja aku siapkan saat tadi menuju Alengka. Sang raja mengangguk pelan. Aku pun membakar sebatang Marlboro lights. Menarik asapnya dalam dan menghamburkannya. Sang raja masih diam. Aku memulai lagi percakapan.
“Aku pencinta Janaki”  

Sontak Rahwana menyibak selendangnya dan terkekeh sinis. Kesan seram yang digambarkan soal Rahwana pun meniada. Sebagai seorang raksasa dia sangat berbeda, disiang menjelang sore itu. Beberapa pengawal seakan tidak peduli dengan tawa Raja mereka. Wajah mereka yang kemerahan itu tetap tegang. Seakan itu sudah menjadi prosedur tetap para raksasa agar tetap kelihatan 'seram dan sangar' 

"Apa kau utusan Sri Rama ? atau Hanoman dengan wujud manusia" Rahwana akhirnya mengeluarkan suara. Terdengar paruh. Dia lalu menambahkan, pertanyaannya dengan sedikit pernyataan  "sebagai seorang khasatria, kau tampak lucu" wajah tegangnya berubah. Sekarang lebih seperti mengejek.
Tarikan rokok yang kedua aku hembuskan, asap mengepul lebih tebal dari sebelumnya. Memang sih jika seandainya aku salah seorang khasatria dalam pewayang, aku tampak sangat keren. Siang itu aku mengenakan oblong hitam dengan tulisan putih “the betles” diantara wajah Lenon dan kawan-kawan se-bandnya. Jeans Lea kusut yang sedikit ngepres terkolaborasi dengan sepatu airwalk coklat bergaris putih. Lebih cocok disebut anak nongrong dibanding khasatria.

"Kenapa kau begitu bernafsu dengan Janaki atau Dewi Shinta ? sementara kau membiarkan dirimu kalah diterjang amukan Anoman yang berkolaborasi dengan adikmu sendiri Wibisana" Kini berbalik aku yang menekuk wajah dan bertanya serius. 
Rahwana menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan dan menjawab pertanyaanku dengan tenang. 

"Dewi Shinta adalah titipan Dewi Laksmi, sang bunda paripurna. Pusat kebaikan dan simbol kesetiaan.  Tidak sekedar kesetiaan pada cinta, tapi pada prinsip dan sikap. Aku menggilainya" Mata Rahwana berkaca. Pupil matanya dibesarkan untuk menahan agar kaca dimatanya tidak pecah menjadi air. "Dan Anoman juga Wibisana tidak pernah mengalahkanku. Cintanyalah yang mengalahkanku" Rahwana menjelaskan tenang. 

"Cintanya ?" aku semakin tidak mengerti. "Cintanya Janaki?" Aku turun dari altar dan mendekat ke singasanah agar bisa lebih leluarsa berbicara. Sebatang rokok aku bakar kembali. Rahwana lalu menundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku sedekat mungkin lalu berbisik dengan suara yang lirih. "Ya, cintanya Janaki untukku"

What ? tidak mungkin. Ini sebuah kebohongan. Bukankah Dewi Shinta sudah memiliki suami, dan bukankah dia symbol kesetiaan. Pusat kebaikan. Aku tidak akan mempercayainya hingga kau bisa menjelaskannya secara rational. Sekali pun siang ini kau memutuskan memakanku. Rasa cintaku pada Janaki harus ku tahan dengan hebatnya, sebab dia milik Sri Rama, eh ..kau raksasa bengis, ngaku-ngaku dicintai Dewi Shinta. Gumanku dihati, terlampau sinis. 
"coba kau jelaskan maksud kongritmu rahwana?"  Perlahan namun tegas aku bertanya lagi. 

Akhirnya Rahwana berdiri dari singahsananya. Tubuhnya tegap, tinggi, dadanya berbidang, macho. Kesannya, Rahwana ini lebih terlihat cuek dibanding kejam. Dengan langkah yang tegas, Rahwana menghampiriku lebih dekat. Dia lalu meminta rokokku. Dibakarnya rokok itu dengan santai, lalu dihembuskan asapnya. Rahwana ternyata terlihat lebih keren dibanding yang digambarkan dalam cerita-cerita pewayangan. Dia lalu merangkulku dan menggiring aku ke sebelah utara ruangan menuju  pintu keluar.

Tibalah kami disebuah tempat bernama Kapitren Alengkadireja. Pemandangannya syahdu. Ada hamparan rumput hijau yang terbentang, ada juga beberapa pendopo yang terletak di tengah-tengahnya. Pendopo yang dihiasi bunga berbagai warna. Rahwana membentangkan tangannya sambil berkata, disinilah Dewi Shinta selama tiga tahun bersamaku.  Waktu yang berlalu sebelum mereka datang untuk menjemputnya.

