Menjadi Pemuda di Negeri Wonge? (Refleksi sumpah pemuda 2013)

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Malut Post, 26 Oktober 2013
Dan akhirya Joedy memutuskan untuk tidak kembali ke vietnam saat pacarnya Jane memutuskan pertunangan mereka karena memilih bergabung dengan gerakan anti perang. Joedy merasa tidak akan bisa lagi memimpin pasukan untuk menggempur Vietnam saat motivasi utamanya “jane” tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti.
Sementara kawannya Frans memutuskan untuk tetap kembali ke Vietnam meski dengan susah payah ditahan oleh pacarnya yang seorang aktivis anti perang. Joedy dan Frans adalah tokoh utama dalam flim “Love n Honor” sebuah film berlatar tahun 80 an akhir, peraih oscar kategori cerita terbaik sekitar tahun 1999.
Menceritakan tentang pergolakan dua anak muda Amerika yang mengikuti wajib militer ke vietnam. Dan akhirnya terjebak pada pilihan apakah harus terus kembali ke vietnam untuk berjuang atau memutuskan untuk menjadi pembelot karena pilihan-pilihan soal kepentingan pribadi mereka masing-masing. Mereka berkesempatan beristirahat selama dua minggu setelah mereka berdua nyaris mati karena di kepung pasukan vietnam. Beruntung mereka diselamatkan oleh kawan mereka yang akhirnya mati ditembak pasukan vietnam saat melindungi mereka keluar dari kepungan musuh.
Pergolakan perasaan mereka pada pilihan-pilahan yang dihadapi (apakah balik sebagai pasukan perang atau membelot pada militer) saat beristirahat menjadi sebuah refleksi yang mendalam.

Usia mereka belia. Sekitar 20 tahun. Sama seperti Soekarno saat bergerak membuat Partai Nasional Indonesia. Soekarno berusia 21 tahun saat mendeklarasikan PNI. Dengan usia sebelia itu, Soekarno tidak termotivasi untuk bisa menjadi tokoh politik dengan bergelimpangan fasilitas dan kekayaan. Partai yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang dialami negerinya. Dengan kecerdasan yang luar biasa saat itu, Soekarno bisa dengan mudah menjadi komprador asing dan melanggengkan proses pembodohan terhadap rakyat di negerinya.
Soekarno satu dari bejibun anak muda zaman perjuangan yang memilih untuk menunda kemapanan, menunda kesenangan, menunda kenikmatan pribadi demi untuk bangsa dan negerinya. Mereka juga punya pilihan seperti Joedy dan Frans. Lari dari peperangan sebagai pembelot atau terus maju sebagai pejuang.
Pertanyaannya, apakah pilihan itu masih dihadapi pemuda di zaman ini ?
Anak-anak muda yang tumbuh paska kemerdekaan dicecoki oleh patriotisme pejuang paska kemerdekaan dengan slogan “saatnya mengisi kemerdekaan” setiap pemuda dengan usia 35 kebawah dan 20 an tahun ke atas, pasti terngiang di telinga saat setiap guru PSPB di sekolah dasar menteriakkan heroisme pejuang-pejuang  “pengisi kemerdekaan”
Sayang seribu sayang, bangsa ini juga mengalami fase dimana pemimpin-pemimpin negaranya menafsir keberhasilan “mengisi kemerdekaan” dengan bejibun hutang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan international. Kemerdekaan ditafsir dengan pembangunan fisik yang megah sembari menggadaikan kekayaan negara ini kepada pihak asing dan membuat rakyat menderita dalam kemiskinan.  
Kondisi yang berlangsung hampir tiga dekade itu juga akhirnya mengkondisikan “pengisi kemerdekaan”(pemuda) semakin manja dalam terpaan budaya komersialisasi, karakter yang mekanistik dan miskin inovasi. Pemuda negeri ini berubah menjadi entitas flamboyan yang doyan mempercepat kemapanan dari pada melihat terpaan kemiskinan pada rakyat. Mudah tergoda oleh hal-hal instan yang menjanjikan kenyamanan dari pada bergelut dengan dinamika-kritis demi mewujudkan “sunatullah” pemuda sebagai agen perubahan.
