Kopi-nya Dee

Judul buku : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis : Dewi ‘Dee’ Lestari
Penerbit : Truedee Books dan GagasMedia
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : 134
No. ISBN : 979-96257-3-4


Ketika Jurnalisme dibungkam, maka sastra adalah ruang tak bertuan yang siap menampung kegaduhan, kemarahan, kebahagiaan atau sekedar kekecewaan. Kira-kira begitu Seno Gumirah berceloteh dan belakangan menjadi trend memei yang berhamburan di internet.

Namun Jurnalisme tidak sedang dibungkam. Bungkam dalam artian “me”ngekang. Tapi Bungkam dalam spirit alienasi. Sebuah ketercerabutan eksistensi yang mengasingkan entitas dari sebuah kesadaran, menjadi ketidak sadaran. Kira-kira seperti itu Jurnalisme kita sedang bernasib.

Terasing justru disaat tak ada sedikit pun aturan yang melarangnya untuk melangsungkan fungsinya sebagai pewarta. Maka mereka-mereka yang gugur sebagai pahlawan pewarta di waktu yang silam akan cukup tersenyum sebagai jasad ketika membaca setiap perkembangan kesastraan tanah air.

Ketika Jurnalisme hanya milik orang-orang dengan pemikiran tentang kekuasaan dan keuntungan, sastra menyelip sebagai kendaraan bebas hambatan bagi mereka yang cinta pada kebebasan.  Kendaraan ini menampung bejibun keresahan aksara yang tidak sekedar untuk dikomersilkan di tengah-tengah interupsi kerasnya iklan-iklan produk.

Meski kini sastra juga terhimpit manisnya budaya pop dengan berbagai embel-embel-nya, tapi bukankah sastra tak harus dikonsumsi.  Sekedar dinikmati secara bebas di fasilitas Media Social yang bebas anggaran pun, Sastra menjadi berarti. Tidak seperti Jurnalisme masa kini. Sebuah reportase dikatakan sukses jika konflik yang ditampilkan berelasi dengan kekuasaan.

Sastra tidak.  Dan Dee “memanfaatkan” ruang itu.  Memanfaatkan karena dia seorang penyanyi. Selain itu juga artis. Sebuah profesi yang bisa bebas masuk-keluar sebagai item reportase dalam kepentingan apa pun. Dee memanfaatkan, karena dunia sastra bukan akting kejar tayang yang secara terkini, diminati oleh hampir semua jenis artis.  Mulai dari Mc, penyanyi, atau sekedar talenta sensasi.  

Dunia Sastra berbeda.  Wadah ini lebih selektif dalam mempublis kualitas. Jika sekedar mengejar setoran, maka si pelaku yang iseng-iseng masuk dunia ini akan terpelanting keluar dengan tragis. Tapi tidak dengan Dee.

Meski termasuk yang paling telat membaca karya Dee ini : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Namun saya termasuk penikmat yang tercengang dengan suguhan karya ini. Dee meramu aksara secara khas. Awalnya nama Dee lebih familiar di mata saya dengan karya-karya novel yang lebih panjang dan memiliki ruang yang luas untuk berekspresi. Namun kali ini Cerpen dan prosa.

Awalnya jujur saja, saya orang yang tidak terlalu percaya pada talenta seorang penulis novel pop akan juga mampu menyusun cerpen sekaligus prosa se-indah ini. Adalah Goenawan Mohammad yang menarik perhatianku. “ah masa sih Goenawan Mohammad mau nguras kualitasnya hanya untuk sebuah kumpulan cerpen penulis muda” begitu pikir saya. Tapi baru lembar kedua, kesombongan saya terjawab. Dee memang layak.

Dengan karya kecil ini, Dee mencoba menampilkan Sastra kental yang disisip celoteh “kata-kata pop” sebagai pemanis. Ke khas-an nya di setiap novelnya pun terurai rapi dalam setiap cerpen. Tidak ada pembeda yang berarti, seperti yang kita temui pada pe-novel kebanyakan, yang nyambi nulis cerpen.

Meski kebanyakan cerpen dan prosanya mewakili keluhan yang tidak difalitasi Jurnalisme, tapi Dee tetap menjaga kesopanannya menyajikan aksara. Membebaskan gaya tuturnya dengan tetap menjaga plot di setiap cerita. Susunan cerpen dan prosanya pun rapi. Menjaga ritme emosi si penikmat hingga merasa terus haus untuk menenggak setiap kata dengan perlahan.

Selain Filosofi Kopi, Saya jatuh cinta pada Lara Lana. Dua cerita ini memiliki semua unsur kesastraan kontemporer. Nakal tapi sopan dengan presentasi kata yang rapi dan mencengangkan. Seperti pada pengantarnya Mas Goen memuji Dee pada setiap peletakan kata yang tidak hanya sekedar.

Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Disuguhkan dengan ramuan yang hati-hati. Tidak terlalu keras tapi juga ada berbagai penegasan disana. Lembut namun jauh dari picisan. Seperti Kopi Tiwus. Meski lahir dari kesederhanaan, tapi memiliki cita rasa yang mewah, bahkan megah.

Halmahera
20 Maret 2015

Sudahlah itu ...

Sudah itu ...

