Menjadi Pemuda di Negeri Wonge? (Refleksi sumpah pemuda 2013)

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Malut Post, 26 Oktober 2013
Dan akhirya Joedy memutuskan untuk tidak kembali ke vietnam saat pacarnya Jane memutuskan pertunangan mereka karena memilih bergabung dengan gerakan anti perang. Joedy merasa tidak akan bisa lagi memimpin pasukan untuk menggempur Vietnam saat motivasi utamanya “jane” tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti.
Sementara kawannya Frans memutuskan untuk tetap kembali ke Vietnam meski dengan susah payah ditahan oleh pacarnya yang seorang aktivis anti perang. Joedy dan Frans adalah tokoh utama dalam flim “Love n Honor” sebuah film berlatar tahun 80 an akhir, peraih oscar kategori cerita terbaik sekitar tahun 1999.
Menceritakan tentang pergolakan dua anak muda Amerika yang mengikuti wajib militer ke vietnam. Dan akhirnya terjebak pada pilihan apakah harus terus kembali ke vietnam untuk berjuang atau memutuskan untuk menjadi pembelot karena pilihan-pilihan soal kepentingan pribadi mereka masing-masing. Mereka berkesempatan beristirahat selama dua minggu setelah mereka berdua nyaris mati karena di kepung pasukan vietnam. Beruntung mereka diselamatkan oleh kawan mereka yang akhirnya mati ditembak pasukan vietnam saat melindungi mereka keluar dari kepungan musuh.
Pergolakan perasaan mereka pada pilihan-pilahan yang dihadapi (apakah balik sebagai pasukan perang atau membelot pada militer) saat beristirahat menjadi sebuah refleksi yang mendalam.