Secara aktual setelah orde baru sudah berlalu sepuluh tahunan lebih, apa para penggeraknya yang pemuda-pemuda itu berubah ? peran dan kesempatan untuk pemuda memang berubah.
Semakin besar ruang bagi para pemuda untuk berekspresi. Di ruang-ruang politik paling terasa perubahan itu. Tak sedikit orang-orang muda mendapat kesempatan yang sama dengan senior-senior mereka, tapi apakah kesempatan tersebut terbarengi oleh spirit “agen perubahan” yang dirasakan Soekarno dan kawan-kawan di zaman pergerakan ? Atau sekedar menempuh jalan pintas yang miskin inovasi dan meniru tradisi para senior yang terkungkung pada anomali-anomali. Mulai dari berdusta kepada rakyat, memperkaya diri secara instan sampai mencitrakan diri dengan miskin gagasan.
Tidak hanya didunia politik. Orang-orang muda yang merambah bilik-bilik birokrasi juga tak kalah opurtunisnya. Lebih memilih meneruskan tradisi menjilat kaki penguasa untuk berebut kekuasaan dari pada bersusah payah merubah tradisi buruk birokrasi yang terus diwarisi.
Tapi sudahlah. Memaki-maki tv yang rusak juga tidak akan mungkin memperbaikinya. Satu-satu nya jalan paling masuk akal adalah segera memperbaikinya secara cepat, sebelum kita mengalami kerugian secara turun temurun hanya karna doyan memaki keadaan tanpa memikirkan solusinya.
Yang paling mungkin dari anak muda adalah keresahan akibat miskinnya pengalaman. Kekuatan maha dahsyat yang tersimpan disetiap diri pemuda (ingin tau,belajar,mencoba) sebenarnya merupakan kecendrungan manusiawi bagi setiap proses yang dialaminya sebagai pemuda. Meski kadang ada kondisi yang melemparnya pada situasi yang mematikan keresahannya tersebut. Menurut amatan saya, ada tiga tipe pemuda di era reforamasi ini. Ada pemuda yang mengerti zamannya, tapi enggan menanggapinya. Tipe yang ini biasa terlahir sebagai kelompok yang mekanik ; sekolah yang rajin, kuliah yang cerdas, setelah lulus cari pekerjaan yang mapan.  Ada pemuda yang paham zamannya tapi enggan merubahnya. Tipe yang ini, biasanya opurtunis. Mengerti kondisi zamannya, tau cara memperbaikinya tapi enggan melawan arus besar dan lebih memilih untuk mengikuti arus besar tersebut.
Dan yang terakhir pemuda yang paham zamannya dan berupaya untuk mencoba melakukan perubahan.
Kelompok yang terakhir yang menarik untuk kita tela’ah sebagai bekal optimisme kita.
Sebagian anda tentu pernah dengar Iphod rigt. Seorang pengusaha muda yang sukses. Menurut Iphod perubahan anak muda indonesia, harus dengan pembangunan ekonomi yang mapan dari kewirausahaan. Dia tidak hanya berkoar tentang konsep Indonesia berdaya yang digagasnya, tapi dia juga membuktikannya pada dirinya sendiri. Iphod kebetulan yang terpublis, meski ada iphod-iphod lain yang melihat kekuatan perubahan ada pada spirit kewirausahaan pemuda. Beberapa tayangan di tv menampilkan profil mereka. Meski yang mereka gagas itu belum merupakan sesuatu yang menarik di kalangan anak muda kebanyakan. Mereka masih golongan kecil yang terus berupaya mempengaruhi yang banyak ini.
