Hujan yang mengepung tanah pada hakikat harfiahnya, tidak sekedar basah dalam kesejukan. Namun juga memberi kehidupan baru pada bumi. Hujan selalu menjadi energi bagi bumi. Tidak sekedar untuk bisa bertahan hidup, namun juga berubah dan berkembang. Kira-kira seperti itu hidayah bagi setiap hati yang dihinggapi.
Sakti
adalah salah satu personil Sheila On 7 yang paling besar pengorbanannya.
Setelah menjajaki Jakarta dan tidur di samping kandang ayam menunggu panggilan
rekaman, dia juga harus mengorbankan mobil VW col untuk biaya awal tapping.
Berbuah manis. Baru album pertama, SO7 berhasil meraih pendatang terbaik dan
penjualan album terbanyak versi Anugerah Musik Indonesia Award.
Album-album
selanjutnya seperti kacang goreng. Diborong fans tanpa sisa dan mencapai puncak
pada peluncuran album Syepia. SO7 tak tertandingi. Lirik-lirik mereka adalah
cermin paling aktual anak muda Indonesia. Komposisi musik mereka bergenre pop
alternativ yang merupakan warna baru di nusantara.
Namun
seperti menjadi sebuah kewajiban bahwa setiap band besar selalu menemui titik
krisis nya selepas klimaks ketenaran mereka. SO7 juga mengamalami etape wajib
itu. Sakti yang merupakan salah satu personil yang terganteng dan terbanyak
fansnya menyatakan diri, keluar.
Publik
termasuk saya langsung berkesimpulan sama. Sebuah band selalu menemui dinamika
internalnya jika sudah mandi keteneran dan berlimpah harta. Mereka akan konflik
satu sama lain dan akhirnya pecah atau ada personil yang hengkang. Ternyata,
publik termasuk saya salah. SO7 tidak sedang berkonflik. Sakti tidak sedang
marah dan berbeda prinsip dengan personil lainnya.
Infotaimen
merilis penyataan konfrensi pers SO7 terkait hengkanya Sakti. Dengan senyuman dan
candaan khasnya, Eros memberi keterangan bahwa “Sakti mau fokus belajar dulu”
saat pewarta infoteimen mengejar pernyataan ini, Eros menegaskan “Sakti mau
belajar agama”
Ah
bodoh sekali Sakti. Begitu publik berguman sinis. Sama seperti saya. Emang
agama melarang kesuksesan ? atau seberapa berat sih belajar agama, sampe harus
meninggalkan berbagai kemegahan yang dirintis dari 0 itu. Sekali lagi publik
dan termasuk saya sinis.
Terkhusus
saya yang juga belajar agama sejak kecil dan kebetulan juga merintis nasib
dengan main band, benar-benar tidak habis pikir. Jangan-jangan agama yang di
pelajari Sakti itu ‘sesat’. Sikap Sakti itu secara tidak langsung menghina saya
dan bejibun musisi yang belum masuk kategori artis. Kita cape-cape merintis
perjalanan band secara keras, bersaing masuk dapur rekaman, menciptakan lagu
berulang-ulang kali untuk mendapat apa yang di genggam sekarang olehnya, eh dia
malah tinggalkan begitu saja. Sampai pada titik kedongkolan paling rajam,
dengan tawa canda yang sinis kami meramai-ramai menertawai Sakti “ah sok
agamais loe”
Tapi
hidup tidak statis. Edane dalam sebuah album yang bertajuk “rock In 80’an”
meneriakkan lantang “hidup ternyata ga se rock n roll yang kita pikirkan” hidup
berberak dinamis- jika tidak mau menyebutnya keras.
Antara
Langit dan Bumi.
Setelah
beberapa hari yang mumat karena dinamisnya hidup, dua hari terakhir saya coba
cari lagi Sakti yang dulu kita tertawai itu. Maklumlah, saat susah dan tersandera
kegalauan, setiap manusia punya cara sendiri menemukan wadah pelarian. Selain
mulai membaca-baca lagi buku agama, untuk mencari-cari pembenaran penguat hati.
Aku juga mulai mengeluh-ngeluh lagi ke Tuhan. Sholat, puasa sunah, tahajud,
duha, mengaji dan sesekali sedekah, meski kondisi tragis. Dan mencari-cari sejarah
pertobatan personal-personal yang kebetulan dihinggapi hidayah.
Saya
cari lagi Sakti. Siapa tau ada yang pisa dipetik. Cari di youtube, google dan
fasilitas internet lainnya. Subahanaullah.
Selain malu menampar pipi bolak balik dengan palu ghodam, rasa iri juga
menusuk-nusuk ulu hati. Si “sok agamais” itu seakan menanyakan padaku
“bagaimana bro? Nyaman? Tenang ?”