Usia mereka belia. Sekitar 20 tahun. Sama seperti Soekarno saat bergerak membuat Partai Nasional Indonesia. Soekarno berusia 21 tahun saat mendeklarasikan PNI. Dengan usia sebelia itu, Soekarno tidak termotivasi untuk bisa menjadi tokoh politik dengan bergelimpangan fasilitas dan kekayaan. Partai yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang dialami negerinya. Dengan kecerdasan yang luar biasa saat itu, Soekarno bisa dengan mudah menjadi komprador asing dan melanggengkan proses pembodohan terhadap rakyat di negerinya.
Soekarno satu dari bejibun anak muda zaman perjuangan yang memilih untuk menunda kemapanan, menunda kesenangan, menunda kenikmatan pribadi demi untuk bangsa dan negerinya. Mereka juga punya pilihan seperti Joedy dan Frans. Lari dari peperangan sebagai pembelot atau terus maju sebagai pejuang.
Pertanyaannya, apakah pilihan itu masih dihadapi pemuda di zaman ini ?
Anak-anak muda yang tumbuh paska kemerdekaan dicecoki oleh patriotisme pejuang paska kemerdekaan dengan slogan “saatnya mengisi kemerdekaan” setiap pemuda dengan usia 35 kebawah dan 20 an tahun ke atas, pasti terngiang di telinga saat setiap guru PSPB di sekolah dasar menteriakkan heroisme pejuang-pejuang  “pengisi kemerdekaan”
Sayang seribu sayang, bangsa ini juga mengalami fase dimana pemimpin-pemimpin negaranya menafsir keberhasilan “mengisi kemerdekaan” dengan bejibun hutang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan international. Kemerdekaan ditafsir dengan pembangunan fisik yang megah sembari menggadaikan kekayaan negara ini kepada pihak asing dan membuat rakyat menderita dalam kemiskinan.  
Kondisi yang berlangsung hampir tiga dekade itu juga akhirnya mengkondisikan “pengisi kemerdekaan”(pemuda) semakin manja dalam terpaan budaya komersialisasi, karakter yang mekanistik dan miskin inovasi. Pemuda negeri ini berubah menjadi entitas flamboyan yang doyan mempercepat kemapanan dari pada melihat terpaan kemiskinan pada rakyat. Mudah tergoda oleh hal-hal instan yang menjanjikan kenyamanan dari pada bergelut dengan dinamika-kritis demi mewujudkan “sunatullah” pemuda sebagai agen perubahan.
Secara aktual setelah orde baru sudah berlalu sepuluh tahunan lebih, apa para penggeraknya yang pemuda-pemuda itu berubah ? peran dan kesempatan untuk pemuda memang berubah.
Semakin besar ruang bagi para pemuda untuk berekspresi. Di ruang-ruang politik paling terasa perubahan itu. Tak sedikit orang-orang muda mendapat kesempatan yang sama dengan senior-senior mereka, tapi apakah kesempatan tersebut terbarengi oleh spirit “agen perubahan” yang dirasakan Soekarno dan kawan-kawan di zaman pergerakan ? Atau sekedar menempuh jalan pintas yang miskin inovasi dan meniru tradisi para senior yang terkungkung pada anomali-anomali. Mulai dari berdusta kepada rakyat, memperkaya diri secara instan sampai mencitrakan diri dengan miskin gagasan.
Tidak hanya didunia politik. Orang-orang muda yang merambah bilik-bilik birokrasi juga tak kalah opurtunisnya. Lebih memilih meneruskan tradisi menjilat kaki penguasa untuk berebut kekuasaan dari pada bersusah payah merubah tradisi buruk birokrasi yang terus diwarisi.
Tapi sudahlah. Memaki-maki tv yang rusak juga tidak akan mungkin memperbaikinya. Satu-satu nya jalan paling masuk akal adalah segera memperbaikinya secara cepat, sebelum kita mengalami kerugian secara turun temurun hanya karna doyan memaki keadaan tanpa memikirkan solusinya.
Yang paling mungkin dari anak muda adalah keresahan akibat miskinnya pengalaman. Kekuatan maha dahsyat yang tersimpan disetiap diri pemuda (ingin tau,belajar,mencoba) sebenarnya merupakan kecendrungan manusiawi bagi setiap proses yang dialaminya sebagai pemuda. Meski kadang ada kondisi yang melemparnya pada situasi yang mematikan keresahannya tersebut. Menurut amatan saya, ada tiga tipe pemuda di era reforamasi ini. Ada pemuda yang mengerti zamannya, tapi enggan menanggapinya. Tipe yang ini biasa terlahir sebagai kelompok yang mekanik ; sekolah yang rajin, kuliah yang cerdas, setelah lulus cari pekerjaan yang mapan.  Ada pemuda yang paham zamannya tapi enggan merubahnya. Tipe yang ini, biasanya opurtunis. Mengerti kondisi zamannya, tau cara memperbaikinya tapi enggan melawan arus besar dan lebih memilih untuk mengikuti arus besar tersebut.
Dan yang terakhir pemuda yang paham zamannya dan berupaya untuk mencoba melakukan perubahan.
Kelompok yang terakhir yang menarik untuk kita tela’ah sebagai bekal optimisme kita.
Sebagian anda tentu pernah dengar Iphod rigt. Seorang pengusaha muda yang sukses. Menurut Iphod perubahan anak muda indonesia, harus dengan pembangunan ekonomi yang mapan dari kewirausahaan. Dia tidak hanya berkoar tentang konsep Indonesia berdaya yang digagasnya, tapi dia juga membuktikannya pada dirinya sendiri. Iphod kebetulan yang terpublis, meski ada iphod-iphod lain yang melihat kekuatan perubahan ada pada spirit kewirausahaan pemuda. Beberapa tayangan di tv menampilkan profil mereka. Meski yang mereka gagas itu belum merupakan sesuatu yang menarik di kalangan anak muda kebanyakan. Mereka masih golongan kecil yang terus berupaya mempengaruhi yang banyak ini.
Anda juga tentu pernah mendengar Anis Baswedan dengan gagasan Indonesia Mengajar-nya. Anis Baswedan melihat dunia pendidikanlah syarat mutlak pintu perubahan bangsa ini. Kegiatan Indonesia Mengajar sedikit banyak memberi inspirasi bagi anak-anak muda negeri ini. Meski juga belum banyak yang mau bergerak untuk menghadirkan inovasi-inovasi menarik di dunia pendidikan.
Dan secara pribadi saya memilih Budiman Sudjadmiko sebagai politisi muda paling amanah. Pada sepak terjang politiknya di DPR RI sedikit banyak saya ikuti, dia memiliki isu yang fokus, ideologisasi yang kuat dan gagasan yang mencengangkan di dunia politik. Meski belum bisa mempengaruhi kekuatan besar, Budiman di dunia politik cukup fenomenal dan kaya ide. Meski Budiman juga mungkin tidak sendiri, ada sebagian kecil politisi muda di daerah-daerah yang tidak hanya menikmati fasilitas dan haus kekuasaan dalam berpolitik tapi juga berpayah-payah memperbaiki kondisi konstituen yang diwakilkannya.
Tiga contoh kecil ini bisa kita jadikan kayu bakar bagi spirit optimis kepemudaan kita. Para pemuda yang tidak hanya cerdas bagi dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang lain dan yang terpenting dia berupaya untuk mempengaruhi demi sesuatu yang lebih baik. Pemuda-pemuda dengan gagasan briliant dan energi ekstra seperti ini yang kita butuhkan di bangsa ini.
Bagaimana dengan pemuda di Maluku Utara ? pertanyaan ini saya rasa penting untuk kita jawab bersama. Secara aktual kondisi Maluku Utara berada pada posisi yang belia sebagai sebuah daerah administratif. Karena pemekaran provinsi, konsukwensinya terjadi pula pemekaran-pemekaran kabupaten/kota. Yang dalam kondisi ini, pemuda-pemuda Maluku Utara sangat diharapkan berperan massif dalam menuntun daerah ini menuju perkembangannya.
Tak sedikit anak muda yang saat ini berkesempatan memegang amanah di bilik birokrasi dan politik bahkan dunia akademis. Mereka segar-segar, cerdas-cerdas dan enerjig. Namun jika parameternya adalah kesejahtraan rakyat, kestabilan politik dan pemerintahan, kita harus jujur mengatakan anak muda yang banyak berkesempatan pada wilayah-wilayah eksekutor kebijakan belum memaksimalkan tenaganya. Tradisi birokrasi kuno yang doyan korup dan nepotisme masih terpelihara. Dunia politik masih patriarkis bahkan feodalis. Mereka-mereka yang ada diluar sistem pun masih belum bergerak maksimal melakukan kontrol sosial dan politik bagi proses trasisi politik dan pemerintahan daerah baru ini. Bahkan tak sedikit juga pengontrol-pengontrol yang ada diluar sistem ini tergoda untuk bersama-sama dengan kekuatan besar yang anomali. 
Lagi-lagi saya mau, untuk tetap optimis. Tidak ada yang terlambat untuk perubahan. Meski tidak pernah mendengar langsung dari mulutnya, saya yang merupakan titik yang sangat kecil dari entitas kepemudaan Maluku Utara mengkhawatirkan apa yang di risaukan Saiful Bahri Rurai dalam sebuah karyanya, bahwa daerah/negeri ini bisa dianalogi sebagai Negeri Wonge. Pada momentum Sumpah Pemuda tahun ini, mari tepis analogi itu dengan memaksimalkan kekuatan pemuda yang ada. Meski butuh adaptasi sebagai proses perubahan, jangan berlama-lama menikmati trasisi.
Daerah ini sekaligus masyarakatnya menunggu sepak terjang pemuda Maluku Utara. Jangan sampai analogi soal Negeri Wonge menjadi kenyataan, menjadi tradisi bahkan diwarisi kepada setiap generasi yang muncul sebagai tunas harapan di Maluku Utara. 