Anda juga tentu pernah mendengar Anis Baswedan dengan gagasan Indonesia Mengajar-nya. Anis Baswedan melihat dunia pendidikanlah syarat mutlak pintu perubahan bangsa ini. Kegiatan Indonesia Mengajar sedikit banyak memberi inspirasi bagi anak-anak muda negeri ini. Meski juga belum banyak yang mau bergerak untuk menghadirkan inovasi-inovasi menarik di dunia pendidikan.
Dan secara pribadi saya memilih Budiman Sudjadmiko sebagai politisi muda paling amanah. Pada sepak terjang politiknya di DPR RI sedikit banyak saya ikuti, dia memiliki isu yang fokus, ideologisasi yang kuat dan gagasan yang mencengangkan di dunia politik. Meski belum bisa mempengaruhi kekuatan besar, Budiman di dunia politik cukup fenomenal dan kaya ide. Meski Budiman juga mungkin tidak sendiri, ada sebagian kecil politisi muda di daerah-daerah yang tidak hanya menikmati fasilitas dan haus kekuasaan dalam berpolitik tapi juga berpayah-payah memperbaiki kondisi konstituen yang diwakilkannya.
Tiga contoh kecil ini bisa kita jadikan kayu bakar bagi spirit optimis kepemudaan kita. Para pemuda yang tidak hanya cerdas bagi dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang lain dan yang terpenting dia berupaya untuk mempengaruhi demi sesuatu yang lebih baik. Pemuda-pemuda dengan gagasan briliant dan energi ekstra seperti ini yang kita butuhkan di bangsa ini.
Bagaimana dengan pemuda di Maluku Utara ? pertanyaan ini saya rasa penting untuk kita jawab bersama. Secara aktual kondisi Maluku Utara berada pada posisi yang belia sebagai sebuah daerah administratif. Karena pemekaran provinsi, konsukwensinya terjadi pula pemekaran-pemekaran kabupaten/kota. Yang dalam kondisi ini, pemuda-pemuda Maluku Utara sangat diharapkan berperan massif dalam menuntun daerah ini menuju perkembangannya.
Tak sedikit anak muda yang saat ini berkesempatan memegang amanah di bilik birokrasi dan politik bahkan dunia akademis. Mereka segar-segar, cerdas-cerdas dan enerjig. Namun jika parameternya adalah kesejahtraan rakyat, kestabilan politik dan pemerintahan, kita harus jujur mengatakan anak muda yang banyak berkesempatan pada wilayah-wilayah eksekutor kebijakan belum memaksimalkan tenaganya. Tradisi birokrasi kuno yang doyan korup dan nepotisme masih terpelihara. Dunia politik masih patriarkis bahkan feodalis. Mereka-mereka yang ada diluar sistem pun masih belum bergerak maksimal melakukan kontrol sosial dan politik bagi proses trasisi politik dan pemerintahan daerah baru ini. Bahkan tak sedikit juga pengontrol-pengontrol yang ada diluar sistem ini tergoda untuk bersama-sama dengan kekuatan besar yang anomali. 
Lagi-lagi saya mau, untuk tetap optimis. Tidak ada yang terlambat untuk perubahan. Meski tidak pernah mendengar langsung dari mulutnya, saya yang merupakan titik yang sangat kecil dari entitas kepemudaan Maluku Utara mengkhawatirkan apa yang di risaukan Saiful Bahri Rurai dalam sebuah karyanya, bahwa daerah/negeri ini bisa dianalogi sebagai Negeri Wonge. Pada momentum Sumpah Pemuda tahun ini, mari tepis analogi itu dengan memaksimalkan kekuatan pemuda yang ada. Meski butuh adaptasi sebagai proses perubahan, jangan berlama-lama menikmati trasisi.
Daerah ini sekaligus masyarakatnya menunggu sepak terjang pemuda Maluku Utara. Jangan sampai analogi soal Negeri Wonge menjadi kenyataan, menjadi tradisi bahkan diwarisi kepada setiap generasi yang muncul sebagai tunas harapan di Maluku Utara. 