Yang
pasti level ketundukan sudahlah Sakti jauh diatas. Berarti secara keilmuan juga
tentu lebih jauh lagi meninggalkan saya. Dan yang paling membuat iri adalah
latar belakang motiv “berpidah” Sakti. Ditengah gelimang harta, bermandikan
penghargaan juga terseok-seok dengan pujaan, Sakti memilih bersikap dengan
mantap. Dan setelah bersikap, Sakti menjaga konsistensinya (istiqomah) dalam
kebahagiaan yang jauh dari retapan. Apa sikap ini membuat Sakti terpuruk ?
tidak ! derajatnya naik, lebih terhormat dan lebih mulai, tidak hanya di
hadapan manusia, tapi juga di hadapan Allah. Lalu kemudian dia merasa
berkekurangan ? juga tidak. Dari artis, Sakti memilih berjualan kaos dan baju muslim
di Jogja. Dengan enteng Sakti berguman “soal rezeki saya serahkan pada bos-nya
Bos, yaitu Allah Ta’ala”
Seperti
langit dan bumi, bedanya. Saya justru mengingat-ingat lagi bacaan sholat ketika
tertimpa kesialan yang disebabkan oleh ketelodoran pribadi. Ketika harta hilang
tiba-tiba sebab boros, tertipu oleh orang-orang, di kerjain, dimarah-marahi
istri dan hina di mata keluarga. Jika Sakti lebih kepada menyelami cobaan, saya
lebih tepatnya mengundang adzab.
Sakti
meninggalkan kebahagiaan dunia untuk menyempurkan sikap dihadapan Tuhannya.
Saya jutru ditinggalkan kebahagiaan dunia, baru kemudian tersontak dan
merintih. Masih sempat-sempat pula memohon agar semua yang berbau-bau dunia itu
dikembalikan lagi.
Meski
hingga detik ini saya tetap berkeyakinan bahwa Sakti punya ilmu yang jauh
menggantung diatas saya, tapi sempat saja keyakinan itu membuat otak meratap
tak percaya pada kenyataan. Semacam kurang yakin jika Sakti bisa menyaingi
saya, minimal berimbang dalam hal melahap buku-buku yang di tulis oleh
ulama-ulama terkenal. Mendiskusikannya, bahkan sesekali menceramahinya untuk
berbagi ke teman-teman. Saya dibesarkan oleh kedua orang tua yang sejak saya
nongol dibumi, hingga mama almarhum dan papa kini menua tetap pada garis
sayariat agama. Saya koq kurang yakin ya, jika Sakti pun punya ortu sehebat
Papa dan Mama dalam hal agama. Jangankan asmahul husnah, Al Quran pun di hafal
luar kepala sama Papa dan Mama.
Maka
melihat kembali Sakti, terasa diri begitu kecil dan hina. Kecil sebab belum
seberapalah pengorbanan ini jika dibanding Sakti. Meninggalkan kebejatan bukan karena
memilih, tapi keterpaksaan karena situasi yang lagi apes. Yang pada tataran ini,
konsistensi pun masih perlu teruji. Jangan-jangan ketika diberi kesempatan atau
peluang untuk bejat lagi, eh malah tambah bejat.
Terasa
Hina sebab mengabaikan ilmu/pengetahuan. Ini sikap yang bisa dikatakan tingkat
kesialannya, lebih tinggi satu digit di atas bodoh. Bodoh itu, tidak tau, atau
belum tau. Tapi kalau “mengabaikan” ilmu, itu kerugian diatas bodoh. Masa sih,
tau ilmunya tapi diabaikan. Bahkan untuk sebagian kasus, pengabaian
ilmu/pengetahuan ini sudah dialami akibat buruknya. Tapi tetap saja bebal.
Mengenali
agama sejak orok membuat saya justru semakin jauh dari keberuntungan dalam
mengecap nikmatnya hidayah. Sedangkan Sakti ? justru disirami hidayah saat
bahagia dunia sedang di tingkat tertingginya. Ah bodoh sekali saya.
Tapi
sudahlah. Membanding-bandingkan sembari mengidolai Sakti tidak akan bisa
merubah segalanya tanpa tahapan selanjutnya; menerapkannya. Tuhan menguji
setiap umatnya dengan tingkat kemampuannya masing-masing. Sakti salah satu
bukti nyatanya. Mungkin juga banyak Sakti-Sakti lain yang mengkin lebih dahsyat
namun luput dari publikasi.
۞ سَيَقُولُ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَ ٱلنَّاسِ مَا
وَلَّىٰهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ ٱلَّتِى كَانُوا۟ عَلَيْهَا ۚ قُل لِّلَّهِ
ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ
مُّسْتَقِيمٍ