Ber-Tuhan lah Nak.

Ketika kau membaca lembaran ini, entah seperti apa zaman mu Nak. Namun, ayah yakin. Selama matahari masih enggan terbit di ufuk barat, zaman mu yang antah barantah itu, pasti masih mengenal apa yang di sebut Tuhan.

Ayah ingin sedikit bercerita tentang Tuhan di zaman ayah sekarang.

Dizaman saat,  sebelum aku lahir, menurut cerita-cerita  kakekmu, Tuhan memiliki wujud yang berbeda dengan Tuhan yang dikenal kebanyakan orang pada zaman ku kini nak. Belakangan ayah tau. Sebenarnya bukan Tuhan yang merubah wujudNya menjadi berbeda sesuai zaman. Namun zamanlah yang terus gegabah menafsir dan merubah wujudNya.

Kakek bercerita; mereka memahami Tuhan pada zaman itu, lebih seperti sesuatu yang didekati secara sendiri-sendiri. Meski dalam kondisi berjama’ah sebagai umat, namun Tuhan milik orang per orang.Lebih pribadi dan sendiri. Tuhan dipahami sebagai milik setiap orang di hati mereka. Mereka menyembahnya dalam sepi yang khusuk dan tawadu. Setiap orang secara sendiri-sendiri bebas berbicara denganNya, meski dalam lingkup besar bernama “Islam”.

Di zaman ku kini nak. Tuhan bergeser menjadi “keumatan” dengan berbagai identitas yang mengklaimNya. Tuhan kini harus diperdebatkan sebagai “tata cara”, mazhab, aliran,jargon bahkan ideology. Tuhan berganti nama menjadi “Islam” dengan penegasan yang ketat. Bukan Islam dalam tafsir “rahmat bagi seluruh alam semesta”. Kami didesak untuk berpihak dan tak bebas ber-Tuhan sesuai dengan apa yang kami pahami dalam setiap lembaran Al-quran. Dan akhirnya kami pun khusuk pada prosedur dan tata cara yang membuat Tuhan seperti administrasi birokratis. Untuk menghadapNya harus berseragam dan tunduk pada protokoler.

Puisi-puisi Sufi tentang “tanpa tapal batas” antara manusia dan Tuhan kini sekedar syair saja dan bukan syiar. Padahal sudah jelas perkataanNya bahwa aku lebih dekat dari urat nadi mu, namun kini Tuhan menjadi sangat jauh, tidak hanya di mata, tapi juga hati.
Akhirnya Nak … Tuhan yang islam itu menjadi segerombolan “umat” yang gemar mengklaim kebenaran. Bukan lagi barisan “berjama’ah” yang tuntas pada tataran tauhid dan bertoleran pada sisi sujud. 

Selain disandra dalam sempitnya perdebatan “cara menyembah”, Tuhan juga dihimpit derasnya komersialisasi. Mulai dari Tuhan yang bergelantungan di mal-mal sebagai penarik konsumen dikala lebaran, sampai Tuhan yang menjadi mahal secara ekonomis, karena harus ditemui di ruang-ruang seminar para motivator yang nyambi jadi ustad dan ustad yang sok-sok’an jadi motivator. Tuhan juga menempati reting tertinggi pemberitaan pagi, ketika para kaum bersorban mengacungkan golok, pada umat yang “berbeda” sesama Islam. Tuhan juga merebak menjadi majelis-majelis taq’lim kosong nilai namun kaya gengsi.

Nak, seorang guru sosiologi bernama Ernest Gellner yang ayah temui melalui risalahnya, menyebutkan Tuhan di zaman kita ini sebagai “a celebration of community” dimana dosa, hal-hal baik,tuduhan jahat dan takaran pahala di tentukan melalui kesepakatan kelompok tertentu, yang mengharamkan perbedaan. Meski,,, sama-sama beratas namakan umat dan Islam.

Sehingga anakku….perjalan iman dan manusia di zaman ini, sering disekutukan dengan hal-hal yang sebenarnya mengotori eksistensi Tuhan sendiri. Kalau dulu sekedar jimat yang menjadi syirik, namun kini ada tafsir dan fatwa. Sekarang juga tidak hanya patung yang menawan Tuhan dalam wujud sebenarnya, namun juga aturan dan ritual. Jadilah Tuhan bukan sebuah entitas yang mencerahkan, namun pelarian galau-nya hidup dan  bahkan terkadang mengancam dan otoriter. 