Kamis, 27 Februari 2014

Menjadi Pemuda di Negeri Wonge? (Refleksi sumpah pemuda 2013)

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Malut Post, 26 Oktober 2013
Dan akhirya Joedy memutuskan untuk tidak kembali ke vietnam saat pacarnya Jane memutuskan pertunangan mereka karena memilih bergabung dengan gerakan anti perang. Joedy merasa tidak akan bisa lagi memimpin pasukan untuk menggempur Vietnam saat motivasi utamanya “jane” tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti.
Sementara kawannya Frans memutuskan untuk tetap kembali ke Vietnam meski dengan susah payah ditahan oleh pacarnya yang seorang aktivis anti perang. Joedy dan Frans adalah tokoh utama dalam flim “Love n Honor” sebuah film berlatar tahun 80 an akhir, peraih oscar kategori cerita terbaik sekitar tahun 1999.
Menceritakan tentang pergolakan dua anak muda Amerika yang mengikuti wajib militer ke vietnam. Dan akhirnya terjebak pada pilihan apakah harus terus kembali ke vietnam untuk berjuang atau memutuskan untuk menjadi pembelot karena pilihan-pilihan soal kepentingan pribadi mereka masing-masing. Mereka berkesempatan beristirahat selama dua minggu setelah mereka berdua nyaris mati karena di kepung pasukan vietnam. Beruntung mereka diselamatkan oleh kawan mereka yang akhirnya mati ditembak pasukan vietnam saat melindungi mereka keluar dari kepungan musuh.
Pergolakan perasaan mereka pada pilihan-pilahan yang dihadapi (apakah balik sebagai pasukan perang atau membelot pada militer) saat beristirahat menjadi sebuah refleksi yang mendalam.

Usia mereka belia. Sekitar 20 tahun. Sama seperti Soekarno saat bergerak membuat Partai Nasional Indonesia. Soekarno berusia 21 tahun saat mendeklarasikan PNI. Dengan usia sebelia itu, Soekarno tidak termotivasi untuk bisa menjadi tokoh politik dengan bergelimpangan fasilitas dan kekayaan. Partai yang dihadirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang dialami negerinya. Dengan kecerdasan yang luar biasa saat itu, Soekarno bisa dengan mudah menjadi komprador asing dan melanggengkan proses pembodohan terhadap rakyat di negerinya.
Soekarno satu dari bejibun anak muda zaman perjuangan yang memilih untuk menunda kemapanan, menunda kesenangan, menunda kenikmatan pribadi demi untuk bangsa dan negerinya. Mereka juga punya pilihan seperti Joedy dan Frans. Lari dari peperangan sebagai pembelot atau terus maju sebagai pejuang.
Pertanyaannya, apakah pilihan itu masih dihadapi pemuda di zaman ini ?
Anak-anak muda yang tumbuh paska kemerdekaan dicecoki oleh patriotisme pejuang paska kemerdekaan dengan slogan “saatnya mengisi kemerdekaan” setiap pemuda dengan usia 35 kebawah dan 20 an tahun ke atas, pasti terngiang di telinga saat setiap guru PSPB di sekolah dasar menteriakkan heroisme pejuang-pejuang  “pengisi kemerdekaan”
Sayang seribu sayang, bangsa ini juga mengalami fase dimana pemimpin-pemimpin negaranya menafsir keberhasilan “mengisi kemerdekaan” dengan bejibun hutang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan international. Kemerdekaan ditafsir dengan pembangunan fisik yang megah sembari menggadaikan kekayaan negara ini kepada pihak asing dan membuat rakyat menderita dalam kemiskinan.  
Kondisi yang berlangsung hampir tiga dekade itu juga akhirnya mengkondisikan “pengisi kemerdekaan”(pemuda) semakin manja dalam terpaan budaya komersialisasi, karakter yang mekanistik dan miskin inovasi. Pemuda negeri ini berubah menjadi entitas flamboyan yang doyan mempercepat kemapanan dari pada melihat terpaan kemiskinan pada rakyat. Mudah tergoda oleh hal-hal instan yang menjanjikan kenyamanan dari pada bergelut dengan dinamika-kritis demi mewujudkan “sunatullah” pemuda sebagai agen perubahan.
