Sayangku, belajarlah dari pelacur... Yang memahami kehinaan
bukan sebagai kutukan. Mereka menjadikan
kotor sebagai keteladanan. Mengucap syukur diantara gelimang dosa, dan selalu dalam
prasangka yang baik pada Tuhan kita. Sedikit saja mereka berburuk sangka, maka
mungkin mengakhiri hidup adalah pilihan mereka, tanpa terus mengindahkan
ikhtiar sebagai nafasnya.
Mereka tak pernah menayakan nasib. Melainkan menjalaninya sebagai sebuah etape
yang tak bisa terlepas dari setiap skenario hidup. Justru disitu letak
keberimanan mereka sebagai makhluk kepada Yang Maha Menentukan.
Sayangku, Tak perlu kau menjadi seperti pelacur. Cukup saja
kau tau bahwa tak semua keteladanan itu datang dari tempat yang terhormat dan
suci. Keteladanan terkadang
berupa peringatan. Berupa perbedaan dari apa yang kita rasakan selama ini. Sebagai
cermin yang tak mungkin berbohong dalam tampilan yang “baik”.
Pelacur mengutaman cinta pada Maha Pemberi Nasib, dibanding
kata manis yang selalu menjilati liukan tubuh mereka, sebagai penyambung hidup.
Mereka adalah pelajaran sesungguhnya dalam menyelami, seperti apa hidup, yang harus diarifi sebagai sebuah pemberian, bukan
pilihan.
Mereka mengajari syukur dalam sakit yang mendalam. Tidak seperti
kita yang selalu lalai karena menyandang ‘terhormat’ sebagai sebuah insan.
Syukur bagi mereka adalah pilihan terhadap setiap sakit yang mereka rasakan,
bukan sebagai nikmat yang mereka inginkan.
Dengan hinaan, mereka belajar tentang kepemilikan dosa. Secara sayup, mereka akan berbisik tentang
kesucian kita, yang merasa tanpa dosa sedikit pun. Dan merasa layak untuk
menghina atas nama Tuhan, kehormatan dan kesucian.
Sayang, Jadikan pelacur sebagai keteladanan karena cintamu
kepadaNya. Dan tuntun aku dalam rasa syukur, karena cintamu kepadaNya.
Pedalaman Halmahera
26 Ramadhan 1433 H