Tak pernah pasti menjemput
Selalu mengikutiku berdampingan
Diselaput mata yang siap dijemput
Menuntun hidup dengan detik dan harapan

Kepastian yang selalu mengambang direlung kira-kira
Aku merasakan bisikannya dilubuk hati
Menakutiku dengan peringatan dan ancaman ada
Meski tak di ujung belati namun tetap menanti


Bila tiba saatnya, tak ada yang bisa menundanya
Sedetikpun dalam sesal
Semuanya terlambat dalam kepastian yang tak nyata
Berhenti dan tertutup apa pun semisal
Tak ada dosa atau pahala

Sendiri dan hening jika tiba saatnya
Bagai berdiri dalam pembaringan abadi
Menutup mata tanpa bersapa
Sedikit tanda namun berhamburan makna

Kematian.

27 Juni 2008
Jakarta. 

Begitulah Malaysia, Dan Nasionalisme Kita.

(tulisan ini ditulis saat Malaysia mengklaim Tarian Reok sebagai produk kebudayaan mereka, dan sudah dipublikasikan di salah satu media Nasional)
 
Begitulah Malaysia. Setelah berpuluh tahun lalu membuat Indonesia merajuk dan keluar dari PBB. Sekarang melakukan klaim terhadap beberapa tarian, yang belakangan membuat geger hampir seluruh masyarakat Indonesia. Ini bukan kali pertama. Sebelum tari pendet. Ada beberapa lagu dan juga ornament kebudayaan yang diklaim Malaysia. Mereka beralasan bahwa budaya tersebut berakar dari kebudayan melayu yang dahulu kala belum dibatasi oleh administrasi kenegaraan. Melayu sekedar spirit sukuisme dan tradisi saja. Akar ini yang membuat Malaysia melakukan klaim. Ada tradisi hindunisme yang mengakar di sejarah Negara-bangsa ini. Sehingga beberapa ornament kebudayaan hampir mirip bahkan sulit memang di bedakan antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia.

Malaysia tidak sepenuhnya salah dalam hal klaim dengan argumentasi seperti itu. Kita ranah serumpun yang memiliki latar kebudayaan yang sama. Hampir tak ada bedanya. Bicara kebudayaan memang sulit ditegaskan dibawah spirit kenegaraan. Kebudayaan berakar dari nilai leluhur yang menspirit tradisi dan nilai-nilai. William H. Haviland berisalah bahwa Kebudayaan terkait seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua masyarakat. Landasan ini sulit membatasi produk kebudayaan sebagai klaim kreativitas segolongan orang saja. Ini kerja banyak orang, melintasi batasan administrative formal dan sulit ditakar menggunakan klaim.

Persoalan yang hadir memang, lebih disebabkan oleh semerbak komersialisasi kebudayaan yang di canangkan Kapitalisme sekitar satu abad terakhir. Terlebih lagi ketika adanya Undang-undang hak paten. Sekonyong-konyong setiap budaya harus punya hak patennya sendiri-sendiri. Gunanya memang lebih pada memenuhi halaman depan majalah iklan pariwisata dunia. Jika sekedar spirit nasionalisme, buat apa kita cape-cape berteriak tentang ke-brengsekan Malaysia yang mengklaim ? wong kita juga banyak menggunakan ornament kebudayaan orang yang skrang mentradisi dan blakangan, sebagian besar dari kita, sudah merasa memilikinya. Misalnya, Kuba mesjid ala mesir, jubah putih panjang ala Arabic, baju koko ala cina dan beduk mesjid sebagai tanda akan adzan ala cina. Masalahnya memang, kita tidak meletakkannya sebagai iklan pariwisata di halaman depan majalah pariwisata. Tapi bukankah itu ornament kebudayaan yang juga punya nilai ditengah masyarakat ?

Tidak sepenuhnya salah, bukan berarti Malaysia sudah spenuhnya benar. Dengan mengiklankan atau melakukan klaim terhadap beberapa produk kebudayaan yang sudah menjadi produk unggulan Indonesia, mereka melakukan pencaplokan brand agar dengan mudah mengalahkan lawan bisnisnya dengan cepat. Dalam logika pasar ini sangat mlanggar etika. Dengan cara menggampangkan langkah bisnis. Mengambil produk-produk jadi milik tetangga, untuk dipromosikan agar bisa mendapatkan keuntungan dari beberapa produk unggulan tersebut. Namun memang langkah ini dalam bisnis sulit di kenakan sangsi formal. Yang bisa dilakukan antar kopetitor adalah meningkatkan kualitas produk masing-masing agar bisa bersaing dengan sehat dipasaran.

Maka menjadi salah kaprah-lah kita jika klaim Malaysia atas beberapa ornament kebudayaan, kita tangapi sebagai persoalan ideologis. Atau penghinaan terhadap Negara kesatuan Republik yang kita cintai ini. Itu sekedar upaya komersialisasi pariwisata yang sudah kita lakukan jauh setelah Negara ini merdeka. Sudah lama tahapan ini kita lakukan. Yang sekarang baru dilakuakn oleh Negara serumpun kita Malaysia. Toh juga Negara serumpun ini, tidak cukup banyak kekuatan, untuk bisa merebut pasar pariwisata kita. Jika, kita mau meningkatkan segala kualitas produk kebudayaan yang selama ini kita miliki.

Mari kita sibukkan diri ini dengan meningkatkan kualitas produk kudayaan kita, agar lebih disukai secara Internasional dan itu bisa mendatangkan pendapatan yang lebih. Selain nilai komersialisasi pelestarian kebudayaan juga menghadirkan karakteristik bangsa. Buat apa kita maki-maki Malaysia yang “katanya” mengklaim kebudayaan kita, sedangkan kita sendiri tidak bisa mengilhami karakteristik budaya kita sendiri. Buktinya, anasir asing masih menyelinap di sendi-sendi kebijakan dalam negeri kita.