"Setiap waktu sangat berarti bagi kami. Tiga tahun yang singkat meski padat. Sedikit pun aku tidak menyentuhnya dan bibirku selalu kaku ketika kesempurnanya menyibakkan setiap tutur. Dia hanya menginginkan aku berada pada titik takdir yang berbeda. Tapi tak pernah menyalahkan garis takdir yang sudah membawa kami pada titik yang sulit ini" Rahwana berkisah.

Suaranya meninggi. Dengan kata-kata yang bernada, Rahwana melanjutkan berkisah  "Selama tiga tahun aku seperti ditemani dewa laksmi yang berkolaborasi dengan Sang Eros dari Yunani. Dia menuntunku dalam kebaikan, membongkar keangkuhan demi keangkuhanku. Entah apa maksud Walkimi sang resi penulis takdir, menoreh takdir kita secara bertentangan, namun mempertemukan kami dalam cinta. Setiap asah cinta yang kita rasakan berada pada titik sulit. Setiap etape buruk yang kami hadapi adalah pelajaran dari Sang Whidi. Kami mempelajari banyak hal. Kami seakan hanya untuk dipertemukan semantara waktu. Agar kami bisa saling belajar tentang sisi masing-masing. Dia mempelajari keburukan dariku, dan aku menyelami kebaikan dari setiap gerak dan tuturnya. Tak ada yang sia-sia dari waktu yang “sementara” itu. Cukup Tiga tahun. Singkat namun padat. Karena Setiap detik adalah kisah bagi kami"

Mata Rahwana meneteskan air. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam setiap cerita. Aku masih tetap diam. Berbatang-batang rokok aku habiskan. Rahwana yang gagah perkasa, lunglai dalam roman yang tak pernah tertulis. 

Aku memutuskan untuk bertanya lagi. "Apa yang membuatmu yakin bahwa yang dirasakan dewi Shinta atau Janaki adalah cinta ? bukankah dia punya cinta yang lain ? mungkin saja dia hanya berpura-pura agar kau membiarkannya lepas ?"

Rahwana membalik badannya. Melepaskan pandangan pada hamparan hijau. Dengan suara yang lirih raja Raksasa yang terkenal jahat ini berucap lirih;
"Tak ada penculikan, pemaksanaan, kekerasan, atau apa pun yang sering kau dengar dalam setiap roman. Walkimi (penulis takdir) menulis perjumpaan kami secara sengaja di waktu yang sudah terlambat. Maka aku harus menjadi sisi jahat kehidupan, agar kesempurnaan Dewi Shinta tetap terjaga. Terlambat karena Sri Rama sudah menjadi cinta setia nya. Namun Walkemi memberi kesempatan baginya untuk merasakan cinta sejatinya. Akulah keterlambatan itu. Akulah sisi sejatinya dalam cinta"
Meski kami diberi kesempatan merasakan sejatinya cinta dalam berbagai keterlambatan dan waktu yang singkat. Takdir harus tetap berjalan dalam garisnya. Dewi Shinta harus tetap menjadi symbol kebaikan dan kesempurnaan. Maka sisi burukku harus menjadi sebab mutlak dalam perpisahan kami"

Aku pun menimpali, "kenapa ?"

" Harus ada yang menjadi symbol kesetiaan dalam cinta" jawab Rahwana. Walkimi menjadikan Sri Rama sebagai sosok baik yang menjadi sisi setia Janaki.

"Lalu Anoman datang untuk mengambil janaki secara paksa ?" aku bertanya lagi. 

Tidak, jawab Rahwana. "Aku meningkalkan Janaki dalam kekecewaan. Janaki harus membenciku. Agar sisi baiknya terjaga. Sebab ada Sri Rama sebagai sisi baik yang akan menjaganya dan menjadikannya sempurna" 

Dadaku mulai sesak dengan hembusan demi hembusan rokok yang ku hisap. Dada ini bertambah sesak mendengar pengakuan Rahwana. Sulit dipercaya.

Waktu berlalu cepat, langit Alengka mulai menghitam dan dihiasi titik-titik bintang yang mengantung. Tak lama kemudian, Rahwana lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Sangat dekat. Dengan suara yang pelan Rahwana berbisik. Siapa kamu ? kenapa kau datang begitu saja ? …

Halmahera 2013, 
Rully
★******************

Alkisah Nasi Bebek

Sebagai aktivis HMI level pusat, saya termasuk yang tidak beruntung. Meski posisi saya masuk presidium, tetap saja tidak pandai menjual potensi untuk menjadi duit. Berbeda dengan teman-teman yang kecerdasannya melebihi rata-rata. Mereka mampu mengais rezeki melebihi gaji PNS golongan IV/a sekali pun dalam sebulan. 

