Begitulah Malaysia, Dan Nasionalisme Kita.

(tulisan ini ditulis saat Malaysia mengklaim Tarian Reok sebagai produk kebudayaan mereka, dan sudah dipublikasikan di salah satu media Nasional)
 
Begitulah Malaysia. Setelah berpuluh tahun lalu membuat Indonesia merajuk dan keluar dari PBB. Sekarang melakukan klaim terhadap beberapa tarian, yang belakangan membuat geger hampir seluruh masyarakat Indonesia. Ini bukan kali pertama. Sebelum tari pendet. Ada beberapa lagu dan juga ornament kebudayaan yang diklaim Malaysia. Mereka beralasan bahwa budaya tersebut berakar dari kebudayan melayu yang dahulu kala belum dibatasi oleh administrasi kenegaraan. Melayu sekedar spirit sukuisme dan tradisi saja. Akar ini yang membuat Malaysia melakukan klaim. Ada tradisi hindunisme yang mengakar di sejarah Negara-bangsa ini. Sehingga beberapa ornament kebudayaan hampir mirip bahkan sulit memang di bedakan antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia.

Malaysia tidak sepenuhnya salah dalam hal klaim dengan argumentasi seperti itu. Kita ranah serumpun yang memiliki latar kebudayaan yang sama. Hampir tak ada bedanya. Bicara kebudayaan memang sulit ditegaskan dibawah spirit kenegaraan. Kebudayaan berakar dari nilai leluhur yang menspirit tradisi dan nilai-nilai. William H. Haviland berisalah bahwa Kebudayaan terkait seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua masyarakat. Landasan ini sulit membatasi produk kebudayaan sebagai klaim kreativitas segolongan orang saja. Ini kerja banyak orang, melintasi batasan administrative formal dan sulit ditakar menggunakan klaim.

Persoalan yang hadir memang, lebih disebabkan oleh semerbak komersialisasi kebudayaan yang di canangkan Kapitalisme sekitar satu abad terakhir. Terlebih lagi ketika adanya Undang-undang hak paten. Sekonyong-konyong setiap budaya harus punya hak patennya sendiri-sendiri. Gunanya memang lebih pada memenuhi halaman depan majalah iklan pariwisata dunia. Jika sekedar spirit nasionalisme, buat apa kita cape-cape berteriak tentang ke-brengsekan Malaysia yang mengklaim ? wong kita juga banyak menggunakan ornament kebudayaan orang yang skrang mentradisi dan blakangan, sebagian besar dari kita, sudah merasa memilikinya. Misalnya, Kuba mesjid ala mesir, jubah putih panjang ala Arabic, baju koko ala cina dan beduk mesjid sebagai tanda akan adzan ala cina. Masalahnya memang, kita tidak meletakkannya sebagai iklan pariwisata di halaman depan majalah pariwisata. Tapi bukankah itu ornament kebudayaan yang juga punya nilai ditengah masyarakat ?

Tidak sepenuhnya salah, bukan berarti Malaysia sudah spenuhnya benar. Dengan mengiklankan atau melakukan klaim terhadap beberapa produk kebudayaan yang sudah menjadi produk unggulan Indonesia, mereka melakukan pencaplokan brand agar dengan mudah mengalahkan lawan bisnisnya dengan cepat. Dalam logika pasar ini sangat mlanggar etika. Dengan cara menggampangkan langkah bisnis. Mengambil produk-produk jadi milik tetangga, untuk dipromosikan agar bisa mendapatkan keuntungan dari beberapa produk unggulan tersebut. Namun memang langkah ini dalam bisnis sulit di kenakan sangsi formal. Yang bisa dilakukan antar kopetitor adalah meningkatkan kualitas produk masing-masing agar bisa bersaing dengan sehat dipasaran.

Maka menjadi salah kaprah-lah kita jika klaim Malaysia atas beberapa ornament kebudayaan, kita tangapi sebagai persoalan ideologis. Atau penghinaan terhadap Negara kesatuan Republik yang kita cintai ini. Itu sekedar upaya komersialisasi pariwisata yang sudah kita lakukan jauh setelah Negara ini merdeka. Sudah lama tahapan ini kita lakukan. Yang sekarang baru dilakuakn oleh Negara serumpun kita Malaysia. Toh juga Negara serumpun ini, tidak cukup banyak kekuatan, untuk bisa merebut pasar pariwisata kita. Jika, kita mau meningkatkan segala kualitas produk kebudayaan yang selama ini kita miliki.

Mari kita sibukkan diri ini dengan meningkatkan kualitas produk kudayaan kita, agar lebih disukai secara Internasional dan itu bisa mendatangkan pendapatan yang lebih. Selain nilai komersialisasi pelestarian kebudayaan juga menghadirkan karakteristik bangsa. Buat apa kita maki-maki Malaysia yang “katanya” mengklaim kebudayaan kita, sedangkan kita sendiri tidak bisa mengilhami karakteristik budaya kita sendiri. Buktinya, anasir asing masih menyelinap di sendi-sendi kebijakan dalam negeri kita.

Berhentilah memaki kreatifitas orang lain. Hingga kita tidak diklaim Negara reaktif revolusioner … sebaiknya kita menciptakan kretivitas baru dengan spirit kebudayaan yang ada dan senantiasa mengagungkan spirit nasionalisme subtansial … tidak reaktif, heroistik, euforia dan sediktl memalukan. Jadilah bangsa yang besar yang juga berkarakter besar. 