Berhentilah memaki kreatifitas orang lain. Hingga kita tidak diklaim Negara reaktif revolusioner … sebaiknya kita menciptakan kretivitas baru dengan spirit kebudayaan yang ada dan senantiasa mengagungkan spirit nasionalisme subtansial … tidak reaktif, heroistik, euforia dan sediktl memalukan. Jadilah bangsa yang besar yang juga berkarakter besar. 

28 Agustus 2009
Jakarta,

Selain Mu,, Tak Ada.

Tiada Yang Lain ...

Berdiri diantara persimpangan yang tak tertuju
Kau ada dan tak pernah tiada
Semakin ku dekat Kau semakin menuju
Aku tak pernah ada namun Kau tetap ada

Nikmatmu menutup segalanya
Aku terbuai dan terentah diantara setiap firmanMu
Kulupakan setiap tabir dalam tutur kitab suci
Kupikir Kau lupa bahwa aku lupa

Ternyata kau tetap menjadi Tuhanku
Diantara yang ada semuanya tiada
Menandakan selain Kamu
Aku akhirnya malu
Dan bersujud ....

Bukan untuk surgamu
Tapi untuk peniadaan yang lain
Selain Mu ... tak ada.

30 Agustus 2009

..di Jakarta

Seluruh pujangga dan biduan sudah mengambarkan kota ini dengan berbagai rangkaian kata dan lirik yang beragam.

Ada yang mengambarkannya sebagai sebuah lingkup yang sempit dan sesak. Tapi ada juga yang menjadikan kota ini sebagai sebuah mimpi yang tak tergapai. Beragam memang.

Aku sebagian kecil diantara bejibun tafsir yang ada. Untuk memutuskan tinggal di kota ini, aku meninggalkan banyak hal di sana. Mulai dari udara tropis yang menyemai kalbu setiap pagi dan malamnya, hingga masa kecil yang tak terhingga indahnya. Namun ini sudah putusan. Kota ini, bagiku, sekedar tempat lari. Dari singgap yang tak terungkap dengan kata mu pun lirik biduan. Dari berbagai peristiwa dami peristiwa yang terjadi detik demi detik yang berlalu.

Seluruh peristiwa yang terjadi tentang banyak hal. Mulai dari mimpi, tangisan, kebahagiaan. Aku lari bukan karena semuanya mengejarku. Bukan karena semuanya terlalu buruk. Aku lari karena di sana tak ada tempat untuk mengejar. Tak ada tempat untuk berlari lebih cepat. Lebih jauh dan lebih tinggi.

Kota ini punya banyak lanskap. Tentang benderangnya lampu mercuri di tengah malam. Dan teriknya sang surya di tengah hari. Tempat betapa peluh tak berarti sudah. Tempat dimana air mata seperti sungai. Dan kebahagian seperti samudra.

Aku menafsir kota ini lebih sederhana dari Iwan Fals dan Khairil Anwar. Sekedar tempat lari.

Kota ini mengajarkanku tentang semangat membara. Dengan cara mencambukku dengan bejibun pesimisme. Kota ini menunjukan kesederhanaan di mata, tapi membisikkan kemewahan di telinga. Kota ini menawarkan cinta di hati, tapi menyisikkan kebencian di pikiran.

Aku putuskan untuk lari ke sini. Untuk merasakan tempat yang kutinggalkan betapa indah. Betapa memanjakan. Ada cinta dan kasih sayang. Ada janji yang tertepati.
Aku akan tetap di sini untuk kembali ke sana .... Ke tempat aku tinggalkan ....

Jakarta
03 September, 2009

Kerudung

Prahara hati terbungkus kerudung putih
Menyingkap senyum tanpa pamrih
Buka kerudungmu ya khumairah
Biar kulihat tunggumu yang letih

Tubuh perawanmu lembab beraromah embun
Basah dan merona tanpa sentuhan
Lekukannya menghentikan angan
Menghancurkan imanku dengan perlahan

Terlalu cepat kerudungmu terlepas
Meyakinkan milikku yang terhempas
Sudah kuucap ijab kabul tanpa ampas
Sudah, kau milikku tanpa seretas

Apa artinya kerudungmu kini
Ketika restu berhamburan sejak pagi
Malam menjadi keheningan legi
Menunggu kau segera merintih

Buang jauh kerudungmu
Tak akan kubiarkan mengekangmu
Akan kunodai jamuanmu
Dengan segala kelemahanku

Kerudungmu kini aku
Menjadi penghias senyumanmu
Menjadi ketenangan dimalammu
Dan menjadi matahari dipagimu

Malam ini akan kutanami harapan kita
Sedikit akan terasa sakit dipertama
Namun akan bermakna untuk semua
Kita kabarkan buahnya kelak untuk dunia
Dan hadirkan sebuah nama untuknya

Maaf ...
Kerudungmu aku lepaskan
Busanamu aku hempaskan
Kututup matamu dengan ke
Dan ku sucikan kau perawan

Biarkan kerudungmu sejenak beristirahat
Sekedar untuk dua puluh menit
Menoreh cinta dengan cepat
Setelah itu kau gunakan lagi dengan tepat
Kerudungmu ...
Dimalam pertama