Ada pergesaran makna Tuhan di zaman yang sedang ayah jalani kini Nak. Baginda Rasullulah pernah mengingatkan kita, tentang sebuah kondisi dimana umat seperti buih dilautan yang terombang ambing tanpa arah dan tujuan. Menurut Baginda, itu tanda-tanda akhir zaman. Wallahualam….ayah tidak mau cepat mengambil simpulan terkait itu. ayah tetap optimis bahwa generasi selalu menjadi sesuatu yang baru. Tadak hanya bagi peradaban namun juga bagi Pemilik peradaban (Tuhan).
Dan jika lembaran ini sampai dihadapanmu,berarti zaman yang kuceritakan ini bukan akhir zaman dan masih ada zamanmu. Pastikan kamu dan orang-orang yang hidup dizamanmu sebagai generasi yang kembali. Sujudlah atas nama Tuhanmu yang menciptakan langit dan bumi. Dan pastikan, kalian yang ada di zamanmu bukan “umat” yang dalam Al-Quran sebagai disebut sebagai pilihan penikmat akhir zaman. Semoga !!!!

Tuhan Yang Maha Lucu

Begini ya, gimana ga lucu, seiring diciptakannya manusia yang sempurna itu, diciptakan pula setan yang lebih kuat, meski tidak lebih sempurna. Lucu kan? Tuhan menguji ciptaanNya yang paling sempurna dengan cara yang sangat special. Karena setan lebih kuat,  maka Adam yang lebih sempurna itu pun kalah dalam godaan.

Tuhan mungkin mau bilang, bahwa kesempurnaan itu harus teruji. Sebab kesempurnaan yang hakiki selalu beriringan dengan ketidak sempurnaan yang melengkapinya. Ini kasus pertama yang menggambarkan bahwa setan sangat membantu dalam mencapai kesempurnaan. Karena sempurna itu bukan kuat. Bisa jadi kelemahan adalah sebuah kesempurnaan. Dan justru dengan kelemahan itu manusia mencapai titik tertinggi dalam keagunganNya.

Jika manusia pun sekuat setan yang gaib, dan tiba-tiba bisa ngilang, mungkin akan lupa memohon rezeki, memohon keselamatan, memohon perlindungan, memohon jaminan surge. 
Hal lucu lainnya. Tidak sedikit para mbalelo Tuhan justru mendapat sesuatu yang kelihatannya “lebih” misalnya lebih kaya, lebih berkuasa, lebih sehat, dan lebih-lebih lainnya. Sementara para “penakut Tuhan” justru terperanjab dalam kekurangan. Kurang kaya, kurang kuasa, kurang sehat, bahkan ada yang kurang keren. Apa mauNya ya ? Mungkin Tuhan sedang mengajari kita soal lebih itu ga harus banyak, tidak harus besar, tidak harus ada bahkan.
Lebih bisa jadi sebuah kekurangan. Dari yang kurang-kurang itu para ‘kekasih’ Nya tidak repot mengurusi yang lebih-lebih, dan punya banyak waktu untuk menundukan kepala terus meminta kepadaNya.

Selanjutnya..
 
Tuhan kan bisa segalanya. Kenapa butuh pujian ? memberi penghukuman, menahan rezeki, menciptakan manusia, menciptakan neraka,surga bahkan setan ?

Sssttt jangan berlebihan bertanya soal itu, nanti kualat.
Baiklah, kita urungkan pertanyaan itu. Kita langsung saja menjawabnya.

Karena 'bisa segalanya' itu, maka Dia menghadirkan segalanya. Tidak sekedar sebagai bukti. Mungkin bisa jadi sebagai keterwakilan. Keterwakilan ? Ya, keterwakilan KuasaNya. Maka setiap elemen, entitas dan komponen yang ada disemesta ini adalah keterwakilan kuasaNya.

Maka ? ya selain bisa melakukan segalaNya, Tuhan juga maha baik. Sehingga tak ada keterwakilan kuasaNya yang jahat. Trus, gimana dengan kejahatan, kemungkaran, pendzoliman, pengkhianatan yang terjadi di Dunia ? apa itu juga keterwakilan Tuhan ? Ya Ia-lah.

Itu Keterwakilan Tuhan yang mbalelo. Maka ? harus diluruskan, dikembalikan pada fitrahnya, ditempatkan pada tempatnya, dijalankan sesuai kodrat nya. Jika tidak ? maka….adakah kejahatan dalam arti apa pun tidak menemui kehancurannya ? jawannya TIDAK.
Lucu nggak ? lucu donk. Karena hal-hal ini membuat kita bahagia, tersenyum bahkan terkekeh.
Maka, hal-hal lucu ini harus kita salami dengan hati yang gembira. Jangan bergundah gulana dalam kesedihan, kegalauan apalagi ketakutan. Sebab, Tuhan tidak sedang menakuti kita.

Sejatinya Tuhan selalu mengajak kita untuk bisa bahagia, tertawa dan terkekeh.