Karena keterbatasan itu, saya lebih sering nyungsep di kosan. Menunggu keajaiban yang datang dari sms atau bbm, kali’ ada hari ini ada yang berbaik hati untuk sekedar mentraktir ngopi-ngopi sekalian makan malam. Beberapa teman selain cerdas mengais rezeki juga cerdas mengumbar kehebatannya. Usai menggolontorkan kocek senior, politisi, orang penting,penguasa atau siapa pun, mereka suka mengajak teman-teman yang kurang beruntung seperti saya untuk ngopi-ngopi dan menceritakan strategi demi strategi mereka dalam upaya meningkatkan nominal rekening di ATM mereka. Di satu sisi, ini peluangku. Saya bersedia menjadi pendengar yang loyal dan disayang para pejuang-pejuang ini.

Jadilah saya seorang pendengar setia. Selain mendengar, saya juga pemuji yang ulung. Dan para pejuang ini doyan sama kawan-kawan yang gemar memuji. Saya pikir mereka patut diapresiasi. Selain mereka pintar menaklukan Jakarta, mereka sungguh baik hati. Sekali ngopi, saya diservis makan malam, rokok sebungkus plus hot coklat di café berlevel International dan dana tambahan untuk makan siang besok.

Setiap pemberian dana tambahan itu, saya simpan.Buat jaga-jaga, karena tidak setiap sore keberuntungan itu datang. Terkadang hingga lepas isya, sms atau BBM tak kunjung datang. Nah, simpanan itulah penolongnya. Selain sebagai penolong, dana tambahan dari para pejuang juga berfungsi untuk menghilangkan hambarnya malam minggu di studio XXI Megaria atau 21 TIM.
Memang ajakan ngopi disore hari itu tidak selamanya gratis. Saya termasuk yang mahfum soal teori-teori social, strategi politik, atau konsep-konsep yang layak dijual, begitu menurut sebagian besar teman-teman pejuang itu. Jadi ketika mereka dapat orderan, saya-lah kawan yang tepat untuk diajak diskusi, barang apa yang harus dijual pada user yang meng-order.

Saya sangat menikmati situasi ini. Bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk kawan-kawan, meski saya lebih sering nyungsep di kosan atau secretariat.  Pikirku, setiap kita punya fungsi. Jika fungsi-fungsi itu disinergiskan akan sulit ada celah konflik untuk perebutan lahan.
Namun, Ttk selamanya situasi yang membahagiakan ini berjalan seperti harapan. Kadang para pejuang pun sepi order. Meski mereka tidak segera miskin di Jakarta, setidaknya mereka tidak bisa membagi pundi-pundi ghonima dengan teman-teman yang kurang beruntung seperti saya, jika orderan lagi sepi. Jika sudah situasi ini yang dihadapi. Maka strategi selanjutnya adalah berpura-pura nongrong di secretariat. Menunggu bibi selesai menyiapkan makanan pengurus, lalu kita menikmati makanan tersebut. Kebanyakan yang mencicipi masakan jatah pengurus adalah kami, orang-orang yang tidak beruntung itu.

Hingga suatu saat, kemiskinan benar-benar menguji saya. Tak ada panggilan para pejuang, bibi tidak masak dan duit dikantong tinggal dua ribu rupiah, sementara perut melilit kelaparan. Matahari sebentar lagi hilang, sementara perut sama sekali belum menyentuh nasi dari malam kemarin. Untunglah saya diberi kepercayaan memegang sebuah motor dinas organisasi yang kami beli dari duit sisa hasil pelaksanaan program.

Saya memutuskan keluar kosan. Membelah cikini. Maklum saat itu saya kosan disalah satu kampong urban didaerah pusat Jakarta. Gang itu bernama Anyer. Kalau Anyer dalam bahasa kampungku adalah bau busuk ikan. Tapi entah apa arti Anyer di Jakarta. Sebuah kosan sederhana yang dua kali membuat saya masuk rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan.

Matahari semakin condong ke barat. Toa-toa mesjid mulai melantunkan Ar-Rahman, tanda sebentar lagi magrib. Selain belum makan, saya juga lupa mandi. Sejak kemarin malam tubuh tak tersentuh air. Tapi itu bukan soal. Di kota cuek ini, mandi tidak mandi akan sama untuk pengendara motor.
Lampu merah manggarai menyala tanda kereta akan melintas. Dengan hati-hati saya pun menepi menopang motor meski tubuh mulai lunglai karena lapar. Menunggu kereta kota yang melintas seperti cacing buluh yang tubuhnya disesaki manusia dengan berbagai latar. Melaju. Tiba-tiba ada teriakan yang menyita perhatian. Seorang ibu terjatuh tersungkur di aspal jalan.
Keranjang dan beberapa kantong plastiknya berhamburan. Ibu itu baru saja di senggol motor metic dari arah belakang. Keramaian pun berkerumun segera menolong ibu itu. Namun tak ada yang bersegera mengangkut ibu itu menuju rumah sakit. Mungkin kesibukan orang-orang yang berkerumun sore itu amatlah padat. Dengan spontan, saya mengangkut ibu ke motor dinas yang saya kendarai. Segera saja aku tancap gas, mengangkut ibu itu menuju ke rumah Sakit Agung manggarai. Segera saja sesampai di rumah sakit, petugas langsung melayani ibu itu.