Sederhana Saja ,,

Orang menyebutnya cinta
Namun aku tak percaya
Sebuah sajak nyata
Tertulis dengan gerak dan teryata

Sederhana saja...
Kuingin hancurkan kaidah tertata
Menuntun tanpa kira dan rencana
Dan berakhir dipelaminan nyata
Setelah harapan tentang bahagia itu ada

Sederhana saja...
Kuingin meniadakan cerita
Ocehan tentang keharusan cinta
Sekedar menciptakan serasih purna
Mengais kisah yang dulu tiada


Sederhana saja ...
Tak usah berpikir tentang istana
Bergubuk dibawah langit semesta saja
Cukup kenyang bersama tumbuhan dan air hujan bumiNya
Bahagia itu ada dihati dan antara
Bukan berlian atau emas himalaya

Sederhana saja ...
Tak usah menyebutnya Cinta
Sebut saja itu rasa
Mengalir tanpa asah dan tanda
Menghadirkan gerak sebagai penanda
Tercipta langsung dariNya
Meski kita selalu bertanya


Jadikan cinta seperti ...
Kopi disore hari dan susu dipagi hari
Tatkala senyuman mengumbar bahagia
Setelah semalam kita bersama

Sederhana saja ...
Cinta itu dikau
Sayang ...
Bukan lisan dan kata
Tapi setitik rasa
Sedalam terasa
Mengisi segala yang selalu ada
Bersama hingga cerita tiada 


30 Agustus 2009
Diponegoro 16A, Jakarta. 
Rully Amri

Hunian. Senyuman dan Ketulusan.


Hunian....
Tak penting seperti apa rupanya. aku selalu percaya, hunian yang nyaman adalah jika hati tersandra bahagia. itulah hunian yang paling nyaman.

Semenjak beranjak dari kosan yang mahalnya Naudzubillah, ke tempat ini, kenyamanan selalu saja menghampiri masuk. mengetuk pintu kamarku dan memanggil namaku untuk bisa menemuinya. Betapa kenyamanan itu hanya ada di hati. Senyuman dan Ketulusan.

17 Januari 2010
Gang Anyer, Menteng, Jakarta. 

Sayang, Belajarlah dari Pelacur.

Sayangku, belajarlah dari pelacur... Yang memahami kehinaan bukan sebagai kutukan.  Mereka menjadikan kotor sebagai keteladanan. Mengucap syukur  diantara gelimang dosa, dan selalu dalam prasangka yang baik pada Tuhan kita. Sedikit saja mereka berburuk sangka, maka mungkin mengakhiri hidup adalah pilihan mereka, tanpa terus mengindahkan ikhtiar sebagai nafasnya.  
Mereka tak pernah menayakan nasib.  Melainkan menjalaninya sebagai sebuah etape yang tak bisa terlepas dari setiap skenario hidup. Justru disitu letak keberimanan mereka sebagai makhluk kepada Yang Maha Menentukan.
Sayangku, Tak perlu kau menjadi seperti pelacur. Cukup saja kau tau bahwa tak semua keteladanan itu datang dari tempat yang terhormat dan suci.  Keteladanan terkadang berupa peringatan. Berupa perbedaan dari apa yang kita rasakan selama ini. Sebagai cermin yang tak mungkin berbohong dalam tampilan yang “baik”.
Pelacur mengutaman cinta pada Maha Pemberi Nasib, dibanding kata manis yang selalu menjilati liukan tubuh mereka, sebagai penyambung hidup. Mereka adalah pelajaran sesungguhnya dalam menyelami, seperti apa hidup, yang  harus diarifi sebagai sebuah pemberian, bukan pilihan.
Mereka mengajari syukur dalam sakit yang mendalam. Tidak seperti kita yang selalu lalai karena menyandang ‘terhormat’ sebagai sebuah insan. Syukur bagi mereka adalah pilihan terhadap setiap sakit yang mereka rasakan, bukan sebagai nikmat yang mereka inginkan.
Dengan hinaan, mereka belajar tentang kepemilikan dosa.  Secara sayup, mereka akan berbisik tentang kesucian kita, yang merasa tanpa dosa sedikit pun. Dan merasa layak untuk menghina atas nama Tuhan, kehormatan dan kesucian.  
Sayang, Jadikan pelacur sebagai keteladanan karena cintamu kepadaNya. Dan tuntun aku dalam rasa syukur, karena cintamu kepadaNya.

Pedalaman Halmahera
26 Ramadhan 1433 H

Cerita Kita ,,,

Kukira sudah engkau ...
ternyata masih bukan
terlalu cepat untuk bisa
menjadi "engkau"
yang sudah tidak "bukan" lagi ...

Kita dicaci seperti anjing
dan dihina haram seperti babi
seakan kita tak berwajah
padahal kita punya rasa ...

Kita pernah bicara tentang
anak kecil yang ruas-ruas wajahnya
mencuri paras cantikmu dan keegoanku ..
berteriak dengan sayupan mama dan papa ...
Sembari menegaskan mimpi yang menyata ..

Kita pernah berselimutkan semangat
bercita-cita tentang kesederhanan hakiki ...
berbicara dengan rasionalitas
namun menenangkannya dengan hati ...

aku kira "sudalah" engkau ...
tapi ternyata "bukan"
masih ada jalan dan tapakan yang selanjutnya

mari buka mata dan melangkahkan kaki

sampai bertemu kelak

ketika kita sudah sadar
bahwa mimpi ternyata' tak selalu menjadi kenyataan ...