Secara aktual setelah orde baru sudah berlalu sepuluh tahunan lebih, apa para penggeraknya yang pemuda-pemuda itu berubah ? peran dan kesempatan untuk pemuda memang berubah.
Semakin besar ruang bagi para pemuda untuk berekspresi. Di ruang-ruang politik paling terasa perubahan itu. Tak sedikit orang-orang muda mendapat kesempatan yang sama dengan senior-senior mereka, tapi apakah kesempatan tersebut terbarengi oleh spirit “agen perubahan” yang dirasakan Soekarno dan kawan-kawan di zaman pergerakan ? Atau sekedar menempuh jalan pintas yang miskin inovasi dan meniru tradisi para senior yang terkungkung pada anomali-anomali. Mulai dari berdusta kepada rakyat, memperkaya diri secara instan sampai mencitrakan diri dengan miskin gagasan.
Tidak hanya didunia politik. Orang-orang muda yang merambah bilik-bilik birokrasi juga tak kalah opurtunisnya. Lebih memilih meneruskan tradisi menjilat kaki penguasa untuk berebut kekuasaan dari pada bersusah payah merubah tradisi buruk birokrasi yang terus diwarisi.
Tapi sudahlah. Memaki-maki tv yang rusak juga tidak akan mungkin memperbaikinya. Satu-satu nya jalan paling masuk akal adalah segera memperbaikinya secara cepat, sebelum kita mengalami kerugian secara turun temurun hanya karna doyan memaki keadaan tanpa memikirkan solusinya.
Yang paling mungkin dari anak muda adalah keresahan akibat miskinnya pengalaman. Kekuatan maha dahsyat yang tersimpan disetiap diri pemuda (ingin tau,belajar,mencoba) sebenarnya merupakan kecendrungan manusiawi bagi setiap proses yang dialaminya sebagai pemuda. Meski kadang ada kondisi yang melemparnya pada situasi yang mematikan keresahannya tersebut. Menurut amatan saya, ada tiga tipe pemuda di era reforamasi ini. Ada pemuda yang mengerti zamannya, tapi enggan menanggapinya. Tipe yang ini biasa terlahir sebagai kelompok yang mekanik ; sekolah yang rajin, kuliah yang cerdas, setelah lulus cari pekerjaan yang mapan.  Ada pemuda yang paham zamannya tapi enggan merubahnya. Tipe yang ini, biasanya opurtunis. Mengerti kondisi zamannya, tau cara memperbaikinya tapi enggan melawan arus besar dan lebih memilih untuk mengikuti arus besar tersebut.
Dan yang terakhir pemuda yang paham zamannya dan berupaya untuk mencoba melakukan perubahan.
Kelompok yang terakhir yang menarik untuk kita tela’ah sebagai bekal optimisme kita.
Sebagian anda tentu pernah dengar Iphod rigt. Seorang pengusaha muda yang sukses. Menurut Iphod perubahan anak muda indonesia, harus dengan pembangunan ekonomi yang mapan dari kewirausahaan. Dia tidak hanya berkoar tentang konsep Indonesia berdaya yang digagasnya, tapi dia juga membuktikannya pada dirinya sendiri. Iphod kebetulan yang terpublis, meski ada iphod-iphod lain yang melihat kekuatan perubahan ada pada spirit kewirausahaan pemuda. Beberapa tayangan di tv menampilkan profil mereka. Meski yang mereka gagas itu belum merupakan sesuatu yang menarik di kalangan anak muda kebanyakan. Mereka masih golongan kecil yang terus berupaya mempengaruhi yang banyak ini.