28 Agustus 2009
Jakarta,

Kamis, 19 Maret 2015

Begitulah Malaysia, Dan Nasionalisme Kita.

(tulisan ini ditulis saat Malaysia mengklaim Tarian Reok sebagai produk kebudayaan mereka, dan sudah dipublikasikan di salah satu media Nasional)
 
Begitulah Malaysia. Setelah berpuluh tahun lalu membuat Indonesia merajuk dan keluar dari PBB. Sekarang melakukan klaim terhadap beberapa tarian, yang belakangan membuat geger hampir seluruh masyarakat Indonesia. Ini bukan kali pertama. Sebelum tari pendet. Ada beberapa lagu dan juga ornament kebudayaan yang diklaim Malaysia. Mereka beralasan bahwa budaya tersebut berakar dari kebudayan melayu yang dahulu kala belum dibatasi oleh administrasi kenegaraan. Melayu sekedar spirit sukuisme dan tradisi saja. Akar ini yang membuat Malaysia melakukan klaim. Ada tradisi hindunisme yang mengakar di sejarah Negara-bangsa ini. Sehingga beberapa ornament kebudayaan hampir mirip bahkan sulit memang di bedakan antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia.

Malaysia tidak sepenuhnya salah dalam hal klaim dengan argumentasi seperti itu. Kita ranah serumpun yang memiliki latar kebudayaan yang sama. Hampir tak ada bedanya. Bicara kebudayaan memang sulit ditegaskan dibawah spirit kenegaraan. Kebudayaan berakar dari nilai leluhur yang menspirit tradisi dan nilai-nilai. William H. Haviland berisalah bahwa Kebudayaan terkait seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua masyarakat. Landasan ini sulit membatasi produk kebudayaan sebagai klaim kreativitas segolongan orang saja. Ini kerja banyak orang, melintasi batasan administrative formal dan sulit ditakar menggunakan klaim.

Persoalan yang hadir memang, lebih disebabkan oleh semerbak komersialisasi kebudayaan yang di canangkan Kapitalisme sekitar satu abad terakhir. Terlebih lagi ketika adanya Undang-undang hak paten. Sekonyong-konyong setiap budaya harus punya hak patennya sendiri-sendiri. Gunanya memang lebih pada memenuhi halaman depan majalah iklan pariwisata dunia. Jika sekedar spirit nasionalisme, buat apa kita cape-cape berteriak tentang ke-brengsekan Malaysia yang mengklaim ? wong kita juga banyak menggunakan ornament kebudayaan orang yang skrang mentradisi dan blakangan, sebagian besar dari kita, sudah merasa memilikinya. Misalnya, Kuba mesjid ala mesir, jubah putih panjang ala Arabic, baju koko ala cina dan beduk mesjid sebagai tanda akan adzan ala cina. Masalahnya memang, kita tidak meletakkannya sebagai iklan pariwisata di halaman depan majalah pariwisata. Tapi bukankah itu ornament kebudayaan yang juga punya nilai ditengah masyarakat ?

Tidak sepenuhnya salah, bukan berarti Malaysia sudah spenuhnya benar. Dengan mengiklankan atau melakukan klaim terhadap beberapa produk kebudayaan yang sudah menjadi produk unggulan Indonesia, mereka melakukan pencaplokan brand agar dengan mudah mengalahkan lawan bisnisnya dengan cepat. Dalam logika pasar ini sangat mlanggar etika. Dengan cara menggampangkan langkah bisnis. Mengambil produk-produk jadi milik tetangga, untuk dipromosikan agar bisa mendapatkan keuntungan dari beberapa produk unggulan tersebut. Namun memang langkah ini dalam bisnis sulit di kenakan sangsi formal. Yang bisa dilakukan antar kopetitor adalah meningkatkan kualitas produk masing-masing agar bisa bersaing dengan sehat dipasaran.

Maka menjadi salah kaprah-lah kita jika klaim Malaysia atas beberapa ornament kebudayaan, kita tangapi sebagai persoalan ideologis. Atau penghinaan terhadap Negara kesatuan Republik yang kita cintai ini. Itu sekedar upaya komersialisasi pariwisata yang sudah kita lakukan jauh setelah Negara ini merdeka. Sudah lama tahapan ini kita lakukan. Yang sekarang baru dilakuakn oleh Negara serumpun kita Malaysia. Toh juga Negara serumpun ini, tidak cukup banyak kekuatan, untuk bisa merebut pasar pariwisata kita. Jika, kita mau meningkatkan segala kualitas produk kebudayaan yang selama ini kita miliki.

Mari kita sibukkan diri ini dengan meningkatkan kualitas produk kudayaan kita, agar lebih disukai secara Internasional dan itu bisa mendatangkan pendapatan yang lebih. Selain nilai komersialisasi pelestarian kebudayaan juga menghadirkan karakteristik bangsa. Buat apa kita maki-maki Malaysia yang “katanya” mengklaim kebudayaan kita, sedangkan kita sendiri tidak bisa mengilhami karakteristik budaya kita sendiri. Buktinya, anasir asing masih menyelinap di sendi-sendi kebijakan dalam negeri kita.

Berhentilah memaki kreatifitas orang lain. Hingga kita tidak diklaim Negara reaktif revolusioner … sebaiknya kita menciptakan kretivitas baru dengan spirit kebudayaan yang ada dan senantiasa mengagungkan spirit nasionalisme subtansial … tidak reaktif, heroistik, euforia dan sediktl memalukan. Jadilah bangsa yang besar yang juga berkarakter besar. 

28 Agustus 2009
Jakarta,