Halmahera, medio 2013

Kamis, 27 Februari 2014

Menjadi Pemuda di Negeri Wonge? (Refleksi sumpah pemuda 2013)

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Malut Post, 26 Oktober 2013
Dan akhirya Joedy memutuskan untuk tidak kembali ke vietnam saat pacarnya Jane memutuskan pertunangan mereka karena memilih bergabung dengan gerakan anti perang. Joedy merasa tidak akan bisa lagi memimpin pasukan untuk menggempur Vietnam saat motivasi utamanya “jane” tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti.
Sementara kawannya Frans memutuskan untuk tetap kembali ke Vietnam meski dengan susah payah ditahan oleh pacarnya yang seorang aktivis anti perang. Joedy dan Frans adalah tokoh utama dalam flim “Love n Honor” sebuah film berlatar tahun 80 an akhir, peraih oscar kategori cerita terbaik sekitar tahun 1999.
Menceritakan tentang pergolakan dua anak muda Amerika yang mengikuti wajib militer ke vietnam. Dan akhirnya terjebak pada pilihan apakah harus terus kembali ke vietnam untuk berjuang atau memutuskan untuk menjadi pembelot karena pilihan-pilihan soal kepentingan pribadi mereka masing-masing. Mereka berkesempatan beristirahat selama dua minggu setelah mereka berdua nyaris mati karena di kepung pasukan vietnam. Beruntung mereka diselamatkan oleh kawan mereka yang akhirnya mati ditembak pasukan vietnam saat melindungi mereka keluar dari kepungan musuh.
Pergolakan perasaan mereka pada pilihan-pilahan yang dihadapi (apakah balik sebagai pasukan perang atau membelot pada militer) saat beristirahat menjadi sebuah refleksi yang mendalam.