Kamis, 19 Maret 2015

Kopi-nya Dee

Judul buku : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis : Dewi ‘Dee’ Lestari
Penerbit : Truedee Books dan GagasMedia
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : 134
No. ISBN : 979-96257-3-4


Ketika Jurnalisme dibungkam, maka sastra adalah ruang tak bertuan yang siap menampung kegaduhan, kemarahan, kebahagiaan atau sekedar kekecewaan. Kira-kira begitu Seno Gumirah berceloteh dan belakangan menjadi trend memei yang berhamburan di internet.

Namun Jurnalisme tidak sedang dibungkam. Bungkam dalam artian “me”ngekang. Tapi Bungkam dalam spirit alienasi. Sebuah ketercerabutan eksistensi yang mengasingkan entitas dari sebuah kesadaran, menjadi ketidak sadaran. Kira-kira seperti itu Jurnalisme kita sedang bernasib.

Terasing justru disaat tak ada sedikit pun aturan yang melarangnya untuk melangsungkan fungsinya sebagai pewarta. Maka mereka-mereka yang gugur sebagai pahlawan pewarta di waktu yang silam akan cukup tersenyum sebagai jasad ketika membaca setiap perkembangan kesastraan tanah air.

Ketika Jurnalisme hanya milik orang-orang dengan pemikiran tentang kekuasaan dan keuntungan, sastra menyelip sebagai kendaraan bebas hambatan bagi mereka yang cinta pada kebebasan.  Kendaraan ini menampung bejibun keresahan aksara yang tidak sekedar untuk dikomersilkan di tengah-tengah interupsi kerasnya iklan-iklan produk.

Meski kini sastra juga terhimpit manisnya budaya pop dengan berbagai embel-embel-nya, tapi bukankah sastra tak harus dikonsumsi.  Sekedar dinikmati secara bebas di fasilitas Media Social yang bebas anggaran pun, Sastra menjadi berarti. Tidak seperti Jurnalisme masa kini. Sebuah reportase dikatakan sukses jika konflik yang ditampilkan berelasi dengan kekuasaan.

Sastra tidak.  Dan Dee “memanfaatkan” ruang itu.  Memanfaatkan karena dia seorang penyanyi. Selain itu juga artis. Sebuah profesi yang bisa bebas masuk-keluar sebagai item reportase dalam kepentingan apa pun. Dee memanfaatkan, karena dunia sastra bukan akting kejar tayang yang secara terkini, diminati oleh hampir semua jenis artis.  Mulai dari Mc, penyanyi, atau sekedar talenta sensasi.  

Dunia Sastra berbeda.  Wadah ini lebih selektif dalam mempublis kualitas. Jika sekedar mengejar setoran, maka si pelaku yang iseng-iseng masuk dunia ini akan terpelanting keluar dengan tragis. Tapi tidak dengan Dee.

Meski termasuk yang paling telat membaca karya Dee ini : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Namun saya termasuk penikmat yang tercengang dengan suguhan karya ini. Dee meramu aksara secara khas. Awalnya nama Dee lebih familiar di mata saya dengan karya-karya novel yang lebih panjang dan memiliki ruang yang luas untuk berekspresi. Namun kali ini Cerpen dan prosa.

Awalnya jujur saja, saya orang yang tidak terlalu percaya pada talenta seorang penulis novel pop akan juga mampu menyusun cerpen sekaligus prosa se-indah ini. Adalah Goenawan Mohammad yang menarik perhatianku. “ah masa sih Goenawan Mohammad mau nguras kualitasnya hanya untuk sebuah kumpulan cerpen penulis muda” begitu pikir saya. Tapi baru lembar kedua, kesombongan saya terjawab. Dee memang layak.

Dengan karya kecil ini, Dee mencoba menampilkan Sastra kental yang disisip celoteh “kata-kata pop” sebagai pemanis. Ke khas-an nya di setiap novelnya pun terurai rapi dalam setiap cerpen. Tidak ada pembeda yang berarti, seperti yang kita temui pada pe-novel kebanyakan, yang nyambi nulis cerpen.

Meski kebanyakan cerpen dan prosanya mewakili keluhan yang tidak difalitasi Jurnalisme, tapi Dee tetap menjaga kesopanannya menyajikan aksara. Membebaskan gaya tuturnya dengan tetap menjaga plot di setiap cerita. Susunan cerpen dan prosanya pun rapi. Menjaga ritme emosi si penikmat hingga merasa terus haus untuk menenggak setiap kata dengan perlahan.

Selain Filosofi Kopi, Saya jatuh cinta pada Lara Lana. Dua cerita ini memiliki semua unsur kesastraan kontemporer. Nakal tapi sopan dengan presentasi kata yang rapi dan mencengangkan. Seperti pada pengantarnya Mas Goen memuji Dee pada setiap peletakan kata yang tidak hanya sekedar.

Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Disuguhkan dengan ramuan yang hati-hati. Tidak terlalu keras tapi juga ada berbagai penegasan disana. Lembut namun jauh dari picisan. Seperti Kopi Tiwus. Meski lahir dari kesederhanaan, tapi memiliki cita rasa yang mewah, bahkan megah.

Halmahera
20 Maret 2015

Sudahlah itu ...

Sudah itu ...