Saya menunggu di beranda rumah sakit. Memastikan ibu dalam keadaan baik dan mungkin saja ada keluarga yang bisa dihubungi. Namun belum juga dokter usai memeriksa ibu, seorang laki-laki muda datang menemui ku dan mengatakan bahwa dia adalah anak ibu tersebut. Aku langsung lega. Setidaknya saya tidak perlu lagi mencari keluarga korban di Jakarta yang maha luas ini. Kami bercakap singkat. Saya menceritakan kronologis kejadian.

Magrib pun menjemput senja. Langit Jakarta menghitam dihiasi titik-titik bintang. Ibu dinyatakan sehat dan bisa kembali pulang. Hanya ada sedikit lecet di punggung. Anak ibu tersebut menyalamiku. Dalam salaman tersebut dia menyelipkan beberapa uang kertas. Praktis saya menolaknya dengan keras. Laki-laki itu memaksa sambil memohon agar saya menghargainya. Langsung terbersit dalam benak, mengkin ini rezeki yang sering di bilang ustad-ustad, turun dari langit. Aku langsung menghitung uang tersebut, ada dua ratus ribu rupiah, dengan pecahan lima puluh ribu empat lembar. Saya langsung mengembalikan tiga lembarnya dengan penegasan agar kita bisa impas. Saya menolong tanpa pamrih dan mereka pun iklas memberikan terima kasih. Selesai. Kami pun berpisah.

Meski agak tegang menolong kecelakaan, perut terus bergemuruh. Alhamdulillah ada lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk dua hari bertahan. Saya langsung memacu motor dinas menuju Taman Ismail Marzuki. Di depan TIM ada gerobak-gerobak ketoprak atau sate yang terjangkau dana pemberian ‘terima kasih’ ini. Sayang seribu sayang, entah karena ada penertiban atau apalah. Gerobak-gerobak itu tidak ada. Padahal ingin sekali makan ketoprak. Maksudnya, dengan harga yang segitu, saya bisa memesan dua porsi sekaligus. Tapi malang tak dapat di tolak.

Baru saja saya akan beranjak untuk mencari warteg dekat situ, mata saya tertuju pada gerobak gerbang jalan depan TIM, tepat disampaing Hotel Alia Cikini. Nasi Bebek. Apa salahnya dicoba. Bebek di kampungku biasanya liar dipesisir pantai atau di bibir-bibir sungai. Beberapa warga memang mengambilnya menjadi santapan. Tapi seumur-umur saya belum pernah mencicipi yang namanya bebek. Sekali lagi apa salahnya untuk dicoba.  

Ku pesan seporsi. Segera saja laki-laki dibalik gerobak bertanya,”minumnya mas?” Seperti iklan saya segera menjawab “teh botol”. Penjual itu menyamping dari gerobak agar bisa melihatku secara jelas. “Mas?” aku pun tak bisa berkata-kata. Seluruh tubuh menjadi ringan, perut yang lapar pun semakin keroncongan. Penjual nasi bebek itu ternyata anak ibu yang barusan saya tolong tadi. Kami pun tertawa terkekeh. Segera dia membuat racikan bebeknya. Porsiku dilebihkan. Dan dua porsi nasi bebek yang kusantap pun digratiskan.

Sejak saat itu, Nasi Bebek depan TIM menjadi solusi paling pas untuk setiap momen. Seluruh pejuang yang memerlukan konsepku, ku ajak makan nasi bebek. Jika ada tamu datang dari daerah pun ku ajak makan nasi bebek. Teman paling jauh dan teman paling dekat pun ku ajak makan nasi bebek. Beberapa teman pun akhirnya tervirusi makan nasi bebek, terkadang untuk beromantis ria bersama pacar mereka dengan nasi bebek. Bahkan nasi bebek pun menjadi solusi malam minggu bagi perantau kere seusai begaya nonton bioskop.

Dan Nasi bebek pun punya bejibun makna.

*************************
Keterangan tambahan :
Nasi Bebek : Masakan Khas Madura
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
Bibi : Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di Sekretariat PB HMI
TIM : Taman Ismail Marzuki.
Hotel Alia Cikini : Hotel dibilangan cikini,berada tepat di depan Taman Ismail Marzuki.