Usia mereka belia. Sekitar 20 tahun. Sama seperti Soekarno saat bergerak membuat Partai Nasional Indonesia. Soekarno berusia 21 tahun saat mendeklarasikan PNI. Dengan usia sebelia itu, Soekarno tidak termotivasi untuk bisa menjadi tokoh politik dengan bergelimpangan fasilitas dan kekayaan. Partai yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang dialami negerinya. Dengan kecerdasan yang luar biasa saat itu, Soekarno bisa dengan mudah menjadi komprador asing dan melanggengkan proses pembodohan terhadap rakyat di negerinya.
Soekarno satu dari bejibun anak muda zaman perjuangan yang memilih untuk menunda kemapanan, menunda kesenangan, menunda kenikmatan pribadi demi untuk bangsa dan negerinya. Mereka juga punya pilihan seperti Joedy dan Frans. Lari dari peperangan sebagai pembelot atau terus maju sebagai pejuang.
Pertanyaannya, apakah pilihan itu masih dihadapi pemuda di zaman ini ?
Anak-anak muda yang tumbuh paska kemerdekaan dicecoki oleh patriotisme pejuang paska kemerdekaan dengan slogan “saatnya mengisi kemerdekaan” setiap pemuda dengan usia 35 kebawah dan 20 an tahun ke atas, pasti terngiang di telinga saat setiap guru PSPB di sekolah dasar menteriakkan heroisme pejuang-pejuang  “pengisi kemerdekaan”
Sayang seribu sayang, bangsa ini juga mengalami fase dimana pemimpin-pemimpin negaranya menafsir keberhasilan “mengisi kemerdekaan” dengan bejibun hutang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan international. Kemerdekaan ditafsir dengan pembangunan fisik yang megah sembari menggadaikan kekayaan negara ini kepada pihak asing dan membuat rakyat menderita dalam kemiskinan.  
Kondisi yang berlangsung hampir tiga dekade itu juga akhirnya mengkondisikan “pengisi kemerdekaan”(pemuda) semakin manja dalam terpaan budaya komersialisasi, karakter yang mekanistik dan miskin inovasi. Pemuda negeri ini berubah menjadi entitas flamboyan yang doyan mempercepat kemapanan dari pada melihat terpaan kemiskinan pada rakyat. Mudah tergoda oleh hal-hal instan yang menjanjikan kenyamanan dari pada bergelut dengan dinamika-kritis demi mewujudkan “sunatullah” pemuda sebagai agen perubahan.
Secara aktual setelah orde baru sudah berlalu sepuluh tahunan lebih, apa para penggeraknya yang pemuda-pemuda itu berubah ? peran dan kesempatan untuk pemuda memang berubah.
Semakin besar ruang bagi para pemuda untuk berekspresi. Di ruang-ruang politik paling terasa perubahan itu. Tak sedikit orang-orang muda mendapat kesempatan yang sama dengan senior-senior mereka, tapi apakah kesempatan tersebut terbarengi oleh spirit “agen perubahan” yang dirasakan Soekarno dan kawan-kawan di zaman pergerakan ? Atau sekedar menempuh jalan pintas yang miskin inovasi dan meniru tradisi para senior yang terkungkung pada anomali-anomali. Mulai dari berdusta kepada rakyat, memperkaya diri secara instan sampai mencitrakan diri dengan miskin gagasan.
Tidak hanya didunia politik. Orang-orang muda yang merambah bilik-bilik birokrasi juga tak kalah opurtunisnya. Lebih memilih meneruskan tradisi menjilat kaki penguasa untuk berebut kekuasaan dari pada bersusah payah merubah tradisi buruk birokrasi yang terus diwarisi.
Tapi sudahlah. Memaki-maki tv yang rusak juga tidak akan mungkin memperbaikinya. Satu-satu nya jalan paling masuk akal adalah segera memperbaikinya secara cepat, sebelum kita mengalami kerugian secara turun temurun hanya karna doyan memaki keadaan tanpa memikirkan solusinya.
Yang paling mungkin dari anak muda adalah keresahan akibat miskinnya pengalaman. Kekuatan maha dahsyat yang tersimpan disetiap diri pemuda (ingin tau,belajar,mencoba) sebenarnya merupakan kecendrungan manusiawi bagi setiap proses yang dialaminya sebagai pemuda. Meski kadang ada kondisi yang melemparnya pada situasi yang mematikan keresahannya tersebut. Menurut amatan saya, ada tiga tipe pemuda di era reforamasi ini. Ada pemuda yang mengerti zamannya, tapi enggan menanggapinya. Tipe yang ini biasa terlahir sebagai kelompok yang mekanik ; sekolah yang rajin, kuliah yang cerdas, setelah lulus cari pekerjaan yang mapan.  Ada pemuda yang paham zamannya tapi enggan merubahnya. Tipe yang ini, biasanya opurtunis. Mengerti kondisi zamannya, tau cara memperbaikinya tapi enggan melawan arus besar dan lebih memilih untuk mengikuti arus besar tersebut.
Dan yang terakhir pemuda yang paham zamannya dan berupaya untuk mencoba melakukan perubahan.
Kelompok yang terakhir yang menarik untuk kita tela’ah sebagai bekal optimisme kita.
Sebagian anda tentu pernah dengar Iphod rigt. Seorang pengusaha muda yang sukses. Menurut Iphod perubahan anak muda indonesia, harus dengan pembangunan ekonomi yang mapan dari kewirausahaan. Dia tidak hanya berkoar tentang konsep Indonesia berdaya yang digagasnya, tapi dia juga membuktikannya pada dirinya sendiri. Iphod kebetulan yang terpublis, meski ada iphod-iphod lain yang melihat kekuatan perubahan ada pada spirit kewirausahaan pemuda. Beberapa tayangan di tv menampilkan profil mereka. Meski yang mereka gagas itu belum merupakan sesuatu yang menarik di kalangan anak muda kebanyakan. Mereka masih golongan kecil yang terus berupaya mempengaruhi yang banyak ini.
Anda juga tentu pernah mendengar Anis Baswedan dengan gagasan Indonesia Mengajar-nya. Anis Baswedan melihat dunia pendidikanlah syarat mutlak pintu perubahan bangsa ini. Kegiatan Indonesia Mengajar sedikit banyak memberi inspirasi bagi anak-anak muda negeri ini. Meski juga belum banyak yang mau bergerak untuk menghadirkan inovasi-inovasi menarik di dunia pendidikan.
Dan secara pribadi saya memilih Budiman Sudjadmiko sebagai politisi muda paling amanah. Pada sepak terjang politiknya di DPR RI sedikit banyak saya ikuti, dia memiliki isu yang fokus, ideologisasi yang kuat dan gagasan yang mencengangkan di dunia politik. Meski belum bisa mempengaruhi kekuatan besar, Budiman di dunia politik cukup fenomenal dan kaya ide. Meski Budiman juga mungkin tidak sendiri, ada sebagian kecil politisi muda di daerah-daerah yang tidak hanya menikmati fasilitas dan haus kekuasaan dalam berpolitik tapi juga berpayah-payah memperbaiki kondisi konstituen yang diwakilkannya.
Tiga contoh kecil ini bisa kita jadikan kayu bakar bagi spirit optimis kepemudaan kita. Para pemuda yang tidak hanya cerdas bagi dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang lain dan yang terpenting dia berupaya untuk mempengaruhi demi sesuatu yang lebih baik. Pemuda-pemuda dengan gagasan briliant dan energi ekstra seperti ini yang kita butuhkan di bangsa ini.
Bagaimana dengan pemuda di Maluku Utara ? pertanyaan ini saya rasa penting untuk kita jawab bersama. Secara aktual kondisi Maluku Utara berada pada posisi yang belia sebagai sebuah daerah administratif. Karena pemekaran provinsi, konsukwensinya terjadi pula pemekaran-pemekaran kabupaten/kota. Yang dalam kondisi ini, pemuda-pemuda Maluku Utara sangat diharapkan berperan massif dalam menuntun daerah ini menuju perkembangannya.
Tak sedikit anak muda yang saat ini berkesempatan memegang amanah di bilik birokrasi dan politik bahkan dunia akademis. Mereka segar-segar, cerdas-cerdas dan enerjig. Namun jika parameternya adalah kesejahtraan rakyat, kestabilan politik dan pemerintahan, kita harus jujur mengatakan anak muda yang banyak berkesempatan pada wilayah-wilayah eksekutor kebijakan belum memaksimalkan tenaganya. Tradisi birokrasi kuno yang doyan korup dan nepotisme masih terpelihara. Dunia politik masih patriarkis bahkan feodalis. Mereka-mereka yang ada diluar sistem pun masih belum bergerak maksimal melakukan kontrol sosial dan politik bagi proses trasisi politik dan pemerintahan daerah baru ini. Bahkan tak sedikit juga pengontrol-pengontrol yang ada diluar sistem ini tergoda untuk bersama-sama dengan kekuatan besar yang anomali. 
Lagi-lagi saya mau, untuk tetap optimis. Tidak ada yang terlambat untuk perubahan. Meski tidak pernah mendengar langsung dari mulutnya, saya yang merupakan titik yang sangat kecil dari entitas kepemudaan Maluku Utara mengkhawatirkan apa yang di risaukan Saiful Bahri Rurai dalam sebuah karyanya, bahwa daerah/negeri ini bisa dianalogi sebagai Negeri Wonge. Pada momentum Sumpah Pemuda tahun ini, mari tepis analogi itu dengan memaksimalkan kekuatan pemuda yang ada. Meski butuh adaptasi sebagai proses perubahan, jangan berlama-lama menikmati trasisi.
Daerah ini sekaligus masyarakatnya menunggu sepak terjang pemuda Maluku Utara. Jangan sampai analogi soal Negeri Wonge menjadi kenyataan, menjadi tradisi bahkan diwarisi kepada setiap generasi yang muncul sebagai tunas harapan di Maluku Utara. 