Tak pernah pasti menjemput
Selalu mengikutiku berdampingan
Diselaput mata yang siap dijemput
Menuntun hidup dengan detik dan harapan

Kepastian yang selalu mengambang direlung kira-kira
Aku merasakan bisikannya dilubuk hati
Menakutiku dengan peringatan dan ancaman ada
Meski tak di ujung belati namun tetap menanti


Bila tiba saatnya, tak ada yang bisa menundanya
Sedetikpun dalam sesal
Semuanya terlambat dalam kepastian yang tak nyata
Berhenti dan tertutup apa pun semisal
Tak ada dosa atau pahala

Sendiri dan hening jika tiba saatnya
Bagai berdiri dalam pembaringan abadi
Menutup mata tanpa bersapa
Sedikit tanda namun berhamburan makna

Kematian.

27 Juni 2008
Jakarta. 

Begitulah Malaysia, Dan Nasionalisme Kita.

(tulisan ini ditulis saat Malaysia mengklaim Tarian Reok sebagai produk kebudayaan mereka, dan sudah dipublikasikan di salah satu media Nasional)
 
Begitulah Malaysia. Setelah berpuluh tahun lalu membuat Indonesia merajuk dan keluar dari PBB. Sekarang melakukan klaim terhadap beberapa tarian, yang belakangan membuat geger hampir seluruh masyarakat Indonesia. Ini bukan kali pertama. Sebelum tari pendet. Ada beberapa lagu dan juga ornament kebudayaan yang diklaim Malaysia. Mereka beralasan bahwa budaya tersebut berakar dari kebudayan melayu yang dahulu kala belum dibatasi oleh administrasi kenegaraan. Melayu sekedar spirit sukuisme dan tradisi saja. Akar ini yang membuat Malaysia melakukan klaim. Ada tradisi hindunisme yang mengakar di sejarah Negara-bangsa ini. Sehingga beberapa ornament kebudayaan hampir mirip bahkan sulit memang di bedakan antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia.

Malaysia tidak sepenuhnya salah dalam hal klaim dengan argumentasi seperti itu. Kita ranah serumpun yang memiliki latar kebudayaan yang sama. Hampir tak ada bedanya. Bicara kebudayaan memang sulit ditegaskan dibawah spirit kenegaraan. Kebudayaan berakar dari nilai leluhur yang menspirit tradisi dan nilai-nilai. William H. Haviland berisalah bahwa Kebudayaan terkait seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua masyarakat. Landasan ini sulit membatasi produk kebudayaan sebagai klaim kreativitas segolongan orang saja. Ini kerja banyak orang, melintasi batasan administrative formal dan sulit ditakar menggunakan klaim.

Persoalan yang hadir memang, lebih disebabkan oleh semerbak komersialisasi kebudayaan yang di canangkan Kapitalisme sekitar satu abad terakhir. Terlebih lagi ketika adanya Undang-undang hak paten. Sekonyong-konyong setiap budaya harus punya hak patennya sendiri-sendiri. Gunanya memang lebih pada memenuhi halaman depan majalah iklan pariwisata dunia. Jika sekedar spirit nasionalisme, buat apa kita cape-cape berteriak tentang ke-brengsekan Malaysia yang mengklaim ? wong kita juga banyak menggunakan ornament kebudayaan orang yang skrang mentradisi dan blakangan, sebagian besar dari kita, sudah merasa memilikinya. Misalnya, Kuba mesjid ala mesir, jubah putih panjang ala Arabic, baju koko ala cina dan beduk mesjid sebagai tanda akan adzan ala cina. Masalahnya memang, kita tidak meletakkannya sebagai iklan pariwisata di halaman depan majalah pariwisata. Tapi bukankah itu ornament kebudayaan yang juga punya nilai ditengah masyarakat ?

Tidak sepenuhnya salah, bukan berarti Malaysia sudah spenuhnya benar. Dengan mengiklankan atau melakukan klaim terhadap beberapa produk kebudayaan yang sudah menjadi produk unggulan Indonesia, mereka melakukan pencaplokan brand agar dengan mudah mengalahkan lawan bisnisnya dengan cepat. Dalam logika pasar ini sangat mlanggar etika. Dengan cara menggampangkan langkah bisnis. Mengambil produk-produk jadi milik tetangga, untuk dipromosikan agar bisa mendapatkan keuntungan dari beberapa produk unggulan tersebut. Namun memang langkah ini dalam bisnis sulit di kenakan sangsi formal. Yang bisa dilakukan antar kopetitor adalah meningkatkan kualitas produk masing-masing agar bisa bersaing dengan sehat dipasaran.

Maka menjadi salah kaprah-lah kita jika klaim Malaysia atas beberapa ornament kebudayaan, kita tangapi sebagai persoalan ideologis. Atau penghinaan terhadap Negara kesatuan Republik yang kita cintai ini. Itu sekedar upaya komersialisasi pariwisata yang sudah kita lakukan jauh setelah Negara ini merdeka. Sudah lama tahapan ini kita lakukan. Yang sekarang baru dilakuakn oleh Negara serumpun kita Malaysia. Toh juga Negara serumpun ini, tidak cukup banyak kekuatan, untuk bisa merebut pasar pariwisata kita. Jika, kita mau meningkatkan segala kualitas produk kebudayaan yang selama ini kita miliki.

Mari kita sibukkan diri ini dengan meningkatkan kualitas produk kudayaan kita, agar lebih disukai secara Internasional dan itu bisa mendatangkan pendapatan yang lebih. Selain nilai komersialisasi pelestarian kebudayaan juga menghadirkan karakteristik bangsa. Buat apa kita maki-maki Malaysia yang “katanya” mengklaim kebudayaan kita, sedangkan kita sendiri tidak bisa mengilhami karakteristik budaya kita sendiri. Buktinya, anasir asing masih menyelinap di sendi-sendi kebijakan dalam negeri kita.