Anda juga tentu pernah mendengar Anis Baswedan dengan gagasan Indonesia Mengajar-nya. Anis Baswedan melihat dunia pendidikanlah syarat mutlak pintu perubahan bangsa ini. Kegiatan Indonesia Mengajar sedikit banyak memberi inspirasi bagi anak-anak muda negeri ini. Meski juga belum banyak yang mau bergerak untuk menghadirkan inovasi-inovasi menarik di dunia pendidikan.
Dan secara pribadi saya memilih Budiman Sudjadmiko sebagai politisi muda paling amanah. Pada sepak terjang politiknya di DPR RI sedikit banyak saya ikuti, dia memiliki isu yang fokus, ideologisasi yang kuat dan gagasan yang mencengangkan di dunia politik. Meski belum bisa mempengaruhi kekuatan besar, Budiman di dunia politik cukup fenomenal dan kaya ide. Meski Budiman juga mungkin tidak sendiri, ada sebagian kecil politisi muda di daerah-daerah yang tidak hanya menikmati fasilitas dan haus kekuasaan dalam berpolitik tapi juga berpayah-payah memperbaiki kondisi konstituen yang diwakilkannya.
Tiga contoh kecil ini bisa kita jadikan kayu bakar bagi spirit optimis kepemudaan kita. Para pemuda yang tidak hanya cerdas bagi dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang lain dan yang terpenting dia berupaya untuk mempengaruhi demi sesuatu yang lebih baik. Pemuda-pemuda dengan gagasan briliant dan energi ekstra seperti ini yang kita butuhkan di bangsa ini.
Bagaimana dengan pemuda di Maluku Utara ? pertanyaan ini saya rasa penting untuk kita jawab bersama. Secara aktual kondisi Maluku Utara berada pada posisi yang belia sebagai sebuah daerah administratif. Karena pemekaran provinsi, konsukwensinya terjadi pula pemekaran-pemekaran kabupaten/kota. Yang dalam kondisi ini, pemuda-pemuda Maluku Utara sangat diharapkan berperan massif dalam menuntun daerah ini menuju perkembangannya.
Tak sedikit anak muda yang saat ini berkesempatan memegang amanah di bilik birokrasi dan politik bahkan dunia akademis. Mereka segar-segar, cerdas-cerdas dan enerjig. Namun jika parameternya adalah kesejahtraan rakyat, kestabilan politik dan pemerintahan, kita harus jujur mengatakan anak muda yang banyak berkesempatan pada wilayah-wilayah eksekutor kebijakan belum memaksimalkan tenaganya. Tradisi birokrasi kuno yang doyan korup dan nepotisme masih terpelihara. Dunia politik masih patriarkis bahkan feodalis. Mereka-mereka yang ada diluar sistem pun masih belum bergerak maksimal melakukan kontrol sosial dan politik bagi proses trasisi politik dan pemerintahan daerah baru ini. Bahkan tak sedikit juga pengontrol-pengontrol yang ada diluar sistem ini tergoda untuk bersama-sama dengan kekuatan besar yang anomali. 
Lagi-lagi saya mau, untuk tetap optimis. Tidak ada yang terlambat untuk perubahan. Meski tidak pernah mendengar langsung dari mulutnya, saya yang merupakan titik yang sangat kecil dari entitas kepemudaan Maluku Utara mengkhawatirkan apa yang di risaukan Saiful Bahri Rurai dalam sebuah karyanya, bahwa daerah/negeri ini bisa dianalogi sebagai Negeri Wonge. Pada momentum Sumpah Pemuda tahun ini, mari tepis analogi itu dengan memaksimalkan kekuatan pemuda yang ada. Meski butuh adaptasi sebagai proses perubahan, jangan berlama-lama menikmati trasisi.
Daerah ini sekaligus masyarakatnya menunggu sepak terjang pemuda Maluku Utara. Jangan sampai analogi soal Negeri Wonge menjadi kenyataan, menjadi tradisi bahkan diwarisi kepada setiap generasi yang muncul sebagai tunas harapan di Maluku Utara.