Ber-Tuhan lah Nak.

Ketika kau membaca lembaran ini, entah seperti apa zaman mu Nak. Namun, ayah yakin. Selama matahari masih enggan terbit di ufuk barat, zaman mu yang antah barantah itu, pasti masih mengenal apa yang di sebut Tuhan.

Ayah ingin sedikit bercerita tentang Tuhan di zaman ayah sekarang.

Dizaman saat,  sebelum aku lahir, menurut cerita-cerita  kakekmu, Tuhan memiliki wujud yang berbeda dengan Tuhan yang dikenal kebanyakan orang pada zaman ku kini nak. Belakangan ayah tau. Sebenarnya bukan Tuhan yang merubah wujudNya menjadi berbeda sesuai zaman. Namun zamanlah yang terus gegabah menafsir dan merubah wujudNya.

Kakek bercerita; mereka memahami Tuhan pada zaman itu, lebih seperti sesuatu yang didekati secara sendiri-sendiri. Meski dalam kondisi berjama’ah sebagai umat, namun Tuhan milik orang per orang.Lebih pribadi dan sendiri. Tuhan dipahami sebagai milik setiap orang di hati mereka. Mereka menyembahnya dalam sepi yang khusuk dan tawadu. Setiap orang secara sendiri-sendiri bebas berbicara denganNya, meski dalam lingkup besar bernama “Islam”.

Di zaman ku kini nak. Tuhan bergeser menjadi “keumatan” dengan berbagai identitas yang mengklaimNya. Tuhan kini harus diperdebatkan sebagai “tata cara”, mazhab, aliran,jargon bahkan ideology. Tuhan berganti nama menjadi “Islam” dengan penegasan yang ketat. Bukan Islam dalam tafsir “rahmat bagi seluruh alam semesta”. Kami didesak untuk berpihak dan tak bebas ber-Tuhan sesuai dengan apa yang kami pahami dalam setiap lembaran Al-quran. Dan akhirnya kami pun khusuk pada prosedur dan tata cara yang membuat Tuhan seperti administrasi birokratis. Untuk menghadapNya harus berseragam dan tunduk pada protokoler.

Puisi-puisi Sufi tentang “tanpa tapal batas” antara manusia dan Tuhan kini sekedar syair saja dan bukan syiar. Padahal sudah jelas perkataanNya bahwa aku lebih dekat dari urat nadi mu, namun kini Tuhan menjadi sangat jauh, tidak hanya di mata, tapi juga hati.
Akhirnya Nak … Tuhan yang islam itu menjadi segerombolan “umat” yang gemar mengklaim kebenaran. Bukan lagi barisan “berjama’ah” yang tuntas pada tataran tauhid dan bertoleran pada sisi sujud. 

Selain disandra dalam sempitnya perdebatan “cara menyembah”, Tuhan juga dihimpit derasnya komersialisasi. Mulai dari Tuhan yang bergelantungan di mal-mal sebagai penarik konsumen dikala lebaran, sampai Tuhan yang menjadi mahal secara ekonomis, karena harus ditemui di ruang-ruang seminar para motivator yang nyambi jadi ustad dan ustad yang sok-sok’an jadi motivator. Tuhan juga menempati reting tertinggi pemberitaan pagi, ketika para kaum bersorban mengacungkan golok, pada umat yang “berbeda” sesama Islam. Tuhan juga merebak menjadi majelis-majelis taq’lim kosong nilai namun kaya gengsi.

Nak, seorang guru sosiologi bernama Ernest Gellner yang ayah temui melalui risalahnya, menyebutkan Tuhan di zaman kita ini sebagai “a celebration of community” dimana dosa, hal-hal baik,tuduhan jahat dan takaran pahala di tentukan melalui kesepakatan kelompok tertentu, yang mengharamkan perbedaan. Meski,,, sama-sama beratas namakan umat dan Islam.

Sehingga anakku….perjalan iman dan manusia di zaman ini, sering disekutukan dengan hal-hal yang sebenarnya mengotori eksistensi Tuhan sendiri. Kalau dulu sekedar jimat yang menjadi syirik, namun kini ada tafsir dan fatwa. Sekarang juga tidak hanya patung yang menawan Tuhan dalam wujud sebenarnya, namun juga aturan dan ritual. Jadilah Tuhan bukan sebuah entitas yang mencerahkan, namun pelarian galau-nya hidup dan  bahkan terkadang mengancam dan otoriter. 