Berhentilah memaki kreatifitas orang lain. Hingga kita tidak diklaim Negara reaktif revolusioner … sebaiknya kita menciptakan kretivitas baru dengan spirit kebudayaan yang ada dan senantiasa mengagungkan spirit nasionalisme subtansial … tidak reaktif, heroistik, euforia dan sediktl memalukan. Jadilah bangsa yang besar yang juga berkarakter besar. 

28 Agustus 2009
Jakarta,

Selain Mu,, Tak Ada.

Tiada Yang Lain ...

Berdiri diantara persimpangan yang tak tertuju
Kau ada dan tak pernah tiada
Semakin ku dekat Kau semakin menuju
Aku tak pernah ada namun Kau tetap ada

Nikmatmu menutup segalanya
Aku terbuai dan terentah diantara setiap firmanMu
Kulupakan setiap tabir dalam tutur kitab suci
Kupikir Kau lupa bahwa aku lupa

Ternyata kau tetap menjadi Tuhanku
Diantara yang ada semuanya tiada
Menandakan selain Kamu
Aku akhirnya malu
Dan bersujud ....

Bukan untuk surgamu
Tapi untuk peniadaan yang lain
Selain Mu ... tak ada.

30 Agustus 2009

..di Jakarta

Seluruh pujangga dan biduan sudah mengambarkan kota ini dengan berbagai rangkaian kata dan lirik yang beragam.

Ada yang mengambarkannya sebagai sebuah lingkup yang sempit dan sesak. Tapi ada juga yang menjadikan kota ini sebagai sebuah mimpi yang tak tergapai. Beragam memang.

Aku sebagian kecil diantara bejibun tafsir yang ada. Untuk memutuskan tinggal di kota ini, aku meninggalkan banyak hal di sana. Mulai dari udara tropis yang menyemai kalbu setiap pagi dan malamnya, hingga masa kecil yang tak terhingga indahnya. Namun ini sudah putusan. Kota ini, bagiku, sekedar tempat lari. Dari singgap yang tak terungkap dengan kata mu pun lirik biduan. Dari berbagai peristiwa dami peristiwa yang terjadi detik demi detik yang berlalu.

Seluruh peristiwa yang terjadi tentang banyak hal. Mulai dari mimpi, tangisan, kebahagiaan. Aku lari bukan karena semuanya mengejarku. Bukan karena semuanya terlalu buruk. Aku lari karena di sana tak ada tempat untuk mengejar. Tak ada tempat untuk berlari lebih cepat. Lebih jauh dan lebih tinggi.

Kota ini punya banyak lanskap. Tentang benderangnya lampu mercuri di tengah malam. Dan teriknya sang surya di tengah hari. Tempat betapa peluh tak berarti sudah. Tempat dimana air mata seperti sungai. Dan kebahagian seperti samudra.

Aku menafsir kota ini lebih sederhana dari Iwan Fals dan Khairil Anwar. Sekedar tempat lari.

Kota ini mengajarkanku tentang semangat membara. Dengan cara mencambukku dengan bejibun pesimisme. Kota ini menunjukan kesederhanaan di mata, tapi membisikkan kemewahan di telinga. Kota ini menawarkan cinta di hati, tapi menyisikkan kebencian di pikiran.

Aku putuskan untuk lari ke sini. Untuk merasakan tempat yang kutinggalkan betapa indah. Betapa memanjakan. Ada cinta dan kasih sayang. Ada janji yang tertepati.
Aku akan tetap di sini untuk kembali ke sana .... Ke tempat aku tinggalkan ....

Jakarta
03 September, 2009

Kerudung

Prahara hati terbungkus kerudung putih
Menyingkap senyum tanpa pamrih
Buka kerudungmu ya khumairah
Biar kulihat tunggumu yang letih

Tubuh perawanmu lembab beraromah embun
Basah dan merona tanpa sentuhan
Lekukannya menghentikan angan
Menghancurkan imanku dengan perlahan

Terlalu cepat kerudungmu terlepas
Meyakinkan milikku yang terhempas
Sudah kuucap ijab kabul tanpa ampas
Sudah, kau milikku tanpa seretas

Apa artinya kerudungmu kini
Ketika restu berhamburan sejak pagi
Malam menjadi keheningan legi
Menunggu kau segera merintih

Buang jauh kerudungmu
Tak akan kubiarkan mengekangmu
Akan kunodai jamuanmu
Dengan segala kelemahanku

Kerudungmu kini aku
Menjadi penghias senyumanmu
Menjadi ketenangan dimalammu
Dan menjadi matahari dipagimu

Malam ini akan kutanami harapan kita
Sedikit akan terasa sakit dipertama
Namun akan bermakna untuk semua
Kita kabarkan buahnya kelak untuk dunia
Dan hadirkan sebuah nama untuknya

Maaf ...
Kerudungmu aku lepaskan
Busanamu aku hempaskan
Kututup matamu dengan ke
Dan ku sucikan kau perawan

Biarkan kerudungmu sejenak beristirahat
Sekedar untuk dua puluh menit
Menoreh cinta dengan cepat
Setelah itu kau gunakan lagi dengan tepat
Kerudungmu ...
Dimalam pertama

Rabu, 18 Maret 2015

Sederhana Saja ,,

Orang menyebutnya cinta
Namun aku tak percaya
Sebuah sajak nyata
Tertulis dengan gerak dan teryata

Sederhana saja...
Kuingin hancurkan kaidah tertata
Menuntun tanpa kira dan rencana
Dan berakhir dipelaminan nyata
Setelah harapan tentang bahagia itu ada

Sederhana saja...
Kuingin meniadakan cerita
Ocehan tentang keharusan cinta
Sekedar menciptakan serasih purna
Mengais kisah yang dulu tiada


Sederhana saja ...
Tak usah berpikir tentang istana
Bergubuk dibawah langit semesta saja
Cukup kenyang bersama tumbuhan dan air hujan bumiNya
Bahagia itu ada dihati dan antara
Bukan berlian atau emas himalaya

Sederhana saja ...
Tak usah menyebutnya Cinta
Sebut saja itu rasa
Mengalir tanpa asah dan tanda
Menghadirkan gerak sebagai penanda
Tercipta langsung dariNya
Meski kita selalu bertanya


Jadikan cinta seperti ...
Kopi disore hari dan susu dipagi hari
Tatkala senyuman mengumbar bahagia
Setelah semalam kita bersama

Sederhana saja ...
Cinta itu dikau
Sayang ...
Bukan lisan dan kata
Tapi setitik rasa
Sedalam terasa
Mengisi segala yang selalu ada
Bersama hingga cerita tiada 


30 Agustus 2009
Diponegoro 16A, Jakarta. 
Rully Amri

Hunian. Senyuman dan Ketulusan.


Hunian....
Tak penting seperti apa rupanya. aku selalu percaya, hunian yang nyaman adalah jika hati tersandra bahagia. itulah hunian yang paling nyaman.

Semenjak beranjak dari kosan yang mahalnya Naudzubillah, ke tempat ini, kenyamanan selalu saja menghampiri masuk. mengetuk pintu kamarku dan memanggil namaku untuk bisa menemuinya. Betapa kenyamanan itu hanya ada di hati. Senyuman dan Ketulusan.

17 Januari 2010
Gang Anyer, Menteng, Jakarta. 

Sayang, Belajarlah dari Pelacur.

Sayangku, belajarlah dari pelacur... Yang memahami kehinaan bukan sebagai kutukan.  Mereka menjadikan kotor sebagai keteladanan. Mengucap syukur  diantara gelimang dosa, dan selalu dalam prasangka yang baik pada Tuhan kita. Sedikit saja mereka berburuk sangka, maka mungkin mengakhiri hidup adalah pilihan mereka, tanpa terus mengindahkan ikhtiar sebagai nafasnya.  
Mereka tak pernah menayakan nasib.  Melainkan menjalaninya sebagai sebuah etape yang tak bisa terlepas dari setiap skenario hidup. Justru disitu letak keberimanan mereka sebagai makhluk kepada Yang Maha Menentukan.
Sayangku, Tak perlu kau menjadi seperti pelacur. Cukup saja kau tau bahwa tak semua keteladanan itu datang dari tempat yang terhormat dan suci.  Keteladanan terkadang berupa peringatan. Berupa perbedaan dari apa yang kita rasakan selama ini. Sebagai cermin yang tak mungkin berbohong dalam tampilan yang “baik”.
Pelacur mengutaman cinta pada Maha Pemberi Nasib, dibanding kata manis yang selalu menjilati liukan tubuh mereka, sebagai penyambung hidup. Mereka adalah pelajaran sesungguhnya dalam menyelami, seperti apa hidup, yang  harus diarifi sebagai sebuah pemberian, bukan pilihan.
Mereka mengajari syukur dalam sakit yang mendalam. Tidak seperti kita yang selalu lalai karena menyandang ‘terhormat’ sebagai sebuah insan. Syukur bagi mereka adalah pilihan terhadap setiap sakit yang mereka rasakan, bukan sebagai nikmat yang mereka inginkan.
Dengan hinaan, mereka belajar tentang kepemilikan dosa.  Secara sayup, mereka akan berbisik tentang kesucian kita, yang merasa tanpa dosa sedikit pun. Dan merasa layak untuk menghina atas nama Tuhan, kehormatan dan kesucian.  
Sayang, Jadikan pelacur sebagai keteladanan karena cintamu kepadaNya. Dan tuntun aku dalam rasa syukur, karena cintamu kepadaNya.

Pedalaman Halmahera
26 Ramadhan 1433 H

Cerita Kita ,,,

Kukira sudah engkau ...
ternyata masih bukan
terlalu cepat untuk bisa
menjadi "engkau"
yang sudah tidak "bukan" lagi ...

Kita dicaci seperti anjing
dan dihina haram seperti babi
seakan kita tak berwajah
padahal kita punya rasa ...

Kita pernah bicara tentang
anak kecil yang ruas-ruas wajahnya
mencuri paras cantikmu dan keegoanku ..
berteriak dengan sayupan mama dan papa ...
Sembari menegaskan mimpi yang menyata ..

Kita pernah berselimutkan semangat
bercita-cita tentang kesederhanan hakiki ...
berbicara dengan rasionalitas
namun menenangkannya dengan hati ...

aku kira "sudalah" engkau ...
tapi ternyata "bukan"
masih ada jalan dan tapakan yang selanjutnya

mari buka mata dan melangkahkan kaki

sampai bertemu kelak

ketika kita sudah sadar
bahwa mimpi ternyata' tak selalu menjadi kenyataan ...