Ada pergesaran makna Tuhan di zaman yang sedang ayah jalani kini Nak. Baginda Rasullulah pernah mengingatkan kita, tentang sebuah kondisi dimana umat seperti buih dilautan yang terombang ambing tanpa arah dan tujuan. Menurut Baginda, itu tanda-tanda akhir zaman. Wallahualam….ayah tidak mau cepat mengambil simpulan terkait itu. ayah tetap optimis bahwa generasi selalu menjadi sesuatu yang baru. Tadak hanya bagi peradaban namun juga bagi Pemilik peradaban (Tuhan).
Dan jika lembaran ini sampai dihadapanmu,berarti zaman yang kuceritakan ini bukan akhir zaman dan masih ada zamanmu. Pastikan kamu dan orang-orang yang hidup dizamanmu sebagai generasi yang kembali. Sujudlah atas nama Tuhanmu yang menciptakan langit dan bumi. Dan pastikan, kalian yang ada di zamanmu bukan “umat” yang dalam Al-Quran sebagai disebut sebagai pilihan penikmat akhir zaman. Semoga !!!!

Selasa, 25 Februari 2014

Tuhan Yang Maha Lucu

Begini ya, gimana ga lucu, seiring diciptakannya manusia yang sempurna itu, diciptakan pula setan yang lebih kuat, meski tidak lebih sempurna. Lucu kan? Tuhan menguji ciptaanNya yang paling sempurna dengan cara yang sangat special. Karena setan lebih kuat,  maka Adam yang lebih sempurna itu pun kalah dalam godaan.

Tuhan mungkin mau bilang, bahwa kesempurnaan itu harus teruji. Sebab kesempurnaan yang hakiki selalu beriringan dengan ketidak sempurnaan yang melengkapinya. Ini kasus pertama yang menggambarkan bahwa setan sangat membantu dalam mencapai kesempurnaan. Karena sempurna itu bukan kuat. Bisa jadi kelemahan adalah sebuah kesempurnaan. Dan justru dengan kelemahan itu manusia mencapai titik tertinggi dalam keagunganNya.

Jika manusia pun sekuat setan yang gaib, dan tiba-tiba bisa ngilang, mungkin akan lupa memohon rezeki, memohon keselamatan, memohon perlindungan, memohon jaminan surge. 
Hal lucu lainnya. Tidak sedikit para mbalelo Tuhan justru mendapat sesuatu yang kelihatannya “lebih” misalnya lebih kaya, lebih berkuasa, lebih sehat, dan lebih-lebih lainnya. Sementara para “penakut Tuhan” justru terperanjab dalam kekurangan. Kurang kaya, kurang kuasa, kurang sehat, bahkan ada yang kurang keren. Apa mauNya ya ? Mungkin Tuhan sedang mengajari kita soal lebih itu ga harus banyak, tidak harus besar, tidak harus ada bahkan.
Lebih bisa jadi sebuah kekurangan. Dari yang kurang-kurang itu para ‘kekasih’ Nya tidak repot mengurusi yang lebih-lebih, dan punya banyak waktu untuk menundukan kepala terus meminta kepadaNya.

Selanjutnya..
 
Tuhan kan bisa segalanya. Kenapa butuh pujian ? memberi penghukuman, menahan rezeki, menciptakan manusia, menciptakan neraka,surga bahkan setan ?

Sssttt jangan berlebihan bertanya soal itu, nanti kualat.
Baiklah, kita urungkan pertanyaan itu. Kita langsung saja menjawabnya.

Karena 'bisa segalanya' itu, maka Dia menghadirkan segalanya. Tidak sekedar sebagai bukti. Mungkin bisa jadi sebagai keterwakilan. Keterwakilan ? Ya, keterwakilan KuasaNya. Maka setiap elemen, entitas dan komponen yang ada disemesta ini adalah keterwakilan kuasaNya.

Maka ? ya selain bisa melakukan segalaNya, Tuhan juga maha baik. Sehingga tak ada keterwakilan kuasaNya yang jahat. Trus, gimana dengan kejahatan, kemungkaran, pendzoliman, pengkhianatan yang terjadi di Dunia ? apa itu juga keterwakilan Tuhan ? Ya Ia-lah.

Itu Keterwakilan Tuhan yang mbalelo. Maka ? harus diluruskan, dikembalikan pada fitrahnya, ditempatkan pada tempatnya, dijalankan sesuai kodrat nya. Jika tidak ? maka….adakah kejahatan dalam arti apa pun tidak menemui kehancurannya ? jawannya TIDAK.
Lucu nggak ? lucu donk. Karena hal-hal ini membuat kita bahagia, tersenyum bahkan terkekeh.
Maka, hal-hal lucu ini harus kita salami dengan hati yang gembira. Jangan bergundah gulana dalam kesedihan, kegalauan apalagi ketakutan. Sebab, Tuhan tidak sedang menakuti kita.

Sejatinya Tuhan selalu mengajak kita untuk bisa bahagia, tertawa dan terkekeh.

Halmahera, medio 2013